Bab 9. Rumah Tangga

1092 Words
"Apa harus sekarang, Pak? Sebaiknya, Bapak bicara dulu dengan Bu Sela," kata Sania ketika Pram mengajaknya datang ke rumah. "Lebih cepat lebih baik. Kamu sudah setuju, dan Sela juga pasti akan setuju. Anak yang kamu kandung juga akan jadi anaknya, kan," ucap Pram. Pria itu mendekati Sania, kemudian menepuk bahu wanita itu pelan. Saat itu, Ani yang juga ada di sana tersenyum kecil. Sepertinya, Sania bukan wanita yang gila harta dan pembangkang seperti Sela. Jadi, ia tetap bisa mengatur segalanya setelah ini. "Baiklah. Tapi saya tidak akan menginap. Saya dan Saga akan langsung pulang," kata Sania. "Oke." Sania akhirnya setuju. Sementara Harmoko yang terlihat diam sejak kemarin hanya bisa menggeleng lemah. Ia tahu, dulu ia juga punya 2 istri. Namun, alasan Ani membiarkan Pram menikah lagi belum jelas. Mereka belum mendapatkan diagnosis dokter mengenai siapa yang sebenarnya tidak bisa mempunyai anak. Lantas, apakah baik membawa seorang wanita ke rumah, sedangkan Sela masih belum paham apa-apa? Mereka akhirnya berangkat menuju ke rumah sebelum matahari muncul. Jarak tempuh beberapa jam bisa dilalui tanpa terkena macet. Sampai akhirnya, mereka sampai di kediaman Atmaja. "Sania, ini rumah kita. Rumah kamu juga nanti," kata Ani setelah mobil berhenti. "Ayo, turun!" Pram memberi aba-aba. Sania mengangguk. Ia lantas menggendong Saga yang terlelap dan membuka pintu dibantu oleh Pram. Wanita itu terdiam ketika melihat Sela yang begitu cantik menyambut kedatangan Pram. Namun, dengan raut wajah penuh tanya. "Ini siapa, Pram?" "Ini, Sania. Dia calon madumu," jawab Pram. Bagai tersambar petir, hati Sela remuk redam mendengar ucapan sang suami. Calon madu? Apakah ia benar-benar akan dilempar dari rumah ini walaupun ia tidak bersalah sama sekali? "Apa? Madu? Kamu gila Pram. Kamu tega menduakanku?" ucap Sela. "Sudahlah, Sela. Sania akan bantu-bantu kamu di rumah. Harusnya kamu senang. Dia sudah terbukti bisa punya anak. Anakku dan Sania, nanti juga jadi anakmu," jelas Pram. "Enggak, Pram. Aku enggak mau. Aku yakin bisa kasih kamu anak. Beri aku waktu," kata Sela seraya menangis. "Kamu enggak akan diceraikan, Sela. Kamu tetap jadi nyonya di rumah ini. Jadi, enggak perlu semelow ini," sahut Ani kemudian. "Tapi, Ma. Semua ini enggak bener. Pram sama sekali enggak minta izin sama aku. Kamu juga, jalang. Bisa-bisanya kamu datang ke rumah yang di dalamnya masih ada istri sah? Mana harga diri kamu sebagai wanita, hah?" Sela benar-benar tidak bisa menahan dirinya. Wanita itu terus meraung karena sedih. Harmoko juga tidak bisa berbuat banyak. Ia seperti deja vu. Ani juga dulu bersikap begitu ketika ia memadunya dengan ibu Saka. Sementara itu, Pram langsung menarik lengan sang istri untuk diajaknya masuk ke kamar untuk bicara berdua. Ani merangkul bahu Sania dan mengajak wanita itu masuk ke kamar tamu. Harmoko dan Saka saling tatap. Keduanya kemudian mengikis jarak dan Saka mencium punggung tangan sang papa takzim. "Pa, kenapa gini?" tanya Saka setelah itu. "Papa juga enggak tau, Saka. Ini semua rencana Mamamu." "Tapi kasian Mbak Sela, Pa," ucap Saka lagi. Tentu saja ia merasa kasihan pada sang kakak ipar. Ia sudah melihat sendiri bagaimana Sela diperlakukan oleh Pram. Sebagai dokter, ia bahkan yakin jika Pram memang perlu pengobatan untuk masalahnya. Lantas, apakah dengan menikah lagi semuanya akan selesai? "Kita lihat saja apa yang terjadi. Ini rumah tangga Pram. Kita tidak berhak ikut campur," kata Harmoko. "Tapi Papa berhak kasih pengertian." Harmoko hanya mengangguk. Ia lantas pamit ke kamar lebih dulu karena merasa lelah. Sementara itu di kamar mereka, Pram terus menenangkan sang istri. Sela terus meronta karena merasa sang suami tidak menghargainya sama sekali. "Mana janji kamu dulu, Pram? Kamu bilang hanya aku yang ada di kehidupan kamu. Tapi mana buktinya? Kamu bahkan bawa wanita lain ke rumah tanpa pamit," kata Sela. "Aku enggak punya pilihan lain, Sela. Keluarga Atmaja butuh pewaris. Dan kamu tidak bisa memberikannya. Kamu tenang, Sayang. Aku enggak cinta sama Sania. Aku hanya akan menitipkan benih di rahimnya. Itu saja," ucap Pram. "Kamu saja tidak bisa memuaskanku. Kenapa nekat mau menikah lagi? Benih mana yang mau kamu titipkan. Sementara kamu sendiri tidak mau memeriksakan diri. Kamu itu impoten, Pram," jelas Sela. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Sela saat itu. Pram jelas tidak terima dengan penyataan sang istri. Miliknya biza berdiri. Hanya saja, tidak bertahan lama. Pernyataan itu membuat Pram naik pitam. Jadi, ia dengan kasar menganiaya Sela saat itu juga. "b*****t! Mulutmu memang berbisa, Sela. Aku tau kamu tidak suka dengan rencana poligamiku ini. Tapi tidak perlu mengatakan hal gila demikian. Terserah kamu setuju atau tidak. Yang jelas, aku akan tetap menikahi Sania." Pram tidak bisa menahan diri. Ia melempar tubuh Sela ke ranjang dengan kasar. Ia tak peduli wanita itu kesakitan atau tidak. Ia memang mencintai Sela, tapi mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Sela yang demikian menyakitkan, Pram tidak tahan untuk tidak memukul. "Aku enggak mau dimadu, Pram," ucap Sela masih bisa melawan. "Kalau begitu, aku akan menceraikanmu." Sela terdiam. Tangisnya reda seketika ketika mendengar ucapan sang suami. Cerai? Tidak-tidak. Ia tak bisa begitu saja berpisah dengan Pram. Akan seperti apa hidupnya jika tidak lagi menjadi menantu keluarga Atmaja. Wanita itu berpikir sejenak. Lantas, mengusap pipinya dengan kasar. "Jangan, Pram. Aku cinta sama kamu. Aku enggak bisa hidup tanpa kamu," kata Sela memelas. Pram mulai melunak ketika sang istri mengiba. Ia tak tahu, tapi melihat Sela sangat menyedihkan seperti ini membuatnya tak tega. Bagaimanapun, mereka menikah karena saling cinta. Jadi, Pram mencoba meredam emosinya yang meluap karena rengekan sang istri. "Kamu tenang saja, Sayang. Aku enggak akan menceraikanmu. Aku juga cinta sama kamu. Tapi untuk kali ini, tolong pengertianmu, Sela. Mama terus maksa aku untuk cepat punya anak. Kalau ada anak, harta Papa pasti jatuh ke tangan kita," jelas Pram. Sela mengangguk lemah. Ia memeluk sang suami dengan erat, seolah-olah pasrah jika Pram akan menikahi Sania. Walaupun dalam hati ia masih tidak terima, setidaknya Sania juga tidak akan pernah bisa hamil oleh sang suami. Sementara ia, akan terus berusaha. Ia yakin, hubungannya dengan Saka di mobil waktu itu akan berhasil karena ia sedang dalam masa subur, batin Sela. Sementara Saka yang melihat Pram dan Sela berpelukan hanya bisa menunduk dalam. Pria itu membuang napas dengan kasar, lantas tersenyum kecil. Sela memang tidak punya pilihan lain selain menerimanya. Namun, haruskah Pram menikah lagi? Saka lantas berlalu. Sepertinya, ia harus bicara dengan Sania mengenai keadaan Pram. Walaupun ini bukan urusannya, setidaknya ia harus tahu apa alasan wanita itu menikahi sang kakak. Apakah karena harta atau ada alasan lain? Namun, tepat ketika pria itu menekan kenop pintu kamar tamu, ia melihat sesuatu yang tidak biasa. Saka terkesiap ketika melihat apa yang dilakukan Sania. Tanpa menunggu lagi, ia kembali menutup pintu dan bersandar di baliknya. "Astaga. Apa itu tadi?" bisiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD