Bab 4. Noda Merah Kakak Iparku

1295 Words
"Sekarang?" tanya Saka. Sela mengangguk ragu. Kali ini, ia tak tahu apakah Saka akan mundur lagi atau tidak. Yang penting, ia telah mencobanya. Sela menelan ludahnya dengan kasar ketika adik iparnya yang tampan itu mendekat. Saka lantas menunduk ketika jaraknya dengan sang kakak ipar makin menipis. Tak lama, pria itu mendongak dan tersenyum kecil. "Kita akan temui Dokter Steve. Dia bisa bantu kita untuk melakukan proses bayi tabung," kata Saka. Sela terkesiap. Apa? Bayi tabung? Bukankah mereka akan melakukan persetubuhan saja dan Sela akan hamil? Mengapa harus dengan cara medis. Wanita itu menggeleng lemah. Ia tahu sejak lama mengenai program bayi tabung itu. Sela juga mempelajari bagaimana prosedurnya akan berjalan. Dan ia tahu, bahwa yang dilegalkan untuk menjadi donor s****a dan telur adalah suami istri yang sah. Lantas, apa ini? "Enggak. Saka, untuk apa kita melakukan program itu? Kamu mau orang lain tau ada sesuatu di antara kita? Aku cuma butuh kamu ... melakukan itu sekali saja. Bukan begini," kata Sela. "Mbak, ini gila. Kamu itu istrinya kakakku. Mana mungkin aku melakukan itu. Bantuan yang bisa aku berikan hanya ini," kata Saka. Sela menggeleng lemah. Ia tak habis pikir dengan pria di depannya. Mengapa Saka begitu susah dirayu. Pria itu hanya harus mengeluarkan benihnya dan semua selesai. Untuk apa menggunakan metode yang seperti ini? "Akan ada banyak bukti kalau ini bukan anaknya Pram nanti. Akan ada rekam medik dan semua catatan itu akan berbahaya, Saka," ucap Sela. "Semuanya akan aman, Mbak. Dokter Steve itu temanku. Dia pasti bisa menjaga rahasia. Lagi pula, ini adalah rumah sakitku. Aku bisa memanipulasi semuanya," jelas Saka. Sela terdiam. Entah kenapa, ia merasa sedikit kecewa ketika Saka ternyata memilih menggunakan metode bayi tabung daripada menyentuhnya. Apakah benar ia tidak menarik sama sekali? Atau ... aah, banyak sekali pikiran yang muncul di kepala Sela saat ini. Sela masih belum bereaksi. Saat itu, Saka dengan lembut menepuk bahu Sela usai membuang napasnya dengan gusar. "Aku tau apa yang Mbak Sela rasakan. Aku juga merasakannya selama puluhan tahun. Aku udah janji mau bantu Mbak Sela. Dan ini caraku, Mbak," jelas Saka. Mata Sela berembun. Wanita itu merasa gila. Ia sangat mencintai Pram melebihi apa pun. Namun, sikap pria itu membuat Sela terus kehilangan kewarasan. Ia bahkan tidak pernah merasa diperlakukan sebagai seorang istri selama ini. Jadi, inikah jalan terakhirnya? "Ya, Saka," sahut Sela sekenanya. Wanita itu bangkit, lantas mengusap matanya yang basah dan berjalan menuju ke pintu. Sementara Saka membuang napasnya dengan kasar. Ia menyugar rambutnya gusar dan mengekor pada Sela. Mereka harus menemui Dokter Steve saat ini. Saka menunjukan ruangan sang rekan kepada Sela. Keduanya masuk setelah mengetuk pintu. Dokter Steve tersenyum saat sang rekan datang. Mereka tidak punya janji. Jadi, apa keperluan pemilik rumah sakit ini bersama kakak iparnya. "Jadi, apa yang bisa aku bantu, Saka?" tanya Steve. "Emh ... begini, Steve. Mbak Sela mau IVF," kata Saka. "Oh, begitu. Bisa. Kita akan melakukan pemeriksaan dulu sebelum itu. Tapi, kenapa Mas Pram enggak ikut, Saka? Dia juga harus mendengarkan penjelasan mengenai prosedurnya sebelum melakukan itu," ucap Dokter Steve. Saka dan Sela terdiam. Dokter Steve masih menunggu jawaban mereka. Ketika kemudian pria di depannya membuka suara. "Aku yang akan menjadi pendonor spermanya," ucap Saka. Dokter Steve terkesiap. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi tidak percaya. Apakah sang rekan bercanda? Saka jelas paham betul prosedur IVF yang akan dijalankan. Lantas, mengapa demikian jawabannya? "Ya, aku tau ini menyalahi prosedur, Steve. Tapi, aku punya alasan melakukan ini," kata Saka. "Saka, kamu tau risikonya, kan?" tanya Dokter Steve kemudian. "Ya, aku tau. Tapi–" "Udahlah, Saka. Kita enggak perlu melakukan ini. Lupain aja kalau kamu mau bantu aku. Mungkin udah jalannya aku harus diceraikan sama Pram. Makasih sebelumnya," kata Sela yang langsung berdiri meninggalkan ruangan Dokter Steve. Saat itu, Saka ikut bangkit. Ia menahan lengan sang kakak ipar demi bisa menjelaskan semuanya. "Mbak, tunggu dulu. Aku bisa–" "Lepas, Saka! Ya, kamu benar. Kamu itu adik Iparku. Mana mungkin melakukan permintaan gilaku. Maaf sudah membuatmu susah. Aku pulang!" Sela melepas tangan sang adik ipar dengan cepat. Kemudian benar-benar pergi meninggalkan pria itu dengan banyak kebimbangan. Sela tahu, Saka adalah pria baik-baik. Mana mungkin ia bersedia melakukan hal gila itu untuk dirinya. Siapa Sela? Dia hanya gadis biasa yang dipungut keluarga Atmaja sebagai menantu dan akan segera dibuang sesaat lagi. Senyum getir terbit dari bibir Sela saat itu. Rasanya, ini memang sudah takdirnya. Sementara Saka mengusap wajahnya dengan gusar. Ia kembali mengambil duduk di depan Dokter Steve yang benar-benar tergemap dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria itu tak tahu, tapi rasanya ada yang salah saat ini. "Ka, beneran yang tadi?" tanya Dokter Steve yang masih penasaran dengan hal itu. Saka mengangguk lemah. Itu benar dan ia tak berniat membohongi sang rekan. Dokter Steve masih tidak percaya dengan pengakuan Saka. Jadi, ia kembali melempar tanya. "Tapi kenapa?" "Aku enggak tau, Steve. Tapi indikasinya, Mas Pram mengalami ejakulasi dini. Dia sama sekali tidak mau diperiksa. Tau sendiri, kan, Mas Pram seperti apa," jelas Saka. "Dan kakak iparmu minta kamu buat–" "Mama ngancam Mbak Sela. Kalau sampai awal tahun depan Mbak Sela enggak hamil, dia akan diceraikan. Atau kalau enggak mau, dia akan dimadu," imbuh Saka. Steve makin melongo. Sementara Saka terus mengurut keningnya. Sang rekan juga tidak punya solusi terbaik untuk masalah ini. Oke, bisa saja mereka melakukan hubungan suami istri. Namun, apakah itu sudah pasti berhasil? *** "Berikan aku satu gelas lagi," kata Sela pada seorang bartender di kelab malam itu. Pria di depannya mengangguk, kemudian menuang wine yang membuat Sela makin mabuk. Wanita itu tidak tahu harus lari ke mana saat ini. Mungkin minum minuman keras akan membuatnya kembali bersemangat. Nyatanya, kepalanya tidak bisa berhenti berpikir mengenai cara untuk bisa mendapatkan keturunan. "Sialan, Saka. Aku pikir, dia bakal bantuin aku. Ternyata sama saja dengan Pram. Kenapa keluarga Atmaja tidak ada yang bisa menghargai perasaan?" ceracau Sela usai menghabiskan segelas wine lagi. Pandangan mata wanita itu kosong. Seolah-olah penuh dengan kekecewaan. Sementara ponselnya terus berdering tiada henti karena ia terus mengabaikannya. Pram menghubungi sang istri berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Sampai akhirnya, Sela memutuskan untuk pulang. *** Saka yang baru pulang dari rumah sakit melihat Pram tampak gusar. Pria itu lantas mendekat dan segera melempar tanya. "Ada apa, Mas?" "Sela belum pulang sampai sekarang. Apa tadi dia ke rumah sakit?" Pram balik bertanya. Saka jelas mengernyit karena heran. Ia bilang kakak iparnya memang ke rumah sakit. Namun, sudah pulang sejak tadi. "Sialan. Ke mana wanita itu?" bisik Pram setelah mendengar penjelasan Saka. Saka belum sempat menimpali ketika sebuah taksi memasuki halaman. Sela turun dari kendaraan itu dengan sempoyongan. Efek minuman keras masih terasa. Jadi, ia terus memegangi kepala. Pram buru-buru menghampirinya. Pria itu merasa kesal karena ini kali pertama sang istri pulang dalam keadaan menyedihkan. "Apa yang kamu lakukan, Sela?" tanya Pram. "Enggak ada, Pram. Aku hanya minum sedikit," kata Sela. Pram menggeleng dan langsung menyeret wanita itu untuk masuk ke kamar. Saka yang melihat kakak iparnya sangat menyedihkan mendadak iba. Entah kenapa ia menyesal tak bisa membantu Sela. "Dasar wanita tidak tau diri. Kamu pikir bagus, menantu keluarga Atmaja bersikap seperti ini. Hah?" "Ampun, Pram. Sakit, Pram," ucap Sela seraya menahan pukulan sang suami. Saka mendengar itu semua dari depan kamar sang kakak yang tertutup rapat. Jujur, ia tak tega. Namun, bagaimana? Ia tidak bisa ikut campur begitu saja. Cklek! Saka segera bersembunyi ketika mendengar pintu kamar Pram terbuka. Pram berjalan cepat usai membanting pintu dan pergi dengan mobilnya. Sementara Sela tak terdengar lagi suaranya. "Apa ... Mbak Sela baik-baik saja?" bisik Saka. Pria itu tidak tahu apakah harus masuk ke kamar sang kakak ipar atau mengabaikan semuanya. Namun, ketika mendengar suara barang pecah, Saka tak mengulur waktu lagi. Ia segera membuka pintu dan melihat keadaan Sela. Saat kemudian, ia terkesiap melihat ada tetesan darah di lantai. "Mbak Sela," pekiknya seraya berlari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD