" Ini karena kelelahan dan tekanan darah yang rendah membuat adik anda pingsan, untuk beberapa hari ini dia harus istirahat total " jelas dokter yang memeriksa Intan. Dimas memperhatikan catatan medis saudara sepupunya.
" Terima kasih dok " ucap Dimas kemudian mengantar dokter itu ke luar ruangan. Laki laki berjaket kulit itu menatap sepupunya yang sedang terbaring di brankar.
Saat Intan masuk ke dalam lift dengan wajah pias, Dimas mengikutinya meski ia harus naik tangga. Ia mendengar percakapan mantan suami istri itu. Ia tak berhak ikut campur dalam pembicaraan mereka. Tapi ia kuatir akan kondisi Intan karna sejak trauma disekap tiga hari oleh suami sendiri dan harus kehilangan bayi yang begitu dicintainya, ia tahu hari hari berat yang di lalui sepupunya.
Dimas mengangkat telpon dari Darren. Bagaimanapun ia harus mampu menahan emosinya karna Darren adalah partner kerjanya. Sebenarnya ia ingin marah pada Darren karena sudah membuat kondisi Intan drop tapi demi kerja sama yang berlangsung baik ia akan bersikap sewajarnya.
" Bagaimana keadaan Intan ? " suara dalam telpon terdengar cemas.
" Sudah tidak apa apa, dia butuh istirahat. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya "
" Saya...saya minta maaf " ucap Darren dengan suara berat.
Dimas menghela nafas panjang. Ia merasakan laki-lai yang jadi kliennya itu dirundung rasa bersalah terhadap Intan. Ia bisa melihat tatapan sendu bos besar itu saat pertama kali melihat Intan.
" Pak Darren, saya tidak ingin ikut campur dengan urusan kalian di masa lalu dan saya juga tidak berani menyalahkan bapak atas apa yang terjadi pada Intan saat itu. Saya hanya ingin pak Darren membiarkan Intan tenang. Dia sudah berjanji tidak pernah mengusik kehidupan bapak lagi. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan keluarga bapak. Maafkan kalau saya lancang "
" Saya mengerti "
Darren menutup telpon dan menelungkupkan kepala. Ia harus terima kalau saat ini Intan begitu membencinya,ia memang pantas di benci. Semua ini karena kebodohannya dalam menilai hati seseorang. Ia mengelus foto pernikahannya dengan Intan. Pernikahan yang dulu begitu ditentangnya. Ia mengatakan pada kedua orangtuanya, ada wanita lain yang sedang ia tunggu. Seorang model yang lebih dewasa dari Intan. Dari segi usia, ia meyakinkan ibunya kalau Anne lebih bisa menjadi ibu Kevin.
Dua hari Intan tidak bergabung dengan rekannya, ia masih dizinkan untuk istarahat selama satu minggu. Darren tak bertanya pada Dimas tentang kondisi mantan istrinya itu karena Dimas memohon padanya untuk membiarkan Intan melupakan semua cerita masa lalu mereka. Sekarang Intan hanya menganggap Darren sebagai klien mereka.
Hari ketiga, Intan kembali bergabung dengan timnya. Mereka akan mengambil vidio di ruangan Darren. Hari ini mereka akan mengambil vidio bersama pimpinan perusahaan. Seperti sebelumnya Intan bersikap profesional, ia tak terlihat canggung ketika mengarahkan krue dalam mengambil angle yang bagus untuk gambar mereka. Darren datang bersama sopirnya. Dimas dan timnya mengikuti langkah Darren masuk ruangan.
" Maaf saya terlambat dan saya mungkin tak bisa lama lama karena saya harus ke rumah sakit " ucap Darren setelah mempersilahkan Dimas dan timnya duduk di sofa. Intan hanya tertunduk, fokus mata Darren selalu jatuh padanya. Intan tak berani beramsumsi apapun. Dua bola mata yang dulu bersinar garang saat menatapnya, menganggapnya sebagai manusia paling bersalah di dunia. Sekarang tatapan itu seakan berharap untuk dikasihani.
" Kita mulai sekarang saja ya pak, bapak cukup menyampaikan visi misi perusahaan ini " ucap Dimas sambil mengarahkan kure menata alat dokumentasi mereka. Darren mengikuti semua instruksi Dimas. Semua berjalan normal sampai Dimas tanpa sadar menyuruh Intan melakukan sesuatu yang membuat memori Intan berputar ke peristiwa beberapa tahun yang lalu.
" In.., tolong rapikan jas sama pak Darren "
Intan pun reflek bergerak dan melakukan instruksi Dimas. Saat kedua mata mereka bertemu saat Intan menyentuh bahu Darren, wanita itu tak bisa memungkiri hatinya, ia masih mengagumi kedua bola mata mantan suaminya.
" Maaf " ucap Intan ketika tangannya bergerak ke arah dasi Darren. Laki-laki berhidung bangir itu hanya mengangguk. Keduanya saling menghela nafas. Dewi, salah satu krue memandang sinis saat Intan melakukan tugasnya.
" Sok polos, padahal penggoda juga " bisiknya pada rekan kerjanya.
Darren melihat tangan Intan mulai menjauh, rasanya ingin ia tahan tangan itu tetap di dadanya. Menebus semua prilaku kasarnya ketika ia memarahi seorang gadis sembilan belas tahun yang dipaksa menikah dengannya. Saat mamanya mengajarkan bagaimana memperbaiki dasi, merapikan jas. Di depan mamanya, ia bisa bersikap lunak. Tapi saat mamanya sudah pergi, ia menunjukkan tajinya sebagai penguasa.
" Jangan sok di depan mama. bersikap biasa saja, jangan pura pura manis untuk mengambil hati mama " itu kata kata yang selalu ia lemparkan pada gadis itu.
" Bisa kita mulai pak " tegur Dewi karena melihat Darren yang termangu di meja kerjanya. Darren terkesiap, lamunannya tentang wajah polos seorang gadis yang dulu begitu ketakutan melihatnya.
" Maaf, saya sedang kepikiran anak saya " ujar Darren lemah. Dimas memandang Intan yang mengalihkan pandangan ke jendela, ia tahu apa yang dipikirkan sepupunya itu.
" Ekspresi wajah pak Darren kurang bagus dilihat di kamera, keliatan banget sedihnya " bisik Dewi. Dimas memijit pelipisnya, ia mengerti bahwa kondisi kliennya sedang berduka karena memikirkan anaknya yang sedang sakit.
" Maaf pak Darren, nanti Intan boleh ikut bapak ke rumah sakit karena ia harus kontrol hari ini ? " tanya Dimas saat mendekati Darren. Darren tak menjawab, ia melihat ke arah Intan yang melihat ke arah Dimas.
" Boleh " jawab Darren sambil membalas tatapan Intan yang menoleh padanya. Ia mengangguk pasti.
" Tapi kita masih banyak pekerjaan disini Dim " tolak Intan, seketika wajah Darren berubah muram. Intan melihat ekspresi itu, apa yang dilihatnya ini salah. Dulu justru wajah itu selalu berubah masam ketika mereka harus dalam satu mobil.
" Kesehatan kamu lebih penting In..., kami bisa menghandel semuanya disini "
" Baiklah..." jawab Intan akhirnya, sebenarnya ia ingin sekali melihat putranya, tapi ia takut meminta hal itu pada Darren, kata-kata laki-laki itu menghunus hatinya saat ia diminta menjauhi Kevin. Bahkan Darren sampai menyewa bodiguard agar ia tak bisa mendekati Kevin.
Intan keluar ruangan, ia menghela nafas panjang setelah menutup pintu. Ia menepuk keningnya berkali kali, tadi ia melihat mantan suaminya itu menyunggingkan senyum. Senyum yang dulu begitu ia dambakan. Beberapa kali ia coba, laki-laki itu begitu enggan tersenyum padanya. Jika Darren tersenyum padamya, seakan itu adalah anugrah yang harus Intan syukuri. Sayang, dulu senyum itu tak pernah tulus untuknya, hanya di depan orangtuanya saja Darren mau tersenyum.
" Sudahlah...itu semua cerita yang harus dilupakan, sekarang aku sudah dengan hidupku yang baru " ucap Intan dalam hati.