Pagi yang sibuk. Seluruh karyawan mulai mengambil posisinya masing masing. Dengan tergesa Intan memasuki gerbang kantor, ia tadi terlambat bangun karena semalam ia tak bisa memejamkan matanya karena terus memikirkan Kevin. Ia setengah berlari mengejar lift yang sudah terbuka. Intan tak ingin nama baik perusahaannya tercemar karena keterlambatannya.
Matanya tak awas terhadap orang yang sedang melintas hingga mereka bertabrakan. Tapi tubuh itu terlalu kokoh hingga ia yang justru terpental. Intan merasakan ada tangan yang menarik tubuhnya agar berdiri.
" Terima kasih " ucap Intan sambil merapikan pakaiannya.
" Lain kali kalau jalan hati hati " balas orang yang membantu Intan berdiri. Intan menegakkan kepala, beberapa detik mereka saling menatap. Wanita berbalut kaos hitam dan Celana bahan dengan warna senada tertunduk.
" Pagi pak Darren " sapanya.
" Pagi "
Darren hanya bisa melihat mantan istrinya itu berlalu menuju pintu lift. Padahal ia ingin mengucapkan banyak hal, bertanya banyak hal dan satu kata kalimat sudah berada di ujung bibir
" Maafkan aku Intan "
Mata Darren tak bisa lepas dari sosok mantan istrinya yang masih terpaku di depan pintu lift, tampaknya jam sibuk membuat semua lift sedang digunakan karyawannya. Ia meminta asistennya untuk mengajak Intan untuk menaiki lift pribadinya.
" Bu Intan di minta pak Darren naik lift khusus pimpinan, mari bu " Intan terkejut asisten Darren muncul di depannya.
" Tidak apa apa pak, saya tunggu saja "
" Tapi bu, pak Darren ingin bicara sesuatu sama ibu " Intan tertegun dengan permintaan itu. Tidak mungkin ia menolak permintaan pimpinan perusahaan yang menjadi kliennya. Apapun suasana hatinya terhadap mantan suaminya itu. itu adalah urusan pribadinya, seperti janjinya pada Dimas. Ia harus bisa bersikap profesioal. Intan akhirnya mengikuti langkah asisten Darren. Ia kira akan bertiga dalam lift jadi ia tak akan canggung.
Entah disengaja atau tidak. Mereka hanya berdua dalam lift.
" Boleh aku minta waktumu untuk bicara ? " tanya Darren setelah mengumpulkan kekuatan mentalnya untuk menjadi dirinya sendiri di depan mantan istrinya. Rasa bersalah itu telah meruntuhkan egonya sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan besar itu.
Intan hanya mengangguk. Intan meremas tangannya, ia tak ingin rasa sakit itu muncul lagi. Tak ingin cinta yang pernah tumbuh itu kembali mengurai daunnya. Laki-laki itu pernah mencampakkannya di saat ia begitu berharap untuk dicintai. Kini, ia ingin menunjukan kalau kini ia adalah wanita yang tangguh.
Pergerakan lift terasa melambat, Intan terus melihat perubahan angka yang terasa lama berganti.
Akhirnya mereka sampai di lantai yang dituju. Ia mengikuti langkah Darren ke sebuah ruangan.
" Silahkan duduk " Darren membukan kursi di depan sebuah meja kerja yang tertata rapi. Semua ornamen ornamen yang di pajang menunjukan kalau si empunya memiliki kepribadian yang elegan.
Mereka duduk berhadapan. Intan memberanikan menegakkan kepala, dulu ia selalu merasa laki-laki didepannya mendominasi semua sikapnya. Posisinya sebagai istri yang tak diinginkan, menjadikannya bak pelayan dan majikan.
Entah kenapa semuanya jadi terbalik. Laki-laki itu yang sekarang tak bisa bertahan lama menatapnya.
" In..." panggilnya dengan wajah tertunduk sambil menggenggam kedua tangannya.
" Aku...."
Jeda. Intan tak menanggapi apapun, ia sibuk menetralkan hatinya. Ia berharap tak ada tindakan impulsif yang akan keluar.
" Maki saya " Intan yang tadi mengalihkan pandangan reflek menoleh. Gemuruh yang berusaha ia tahan kembali berhembus, kini rasa sakit itu menjalar hingga ke kepala.
" Jika kamu ingin marah pada saya, luapkan saja. Saya tak akan menyalahkanmu, Saya memang b******n In..saya sudah membunuh anak kita, saya minta maaf "
Intan menggigit bibirnya agar kata makian itu tak melompat dari mulutnya. gegas ia berdiri dan meninggalkan ruangan kerja mantan suaminya itu.
Kejadian dua tahun lalu kembali berputar di benaknya. Intan menenangkan diri di ruangan kerjanya, menelungkupkan kepala dan membiarkan air mata itu luruh dari pelupuk matanya. Ia mencari nomor telpon Darren yang pernah dikirim Dimas. Ia menghubungi mantan suaminya itu.
" Halo..." Darren menjawab panggilan.
" Saya mohon, untuk ke depannya, Jangan mengungkit masa lalu itu, saya tak akan menuntut apapun atas kejadian di masa lalu Pak Darren, saya tak ingin menganggu anda lagi. Jika bapak merasa bersalah, sebelum bapak melakukan kesalahan saya sudah memafkan karena saat itu saya sangat mencintai bapak. Saya tidak ingin membalas dendam. Saya turut bahagia jika bapak bahagia "
" In...." Intan segera mematikan panggilan. Ia rasa laki-laki itu tau bagaimana harus bersikap padanya. Intan menghela nafas dalam dan membuka layar laptop. Ia menghapus air matanya, dan membubuhkan kembali bedak yang menipis karena air mata.
Tak lama Dimas datang bersama beberapa kru . Mereka datang dengan membawa alat alat dokumentasi, Dimas menghubungi asisten Darren, mereka harus membahas tentang skrip yang sudah mereka buat denga CEO perusahaan itu.
" Pak Darrennya sudah datang pak ? ada beberapa hal yang harus kita bahas " tanya Dimas, ia memperhatikan raut wajah saudara sepupunya. Intan berusaha tersenyum.
" Sudah pak, tapi dia ada meeting dua jam, mohon di tunggu " Jawab asisten Darren.
" Jangan bertanya apapun, kita fokus pada pekerjaan OK ? " Sergah Intan ketika Dimas sepertinya ingin menanyakan keadaannya.
" OK " Dimas menanggapi dengan jempolnya.
Sambil menunggu Darren, Intan dan timnya sibuk membahas skrip yang sudah Intan tulis. Ia merasa haus karena sudah bicara panjang lebar dengan kru. Intan pergi ke Pantry untuk mengambil minum, seperti biasa ia akan mendengar gosip gosip karyawan saat istirahat di Pantry.
" Kabarnya pak Darren, sudah putus dengan tunangannya. Nggak nyangka cewek secantik itu bisa berbuat jahat dengan anak kecil. Coba pak Darren pilih aku, aku pasti rawat dengan baik anaknya "
Intan menghentikan gerakan tangannya mengambil gelas. Semalam ia bermimpi, anak sambungnya itu terus memanggil namanya. Ia ingin sekali tahu keadaan Kevin. Bibirnya berat bertanya karena dulu Darren pernah mengancamnya untuk tidak mendekati Kevin lagi.
" Memangnya anak pak Darren kenapa ? " Intan memberanikan diri bertanya. Ia berharap firasatnya salah, beberapa hari bertemu Darren hatinya berkata kalau anaknya tidak baik baik saja.
" Katanya sedang koma di rumah sakit " jawab salah seorang karyawan perempuan. Intan kalut, ia bertanya pada karyawan yang ia temui dimana ruang meeting tempat Darren sedang rapat dengan seluruh staff pimpinan divisi. Ia mempercepat langkahnya dan setengah berlari menuju ruang meeting. Intan kehilangan kendali dirinya, ia tak sadar akan mengacaukan sebuah rapat penting yang dipimpin Darren.
Security kecolongan oleh langkah Intan membuka pintu ruangan. Ia tak mempedulikan beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Sepersekian detik, ia sudah berdiri di depan Darren yang sedang menjelaskan sesuatu. Darren terkejut ketika Intan menarik dasinya.
" Kenapa kamu tidak bilang kalau Kevin sedang sakit ! " sentak Intan tegas. Semua peserta rapat terperangah, begitu lancang seorang karyawan mengancam pimpinan mereka.
" Rapat kita tunda dulu, kalian boleh kembali ke ruangan masing masing " titah Darren. Ia menarik nafas karena sesak oleh dasi yang melilit lehernya begitu kencang karena tarikan Intan. Semua peserta rapat mengikuti perintah rapat. Intan mulai menyadari apa yang terjadi dan melepaskan dasi Darren. Ia ingat kalau statusnya sekarang bukan ibu Kevin lagi. Ia berlari keluar ruangan, menaiki lift hingga top roof.
Bersama terpaan angin yang kencang. Ia menangis sekuatnya.
" Kevin.., Bunda rindu kamu nak " teriak Intan. Seseorang yang mengikutinya tertegun. Air matanya ikut menetes.
" Kamu boleh membenci aku In.., tapi jangan abaikan Kevin. dia anakmu...meski tidak lahir dari rahimmu. aku ayah yang b******n In, aku berdosa terhadap kalian. Untuk Kevin, Kamu dan anak kita "
Kepala Intan berdenyut, ia berbalik. Menatap tajam mantan suaminya.
" Kau tak pernah mengakuinya sebagai anak, kau mengurungku, kau bunuh kami secara perlahan " teriak Intan. Ia terus memegang kepalanya.
Tiba tiba tubuhnya melunglai, untung Darren dengan sigap menyambutnya.
" Tolong maafkan aku sayang, aku menyesal " lirih Darren sambil membelai rambut mantan istrinya.