"Cepat bersihkan tubuhmu, dan pakailah lingerie itu! Saya ingin kamu terlihat seperti w*************a malam ini," kata William sinis, sembari memberikan paper bag berisi dua buah lingerie berwarna hitam dan merah menyala.
"Apa tidak bisa menundanya besok? Tubuhku terasa remuk, dan mataku sangat mengantuk. Aku lelah, ingin tidur," protes Flo.
"Saya tidak butuh penolakan!" pekik William.
Flo terperanjat kaget. Dia harus sadar, siapa dirinya. Percuma saja dia bicara. Laki-laki yang sudah membelinya tidak akan mempedulikan apa yang dia rasakan. Padahal, sikap William tadi cukup manis. Tapi sekarang, dia berubah kembali menjadi sosok monster yang menyeramkan baginya. Mau tak mau dirinya harus mengikuti perintah William sampai kontrak pernikahannya selesai.
William terlihat sudah menunggu Flo keluar dari kamar mandi. Dia duduk di sofa, menanti wanita yang sudah resmi menjadi istri kontraknya. Tak ada cinta di pernikahan mereka, hati William masih membeku. Wanita hanya dia bayar, untuk dinikmati. Setelah bosan, dia akan membuangnya seperti sampah.
Berkali-kali William menelan salivanya, menatap tak berkedip ke arah Flo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Hasrat kelelakiannya memuncak. Sedangkan Flo justru masih terlihat malu-malu. Dia memilih menunduk. Wajahnya pun memerah.
"Hei, mengapa kamu diam seperti patung seperti itu? Cepat jalankan tugasmu!" Suara William memekik.
"Hufft! Ini orang bicaranya ngegas terus. Apa tidak bisa bicara pelan-pelan? Lama-lama ini orang bisa kena darah tinggi," gerutu Flo dalam hati.
"Saya yakin, kamu pasti sedang membicarakan saya dalam hati," sindir William. Flo terperanjat kaget mendengar penuturan William. Dia tak habis pikir, mengapa William sering kali tahu kalau dirinya mengumpatnya dalam hati.
Dengan perasaan malas, akhirnya Flo berjalan menghampiri William.
"Cepat, lakukan tugasmu! Jika tidak ingin saya anggap sebagai seorang jalang, maka kamu harus lakukan sebagai istri yang baik!" Ucap William. Dia sudah menginginkannya. Namun, sikapnya masih saja terlihat angkuh.
Dirinya memang bukan seorang jalang. Sulit bagi Flo melakukan itu. Hingga William harus melakukannya dengan paksaan. Dia langsung menggendong tubuh Flo, dan membawanya ke ranjang. William sudah tak ingin menunggunya lagi. Pakaiannya kini sudah terserak di lantai.
"Aarrgghh ...!"
William mencumbunya dengan kasar. Tak ada kenikmatan yang Flo rasakan.
"Tuan, aku mohon! Pelankan sedikit!" Pintanya.
Tapi sayangnya, William menulikan telinganya. Dia begitu bernafsu. William banyak membuat stempel merah.
"Mendesahlah! Aku ingin mendengar kamu mendesah!" bisik William.
Bagaimana bisa Flo mendesah, jika William melakukannya dengan kasar.
"Ayolah, nikmati! Bersikaplah liar di ranjang!" Kata William. Suaranya terdengar berat.
Flo merasa sedih. Dia tak menyangka, ayah tirinya akan tega menjualnya. Satu tamparan mendarat di pipinya menyadarkannya. William merasa kesal. Flo memegang pipi bekas tamparan William, yang masih terasa panas.
"Selalu saja membuat mood saya buruk! Apa telinga kamu tuli, tidak bisa mendengar ucapan saya? Hah?!"
William mencium bibir Flo kembali dengan kasar. Flo terpaksa harus menikmatinya. Dia tak ingin William marah kembali. Tubuhnya terasa remuk, dan sakit di area sensitifnya. Saat William menghujami miliknya tanpa ampun. Dia semakin mempercepat permainannya. Dia begitu menggila.
"s**t! Ini sangat nikmat," umpatnya dalam hati.
Rasanya sangat berbeda dengan para jalang yang dia tiduri. Tak puas dengan satu gaya, dia mencoba gaya yang berbeda. Flo hanya bisa pasrah.
"Tuan, hentikan, aku mohon! Saya lelah!" pinta Flo memelas. Dia sudah tak sanggup lagi.
"Sedikit lagi! Ayo, nikmati! Biar kita bisa mencapai puncak bersama!" Ucap William. Dia terlihat ngos-ngosan. Napasnya memburu. Hingga akhirnya dia mengerang, menumpahkan cairan hangat di rahim Flo.
Seperti biasanya, tak ada kecupan. Dia langsung bangkit begitu saja. Kemudian membersihkan miliknya. Flo pun langsung bangkit, memungut lingerie yang dia pakai tadi.
William sudah membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia sudah merasa terpuaskan, dan saatnya dia tidur. Berbeda halnya dengan Flo yang justru sedang menangis di dalam kamar mandi. Ingin rasanya dia segera terbebas dari neraka ini. Dia berharap cepat hamil, dan segera pergi dari laki-laki kejam itu. Jika dirinya hamil, William pun tak akan lagi menyentuhnya.
Saat Flo keluar dari kamar mandi, William sudah tertidur. Cepat-cepat Flo memakai pakaiannya, dia menggigil kedinginan. Flo meringkuk di sofa.
"Mengapa hidupku begitu malang? Aku harus menikah dengan laki-laki yang gak aku cinta. Dia juga begitu kejam. Devan pun ternyata selama ini selingkuh dariku," kata Flo lirih dalam hati.
Rasa lelah yang Flo rasakan, membuat dia akhirnya tertidur. Namun, tak lama kemudian Flo mengalami demam. Hingga membuat mulutnya terus meracau, dan mengganggu tidur William.
"Ganggu saja ini orang," gerutunya sembari beranjak turun dari ranjang menghampiri Flo. Meskipun dia merasa kesal, dia juga merasa penasaran. William ingin tahu apa yang terjadi dengan Flo.
"Apa dia demam?" gumam William, karena dia melihat mata Flo yang masih terpejam.
Dia pun langsung meletakkan punggung tangannya di kening Flo, untuk mengetahui kondisi suhu tubuh Flo.
"Ya Tuhan, panas sekali. Pantas saja dia meracau," katanya.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menggendong tubuh Flo, dan membawanya ke ranjang. Dia letakkan tubuh Flo secara perlahan, dan dia selimuti tubuh Flo dengan selimut. Flo akhirnya terbangun, membuat netra mereka bertemu sejenak.
"Bikin susah saja, ganggu orang tidur. Sudah sana tidur lagi! Saya lakukan ini, karena kamu sudah mengganggu tidur saya," umpat William.
"Orang sakit, malah diomelin! Dasar laki-laki gak punya hati. Lebih baik kamu biarkan saja aku di sana, daripada mulut kamu ngedumel," gerutu Flo. Ingin sekali dia meremas mulut nyinyir William.
Entah mengidam apa ibunya dulu, sampai anaknya seperti itu.
Kini bertukar posisi. William yang tidur di kursi, sedangkan Flo yang di ranjang. Namun, Flo masih tak enak badan. Meskipun dia sudah menutupi tubuhnya dengan selimut, dia masih kedinginan. Padahal, tubuhnya terasa panas. Kepalanya pun terasa pusing. Dia yakin, semua ini karena ulah William. Hingga pukul 04.00 pagi, Flo baru tertidur nyenyak.
William baru saja terbangun, dan dia melirik ke arah Flo yang masih tertidur nyenyak.
"Apa dia masih sakit?" tanyanya dalam hati.
Dia penasaran. Namun, rasa gengsi mengalihkannya. Hingga dia memilih untuk mandi.
"Dasar pemalas. Bukannya bangun," umpatnya dalam hati, saat William keluar dari kamar mandi. Baru selesai mandi.
"Apa kamu terbiasa bangun siang? Ingat, sekarang kamu sudah menikah! Meskipun kita hanya menikah kontrak, jaga sikapmu!" tegur William keras, membuat Flo tersentak bangun.
"Ma--maaf. Kepalaku pusing sekali. Aku pun merasa meriang," jawab Flo, terdengar lemas.
"Baru segitu saja, sudah sakit. Dasar lemah! Ya sudah, kamu sarapan saja di kamar. Nanti, saya akan menyuruh pelayan hotel mengantarkan makanan ke kamar," ucap William ketus.
"Tidak perlu! Aku tidak lapar. Mungkin, lebih baik aku mati saja," sungut Flo.
"Kamu pikir, saya akan membiarkan. Hah?! Bukan nominal sedikit, uang yang saya keluarkan untukmu. Lagipula, tugas kamu belum selesai. Saya tidak akan membiarkan kamu mati sekarang. Karena, mungkin saja saat ini benih saya sedang berkembang di rahim kamu," sahut William. Dia pun langsung meninggalkan Flo, keluar dari kamar begitu saja.
"Dasar menyebalkan!" Umpat Flo. Dia juga tampak meninju bantal di dekatnya, meluapkan perasaan hatinya.