Bab 6. Kita Hanya Berdua Saja

1124 Words
"Hmmh." Saka mengusap tubuh bagian bawahnya dengan lembut sembari memejam. Air yang keluar dari shower dan mengguyur tubuhnya terasa begitu dingin. Namun, ia masih bisa membayangkan tubuh Sela yang hangat. Setelah mengintip ke kamar Pram dan Sela tadi, Saka tidak bisa melupakan apa yang ia lihat. Sang kakak yang mengalami ejakulasi dini, juga kakak iparnya yang tergolek kecewa. Saka tidak bisa mengabaikan semua itu. Terlebih Sela yang tampak memelas. Saka tak yakin, tapi dalam tatapan matanya, Sela seolah-olah meminta Saka menyelesaikan apa yang tidak bisa Pram selesaikan. Nyatanya, Saka tidak bisa begitu saja melakukannya. Setelah selesai membersihkan diri, Saka keluar dari kamar dan memilih untuk merebah. Ia tak berniat mengambil pakaian karena rasanya ia sangat lelah. Pergolakan dalam dirinya berbanding terbalik dengan nalurinya sebagai lelaki. Namun, semua tidak bisa berubah. Sela tetaplah kakak iparnya. Sesaat kemudian, Saka memejamkan mata. Namun tak lama, ia kembali membukanya. Saka merasakan ada seseorang yang sedang duduk di atas pahanya saat ini. Dan benar. Itu adalah sang kakak ipar. "Mbak Sela. Mbak ngapain di sini?" tanya Saka saat itu. Sela tak menjawab. Namun, ia bergerak naik turun dengan liar di sana. Tentu saja, Saka jadi kaget. Pria itu mencoba menghentikannya ketika kemudian panggilan Harmoko membuatnya sadar. "Saka, Saka. Bangun, Saka!" Saka membuka mata dengan napas yang ngos-ngosan. Benda miliknya berkedut pelan. Antara nikmat dan penolakan. Namun, ia bersyukur karena sang papa datang tepat waktu membangunkannya. Itu benar-benar mimpi yang gila. "Pa." "Kamu mimpi apa sampai berkeringat begini? Manggil-manggil nama Sela juga?" tanya Harmoko kemudian. Saka tak langsung menjawab. Ia butuh alasan tepat untuk diberikan kepada sang papa. Tidak mungkin ia berterus terang jika dalam mimpinya, Sela mencoba bermain dengan miliknya. "Saka mimpi buruk, Pa. Saka mimpi Mbak Sela dipukuli lagi sama Mas Pram," dusta Saka. "Mereka sudah baikan sepertinya. Papa juga tidak habis pikir. Kenapa mereka begini," ucap Harmoko seraya menggeleng. "Oh, ya. Papa ada apa ke sini? Apa Papa sakit?" tanya Saka mencoba mengalihkan pembicaraan. "Enggak. Papa cuma mau bilang kalau besok Papa dan Pram akan pergi melihat proyek di luar kota. Enggak lama, hanya 5 hari. Paling lama sepekan. Kamu urus proyek real estate kita. Akan ada investor yang datang dan Papa mau kamu melobbi mereka. Tunjukan kalau kamu benar-benar bisa Papa andalkan," jelas Harmoko. Wajah Saka berubah cerah. Ia mengangguk mengiakan. Ya, pasti. Ia akan melakukannya. Papanya telah memberi kesempatan membuktikan. Jadi, ia tak mau menyia-nyiakannya. "Terima kasih, Pa," sahut Saka. "Papa mau kamu juga berkembang dengan apa yang kamu mau. Kamu cerdas, pantas menjadi dokter. Jika ada cita-cita yang lain, tidak akan menjadi masalah. Papa akan dukung juga," kata Harmoko. Saka sekali lagi berterima kasih. Pria itu berjanji akan melakukan yang terbaik seperti apa yang Harmoko mau. *** "Aku cuma 5 hari. Paling lama sepekan," kata Pram pada Sela yang saat ini duduk di sebelahnya. "Ya. Segera pulang kalau udah selesai. Hati-hati," sahut Sela kemudian. Pram mengangguk, sedangkan Ani segera menimpali. "Enggak usah manja nyuruh cepat pulang. Pram itu kerja. Bukan main-main," sahut Ani. "Ya, Ma." Sela tampak pasrah menjawab perkataan Ani. Mau bagaimana? Sepertinya ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi setelah ini. Saka juga tidak tertarik padanya. Jadi, tidak ada cara lain. Ketiganya lantas pergi setelah sarapan. Ani juga ikut karena ia terlalu cemburu ketika membiarkan Harmoko pergi sendiri saja bersama Pram. *** Seharian itu, Saka menyibukkan diri dengan tugas yang diberikan sang papa. Seorang dokter menghandle pekerjaannya di rumah sakit. Jadi, ia mengurus proyek real estate yang Harmoko pesankan. Ketika sampai di rumah, pria itu tak berniat menyambangi meja makan. Ia akan turun untuk makan nanti setelah membersihkan diri. Sialnya, ketika melewati kamar Sela, pria itu tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Tampak wanita itu sudah mengenakan pakaian tidur dan mengoleskan lotion di kakinya yang jenjang. Saka menelan ludahnya dengan gusar. Sela benar-benar meresahkan. Saka tahu, sang kakak ipar tidak berniat memamerkan tubuh padanya. Ia saja yang lancang menoleh dan sialnya pemandangan di dalam kamar wanita itu membuatnya jadi gila. Alih-alih melupakan apa yang tadi ia lihat, Saka buru-buru masuk ke kamarnya dan bergegas menuju ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuh penatnya dengan air dari shower demi membuat pikirannya tenang. Sial, lagi-lagi sial bagi Saka. Saat ia selesai bebersih dan turun ke meja makan, Sela juga sedang makan dengan pakaian yang tadi ia kenakan. Wanita itu juga terkesiap ketika melihat adik iparnya ternyata turun ke meja makan malam-malam begini. Sebab, Sela tahu jika Saka tidak pernah makan selarut ini. "Kamu belum tidur, Saka?" tanya Sela basa-basi. "Belum, Mbak. Aku laper." Saka mencoba menyahut dengan jujur. Ia mau bersikap biasa saja pada Sela walaupun telah melewati beberapa momen awkward dengan wanita itu. "Duduk dulu. Biar Mbak panaskan sayurnya. Bik Darmi sudah tidur. Kasian kalau dibangunin," kata Sela. Wanita itu bangkit. Lantas meletakan panci di atas kompor. Sementara Saka memperhatikan tubuh sang kakak ipar dari belakang. Punggung wanita itu terbuka separuh. Hal yang ternyata membuat Saka tidak bisa melepaskan tatapan dari sana. Ia masih lelaki normal. Jadi, hal yang demikian sederhana dari lawan jenisnya akan sangat berpengaruh pada pikiran dan tubuhnya. "Mau telur rebus? Mbak tau kamu suka makan telur," kata Sela seraya menoleh. Saka gelagapan saat itu. Hampir saja ia tertangkap basah memperhatikan tubuh indah kakak iparnya yang berdiri beberapa meter dari meja makan. Namun, ia mencoba menguasai diri. "Ya, boleh, Mbak," sahutnya. Sela tersenyum, lantas mengambil telur dan mulai merebusnya. Sembari menunggu telur matang, wanita itu menyediakan sayur yang tadi ia panasi ke meja makan. "Tunggu sebentar," ucap Sela. Saka mengangguk. Ia masih memperhatikan Sela sampai akhirnya telur selesai direbus. Wanita itu juga menghidangkannya di meja makan. Sayangnya, ketika ia membuang sisa air rebusan telur, tangannya terkena air panas dan Sela langsung berteriak. Saka berlari ketika mendengarnya. Tanpa aba-aba, pria itu memeriksa jari sang kakak ipar yang memerah. Lantas, mengguyurnya di bawah keran cuci piring. Setelah dirasa aman, pria itu dengan gila mengangkat tubuh Sela ke meja dapur. "Tunggu sebentar, Mbak." Saka lantas berlari mengambil kota P3K di salah satu laci dan kembali kembali dengan obat oles dan pereda nyeri. Dengan telaten, pria itu mengobati sang kakak ipar yang tanpa sadar terus memperhatikannya. Aah ... Sela merasa sangat dicintai ketika sang adik ipar memperlakukannya demikian. Ketika sesi mengobati itu selesai, Saka mendongak demi menatap wajah Sela yang memerah. Mereka bersirobok cukup lama, sampai Saka memutus tatapan lebih dulu. Ia sendiri bingung, kenapa sikapnya demikian gila kepada kakak iparnya. Apakah ia mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Terima kasih, Saka," bisik Sela kemudian. Saka hanya mengangguk lemah. Tidak ada lagi kata yang bisa pria itu ucapkan. Saka mundur sejengkal sebelum akhirnya Sela menahannya. Saka mendongak sejenak demi mengetahui apa yang diinginkan wanita itu. Namun, Sela tak membuka suara sama sekali. Sampai akhirnya Saka tak lagi bisa menahannya. "Jangan begini, Mbak. Aku tidak akan tahan," bisiknya seraya menenggelamkan wajahnya di d**a wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD