Bab 1

1791 Words
Hujan menyisakan embun dingin di Desa Negarayu pagi itu, desa yang berada di kaki gunung di pinggiran kota Tegal, Jawa Tengah. Dikelilingi sawah-sawah hijau di sekelilingnya dan mata air sungai yang deras, Desa Negarayu merupakan desa kecil yang damai dan tenang.Jalanan desa yang belum seluruhnya berubah menjadi aspal, menguarkan bau harum sisa hujan. Memberi ketenangan bagi yang menghirupnya. Sayup-sayup suara penduduk desa terdengar saling berbincang tentang hujan semalam. Mengeluh akan cuaca dingin yang terasa hingga ke tulang pagi ini, tanpa hujan Desa Negarayu yang mereka tinggali telah memiliki suhu yang rendah. Hujan tanpa henti semalam membuat suhu menjadi semakin dingin, dan memaksa warga desa untuk mengenakan pakaian tebal pagi ini. Anak-anak ikut terpengaruh akan hujan semalam. Kebanyakan dari mereka menarik kembali selimut dan menolak keras-keras ketika diminta bergerak. Menggelengkan kepala kuat dan menolak segala bujuk rayu orang yang lebih tua untuk melawan hawa dingin. Terdengar suara patukan paruh burung yang mengetuk jendela mengusik tidur nyaman seorang gadis pagi ini. Suara ketuk kecil yang nyatanya dapat membuat mata indahnya mengerjap secara perlahan. Ia begitu merasa enggan untuk menggeser sedikit saja selimutnya, menggigil karena udara dingin yang terasa menusuk kulit halusnya. Dentingan jam terasa begitu dekat dengan telinganya, seperti Ia dipaksa untuk terbangun dan melawan rasa nyaman yang dihadirkan oleh selimut tebal berbulu halus yang kini masih juga Ia sandang. Ia gerakkan kedua tangannya menggeliat dan kemudian menguap lebar, setelahnya si gadis kecil hanya diam memandangi langit-langit kamarnya. Melamun sesaat guna mengumpulkan nyawa yang terasa masih berserakan di alam mimpinya tadi. Apakah langit-langit kamarku selalu seperti ini?, Kernyitan halus mampir di alis sewarna arang. Terlihat seperti bekas air liur domba yang menempel pada karung bekas gilingan ayah, pikir polos otak kecilnya. Mengangkat bahu, Ia memilih tak ambil pusing. Rasa kantuk masih Ia rasakan serpihannya, Mungkin aku masih membutuhkan istirahat, Ia mendengar hatinya berbicara. baiklah aku akan tertidur sepuluh menit lagi. Bukan hal yang sulit, Ia hanya perlu memejamkan mata dan kembali menghitung ayam dalam benaknya. “Kurasa aku harus mengatur si tupai jelek itu, agar aku tidak terbangun terlalu siang”, Kembali Ia bergumam pelan. Matanya kemudian beralih pada jam weker yang tergeletak mengenaskan disamping bantal tidur yang Ia gunakan semalam, kenapa si tupai menyebalkan ini ada di samping bantalku, sang gadis kecil bernama Keylani mengerutkan alisnya heran. Ia pandangi waktu yang tertera di jam weker tersebut, mengerjapkan mata dan menatap dengan sungguh-sungguh. Kukira tupai ini kembali sakit, kenapa angka yang kulihat disini mirip dengan wajah Ibu? Terdiam Ia pandangi sang tupai yang adalah jam wekernya selama dua puluh detik, hingga akhirnya Ia mendapatkan kembali kesadarannya yang sebelumnya menguap karena rasa kantuk. Matanya melebar, kembali Ia berteriak dalam pikirannya. Astaga Ibu! Jantung di dadanya terasa berdegup cepat. Kepanikan melanda dirinya seketika. “Bagus Key, setelah ini kau akan digoreng hidup hidup”, Suaranya terdengar bergetar tapi Key tetap bangkit cepat dari tempat tidurnya. Menendang selimut bulu halus kesayangannya, dan membiarkannya teronggok mengenaskan ke bawah kasur. Key berlari keluar dari kamar dengan sebuah handuk yang tergantung di bahunya dan gayung yang berisi sikat gigi dan sabun bergegas menuju ke pemandian umum yang berjarak hampir 100 meter dari rumahnya. Melewati pamannya yang terlihat sedang menyiram pohon, Key menyapa dengan suaranya yang lantang “Selamat pagi, Paman Leo!”. Suara jernihnya yang keras membuat sang paman terkaget, selang yang Ia genggam terlepas dan tangannya beralih mengelus dadanya yang terasa berdetak keras karena kejutan suara yang Ia dengar, Key terkikik lebar sembari memegangi perutnya yang geli karena reaksi sang paman. Paman Leo memandangi sang keponakan perempuan yang hanya memakai kaos oblong berwarna hitam dengan celana tidur bergambar superman, jangan lupakan gayung dan handuk yang tersampir di bahunya. Siapa mahluk kecil bergigi ompong ini? sang paman merasa kehilangan ingatan sesaat. Keylani yang masih menatap pamannya mengerut tak paham, Paman Leo terlihat seperti orang-orangan yang diletakkan di sawah oleh warga desa, dengan mulut menganga dan tangan diletakkan di atas d**a seperti itu. Maka Ia putuskan untuk sekali lagi menyadarkan pamannya, sedikit demi sendikit mengendap perlahan menghapus jarak dan begitu sampai didepannya, Keylani berjinjit menepuk keras pipi sang paman dengan bonus teriakan nyaring di telinganya, “Paman Leo! Berhenti melamun. Aku disini!” Teriaknya keras-keras. Sang paman kembali terkaget namun kali ini Ia membalas dengan mengapit leher kecil Keylani. “Anak nakal, terus mengagetkanku maka aku tak akan lagi menolongmu dari cekikan Ibumu.”, Ancam sang paman. “Baru saja pagi ini Ibumu menitip salam. Beliau bilang kau akan dicekiknya begitu tiba.”, Lanjut Paman Leo. Perkataanya membuat Keylani merinding. Ia tak takut pada sang paman, Ia hanya mengerjap ngeri karena sepertinya kali ini sang Ibu tak main-main dengan ancamannya. Namun Keylani tak akan menunjukkan raut takutnya pada orang lain. Si gadis kecil mendengus, “Paman berbohong, Aku terlalu manis untuk dicekik!”, Selepas berkata seperti itu Ia memeletkan lidahnya dan berlari kabur. Sang paman ternganga lebar. Benar benar anak ajaib, Pikirnya. Keylani Anindita, gadis kecil berusia 13 tahun yang tinggal di sebuah desa bernama Negarayu. Di kota kecil di Jawa Tengah yaitu Tegal. Sehari-hari ia habiskan dengan membantu Ibunya menjaga warung dan terkadang membantu ayahnya di tempat penggilingan gabah. Key memiliki potongan rambut pendek berwarna hitam kelam, dengan postur tubuh mungil. Matanya menyipit ketika Ia tersenyum, memiliki sifat ramah dan supel pada orang di sekelilingnya. Keylani, memiliki mimpi besar yang tertanam dalam hati kecilnya. Ia ingin berkeliling dunia, menulis cerita perjalanannya, dan dijadikan sebuah buku yang dapat Ia baca setiap hari di masa tuanya nanti. Sounds impossible, tapi Keylani tak mau menyerah. Ia mengikuti kursus bahasa inggris di dekat alun-alun dengan mengayuh sepedanya selama tiga kali dalam seminggu. Menikmati setiap proses yang Ia jalani, Keylani tak sekalipun mengeluh karena Ia bahagia. Menjalani sesuatu yang begitu kita sukai menghapus lelah dan rasa khawatir kita. Sampailah Ia di tempat pemandian umum terdekat dari rumahnya, ada empat pintu kamar mandi disini. Dengan didalamnya tersedia sebuah ember besar untuk menampung air dan sebuah kloset jongkok juga 3 buah paku untuk menggantung peralatan mandi. Biasanya penduduk desa yang belum memiliki saluran air pribadi akan menggunakan pemandian umum seperti yang dilakukan Keylani. Tak perlu begitu khawatir soal kebersihan, karena meskipun penduduk desa tak memiliki sarana dan prasarana kebersihan yang mewah. Namun, warga Negarayu begitu ketat dalam mengawasi kebersihan desa yang mereka jaga. Bahkan tak ada satupun limbah bekas pemandian seperti sabun yang tercecer di lantai kamar mandi. Warga desa selalu menyikat bersih kamar mandi yang telah selesai mereka gunakan. Mandi kilat yang Keylani lakukan hanya berlangsung selama 15 menit, tak perduli rambut basahnya yang masih menetaskan air Ia kembali berlari menuju rumahnya . Keylani dapat melihat Paman Leo yang tengah meniup uap kopi paginya, tak ada waktu untuk meledek pamannya, Ia bergegas membuka pintu kayu rumahnya mendorongnya kedalam dan terbirit mengganti pakaian. Ah sungguh hari yang menyebalkan, Ibu benar-benar membuatku merinding ketakutan. Apa tidak lebih baik aku pura-pura sakit saja?. Menertawakan pikirannya sendiri, Ia menggelengkan kepalanya. Selesai berganti pakaian Keylani memakai sandalnya dengan membawa tiga rantang di tangannya, mengunci pintu dan kembali berlari kencang menuju penggilingan gabah. Tak dapat aku percaya sudah lebih dari 200 meter aku berlari pagi ini. Terimakasih untuk pagi yang indah ini, Tuhan. Keluhnya dalam hati. Setelah berlari kencang hingga membuat nafasnya terngah-engah Ia sampai di tempat penggilingan gabah, di depannya Keylani dapat melihat Ibunya sudah berkacak pinggang . Ia meringis dan bergerak menghampiri sang Ibu. “Dari mana saja kau anak nakal? Jam berapa sekarang?”, Ibunya terlihat menahan gemas. Keylani menundukkan kepalanya takut dan menjawab terbata, “Maaf I-Ibu, Aku baru terbangun 30 menit yang lalu.” Dapat Keylani lihat, Ibunya melotot ganas mendengar tuturnya. “Tapi lihat, aku tidak lupa kan membawa rantang untuk ayah kali ini?” lanjutnya manis, Ia memamerkan senyum bulan sabitnya. Sang Ibu memejamkan mata dan menghela nafas, “Biarkan Ibu menjitakmu kali ini, Ibu sudah tak tahan.” Geram sang Ibu, kesal dengan sang puteri tunggal yang lagi-lagi terbangun telat dan melupakan jam sarapan untuk ayahnya, “Kemari kau” . Sang Ibu bersiap untuk mengarahkan kepalan tangan kurusnya untuk menjitak anak nakal yang masih tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi bercela miliknya. Keylani segera kabur mempercepat langkah kecilnya dan bergegas mencari ayahnya untuk berlindung. Ia melihat sang ayah yang tengah sibuk mengangkat karung berisi gabah, segera saja Ia mendekat kearahnya “Ayah, apa ayah lapar? Ayo kita makan bersama” tegurnya cepat, ditariknya lengan sang ayah membawanya paksa untuk menghampiri saung kecil dari bambu di dekat tempat penggilingan gabah. Ayah Keylani yang masih tampak muda di usia yang menginjak hampir 40 tahun hanya menuruti tingkah sang anak. Tersenyum pada istrinya yang masih terlihat kesal diujung sana, Ia mengangukkan kepala mengajak sang Istri untuk ikut bersama mereka menuju saung. Mereka bertiga duduk melingkar bersama di saung dengan Sang Ibu yang membuka satu persatu rantang dan Keylani yang terlihat tengah menuangkan teh hangat yang Ia seduh dirumah tadi kedalam ceret yang ada disana. Ketika semua siap, maka dimulailah acara sarapan rutin keluarga kecil tersebut setiap pagi. Keylani nampak berbinar memandang makanan yang tersaji didepannya. Segera Ia ambil sendok dan terburu membaca doa, mengucap syukur dalam hati kecilnya. Masakan sang Ibu selalu terasa luar biasa di indra pengecapnya. “Nak, makanlah dengan perlahan. Tak ada yang mengejarmu saat ini.” Sang ayah berkata lembut, dan mengusap surai halus sang putri. Ibu Keylani ikut melirik anak gadisnya, “Sepertinya dia kelaparan karena berlari sejak bangun dari tidurnya”. Keylani tersedak, bagaimana Ibu tahu. Ibu benar benar menakutkan. Terburu mengambil teh, Keylani kembali mengaduh karena sebagian teh tumpah dan mengenai kulit halusnya. Keylani berfikir, Sepertinya kata ceroboh ada dalam nama tengahnya. Terkejut karena sang anak yang tiba-tiba menjerit sakit, Ibu Keylani segera meletakkan kembali piringnya dan memeriksa keadaan si gadis kecil. “Tuhan, tanganmu memerah sayang. Tunggu disini Ibu ambilkan salep dirumah Bibi Nila”, suara Ibunya terdengar bergetar khawatir di telinga Keylani. Ia berpikir kali ini sudah sangat nakal karena membuat sang Ibu tampak begitu panik. Keylani menundukkan kepala merasa menyesal, semakin sedih saat Ia melihat ibunya berlari kerumah salah seorang tetangga desa yang tinggal di samping tempat penggilingan gabah. Ibu bahkan melupakan nasi yang baru saja Ia tuang ke piring, Ia merasa ingin menangis. Namun, tepat disaat air matanya yang tertahan di pelupuk ingin jatuh. Sang Ayah mengusap halus ujung mata puteri kecilnya. “Tak apa sayang, jangan merasa bersalah. Cukuplah lain kali kau berhati-hati. Agar tak membuat Ibumu kembali khawatir”, Ayah tersayangnya memberi pengertian dengan pelan. “Keylani mentari kecil ayah, boleh ayah lihat kembali senyum hangatmu?”, Sang ayah kembali berkata. Keylani angkat kembali wajahnya menunjukkan senyum kesukaan sang Ayah dan Ibu, Ia mungkin masih terlalu muda. Masih banyak bimbingan yang Ia butuhkan. Tapi bersama kedua orangtuanya, Keylani tak pernah takut, karena Ia percaya saat Ia terjatuh maka ada lengan hangat Ayah dan pelukan cinta dari Ibunya yang akan selalu Ia dapatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD