Bab 1. Aku Mau Benihmu
"Jangan, Mbak! Aku ini adik iparmu," kata Saka ketika tiba-tiba Sela memegang pahanya.
"Plis, Saka, sekali saja! Aku mau membuktikan pada kakakmu kalau aku ini enggak mandul," sahut Sela yang terus merangsek mendekati sang adik ipar.
Saka makin mundur sampai akhirnya tubuh pria itu terpojok di bahu ranjang. Pria itu tidak menyangka jika niat memeriksa tubuh sang kakak ipar yang katanya sedang sakit, malah berakhir dengan demikian. Sebagai seorang dokter, ia jelas paham apa yang dialami oleh Sela. Pikiran wanita itu sedang tidak baik-baik saja karena stres.
"Tapi, Mbak, ini dosa. Jangan, Mbak! Mas Pram pasti akan marah sama aku.”
Saka masih mencoba menyadarkan sang kakak ipar. Namun, Sela sudah kalut. Pernikahannya yang sudah menginjak usia 5 tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pram–sang suami–terus menuntutnya untuk segera memiliki momongan sebagai pewaris. Sementara pria itu tidak mau ke dokter untuk memeriksa, sebenarnya siapa yang bermasalah. Pram hanya berpikir jika Selalah yang selama ini mandul dan tidak bisa memiliki keturunan.
"Dia enggak akan marah kalau dia enggak tau. Sudahlah, Saka, lagi pula aku hanya butuh benihmu. Benih keluarga Atmaja sebagai pewaris.”
Wanita itu sudah menarik zipper celana Saka untuk melaksanakan niatnya. Sela juga tidak main-main. Ia memikirkan rencana itu sepanjang malam karena tidak ada cara lain. Yang penting ia harus hamil dan memberikan keturunan pada keluarga Atmaja.
"Tapi, Mbak. Aku ... aah."
Saka mendesah ketika Sela berhasil mengusap miliknya. Sekalipun pria itu terus menolak, tapi jika mendapat perlakuan seperti itu, bisa saja ia jadi terpengaruh. Saka masih pria normal dan sehat. Sentuhan wanita seperti itu adalah rangsangan terbaik yang bisa membangkitkan libidonya dengan cepat.
Pria itu sampai memejam ketika jemari lentik Sela menarik pertahanan terakhir Saka. Apa yang dilakukan sang kakak ipar terlampau jauh. Sungguh di luar dugaannya Sela bisa seberani itu.
“Mbak, enggak boleh kaya gini! Ini salah, Mbak!” Saka coba menjauhkan tangan Sela. Coba untuk tak tergoda dengan sentuhan yang diberikan oleh sang kakak ipar. Lagi pula, mereka berdua sedang berada di kamar Sela dan Pram, bagaimana jika adegan itu sampai ketahuan? Saka benar-benar tidak bisa membayangkan reaksi kakaknya jika mengetahui tindakan gila Sela. Sudah tentu Pram pasti akan sangat murka tanpa mau mendengar penjelasannya.
"Enggak apa-apa. Aku janji akan melakukannya dengan cepat. Saka, plis! Bantu aku," kata Sela yang kemudian segera melakukan tugasnya.
"Tapi, Mbak … tolong hentikan! Bagaimana kalau Mas Pram datang dan melihat kita seperti ini?” Saka benar-benar panik saat Sela kembali melakukan tindakan gila itu meski sudah sempat ia jauhkan.
Sela tak menggubris. Ia terus melanjutkan aksinya tanpa henti. Wanita itu juga merasa heran dengan kekuatan sang adik ipar. Biasanya, Pram akan langsung selesai ketika ia melakukan itu meski baru beberapa detik. Namun, Saka bisa bertahan sampai sejauh itu. Apakah karena pria itu tidak mau melakukannya?
Sela hanya mendongak sebentar tanpa peduli jika nanti ada orang yang masuk ke kamar. Termasuk sang suami yang saat ini sedang menikmati sarapan di bawah. Ketika tak lama kemudian, Saka sudah tidak tahan. Pria itu mendorong dengan sedikit kasar tubuh sang kakak ipar hingga Sela terjerembab ke ranjang. Wanita itu terlentang dengan d**a naik turun karena napasnya yang ngos-ngosan.
Alih-alih Saka akan melanjutkan kegiatan mereka hingga benih itu tersembur, pria itu justru bangkit dan menarik celananya kembali untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
"Ini gila, Mbak. Jangan begin! Aku ini adik iparmu," kata Saka seraya bangkit.
Pria itu memang merasa nikmat, tapi mengingat kembali bahwa Sela adalah istri dari sang kakak, pikiran warasnya muncul lagi. Mereka tidak boleh melakukan itu, apa pun alasannya.
Sela tersenyum kecil, tapi matanya berembun. Ia menangis demi meratapi nasibnya setelah ini. Pakaian tidurnya yang berantakan membuatnya terlihat makin tidak waras. Sela bahkan tidak peduli ketika Saka bisa melihat dadanya yang hampir terbuka.
"Kamu enggak tau apa yang aku alami selama ini, Saka. Aku tertekan. Semua orang memintaku untuk memberi keluarga Atmaja keturunan. Mereka mau seorang putra dariku dan Pram. Tapi, aku tidak bisa memberikannya. Aku sudah memeriksakan diriku ke dokter kandungan. Aku normal dan sehat, Saka. Tapi Pram terus menyalahkanku. Plis, Saka! Aku mau buktikan ke mereka kalau aku bisa memberi mereka pewaris," jelas Sela.
Wanita itu bangkit dan duduk di tepi ranjang. Rambutnya yang hitam terurai sempurna. Sementara tangannya menutup wajah agar tangisnya teredam. Sementara Saka yang awalnya tidak menyetujui apa yang dilakukan sang kakak ipar mulai melunak. Keluarganya memang toxic yang bahkan bisa membuat seseorang bunuh diri karena tuntutan yang tidak masuk akal. Saka sendiri menyadari hal itu. Jadi, ia paham apa yang dirasakan oleh Sela.
Pria itu kemudian duduk di sebelah sang kakak ipar. Saka menunduk karena tidak tahu jika Sela ternyata sebegitu stresnya memikirkan masalah anak. Jadi, apa yang harus ia lakukan?
"Aku akan bantu bicara sama Mas Pram soal ini, Mbak," kata Saka kemudian.
"Dia enggak akan dengerin kamu."
Saka mengangguk lemah. Itu memang benar. Tidak ada yang pernah Pram dengarkan kecuali Papa mereka. Jadi, apakah ia juga harus bicara dengan papanya?
"Aku cuma minta tolong sama kamu, Saka. Aku cuma butuh benihmu saja. Semuanya akan sama saja. Bayi itu juga akan mewarisi darah keturunan keluarga Atmaja," ucap Sela.
Saka diam saja. Ia tak tahu harus berbuat apa. Terlebih saat Sela kembali berjongkok di depannya setelah mengusap air mata, pria itu hanya bisa diam, masih tak mengatakan apa-apa.
“Tapi, Mbak … ini salah ….” Saka hanya dapat mengatakan itu saat tangan lembut Sela kembali mengusap kulitnya yang mulai meremang. Sewaras apa pun pikirannya, tapi jika dihadapkan dengan hal semacam itu, siapa pun pasti akan luluh juga, termasuk Saka, apalagi Sela begitu piawai melakukannya.
Di saat keduanya hampir menyelesaikan aktivitas mereka, tepat di saat Saka dan Sela mulai melakukan penyatuan. Tiba-Tiba dari luar ruangan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Keduanya pun saling tatap, wajah Saka terlihat begitu pucat seperti bingung harus melakukan apa, terlebih saat kenop pintu mulai bergerak sebelum pintu terbuka.
“Itu pasti Mas Pram ….”