27. Cinta Monyet

2130 Words
Dion baru saja selesai lari sore. Tubuhnya kini sudah basah bercucuran peluh. Rasanya nikmat sekali berlari di bawah langit sore yang indah. Akhir-akhir ini Dion mulai melakukan kegiatan lari sore secara rutin. Karena dia sedang mempersiapkan dirinya. Barangkali dia memang lolos ke dalam tim futsal Garuda dan bisa bertanding dalam partai yang lebih besar. Langkah kaki Dion akhirnya melambat ketika dia sudah tiba di depan gerbang rumah. Begitu masuk, ia langsung disambut oleh sang papa yang kini duduk santai di teras seraya membaca koran. Eh. “Papa udah pulang!” Dion tampak sedikit kaget. Ridwan mengangguk. “Iya. Hari ini papa pulang lebih cepet.” Dion kemudian mendekat dan juga duduk di kursi yang lainnya. Keduanya duduk di sana. di tengah-tengah mereka ada sebuah meja kayu bulat, diatasnya ada kopi milik Ridwan. “Abis lari ke mana kamu?” tanya Ridwan. “Keliling komplek aja, Pa,” jawab Dion. Ridwan mengangguk samar. “Oh iya... rumah baru kita benar-benar sudah bisa dihuni. Bagaimana menurut kamu? kapan sekiranya waktu yang tepat untuk kita pindah?” Hening. Entah kenapa rasanya Dion masih juga belum rela meninggalkan rumah penuh kenangan yang hingga detik ini masih ia tempati. Melihat raut kesedihan di wajah anaknya, Ridwan pun melipat koran yang ia baca, meletakkannya di atas meja, lalu kemudian tersenyum pelan. “Dion... pindah dari rumah ini bukan berarti kita menghapus segala kenangan tentang mama kamu... Segalanya akan tetap sama. Rumah ini pun akan tetap kita pertahankan dengan segala kenangan yang ada di dalamnya. Dan yang lebih penting dari semua itu adalah... mama kamu akan selalu ada di sini.” Ridwan menyentuh dadanya sendiri. “Di hati kita.” Dion menatap Ridwan, lalu tersenyum lemah. Dion memang merasa demikian. Dia merasa bahwa pindah dari rumah itu sama artinya dengan menghapus atau meninggalkan segala kenangan tentang almarhumah sang mama. Dion sangat menyayangi mamanya. Sampai detik ini pun Dion masih mengelak kenyataan bahwa sang mama sudah tiada. Dion masih ‘menghidupkan’ sosok sang mama dalam kesehariannya. Seperti melakukan hal-hal yang biasa mamanya lakukan seperti merawat tanaman, membersihkan rumah, mencoba berbagai resep makanan baru dan terkadang Dion bahkan juga sering berbicara sendiri, seakan-akan da tengah berbincang dengan mamanya. Tidak. Dion tidak gila. Dia melakukan semua itu dengan kewarasan penuh. Semua yang ia lakukan semata-mata karena dia merindukan sang mama. Itu saja. “Jadi rumahnya sudah jadi, Pa?” tanya Dion kemudian. Sang papa mengangguk. “Iya.” “Kalau begitu ya sudah... aku menurut saja. Kita bisa pindah kapan saja,” tukas Dion kemudian. “Kamu yakin?” “Iya, Pa. Tapi sesekali aku tetap boleh berkunjung atau menginap di rumah ini, kan?” tanya Dion. Ridwan tertawa. “Pertanyaan apa itu? hahaha. Tentu saja boleh. Ini adalah rumah kamu! rumah kita! Papa akan mencari orang yang akan menghuni rumah kita ini. Untuk menjaga dan merawatnya nanti. Papa akan menyiapkan satu kamar yang nantinya bisa mereka huni.” “Tapi... apakah itu aman, Pa? Maksudnya apa mungkin nanti mereka malah merusak dan melakukan hal yang buruk di sini?” Dion merasa sedikit khawatir memikirkan akan ada orang asing yang menempati rumahnya. “Tenang saja! papa akan mencari seseorang yang bisa dipercaya,” jawab Ridwan. Dion mengangguk. Dia memilih untuk percaya pada sang papa. Tatapannya kemudian mengarah pada segala penjuru rumah itu. “Yah... mungkin memang sudah saatnya untuk membuka lembaran baru. Semoga saja segalanya menjadi lebih baik. Begitulah harapan Dion dalam hatinya. Setelah itu Dion beranjak mandi dan menikmati segelas s**u hangat. Dia membutuhkan asupan protein setelah berolahraga untuk ototnya. Dion menikmatinya di teras rumah. Sendirian saja karena sang papa sudah beranjak ke ruang kerjanya. Rambutnya masih basah karena Dion tidak mengeringkannya dengan baik. Dia hanya menyeka sebentar dan handuk dan kemudian membiarkannya saja. Dion tampak termenung. Raut wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Bayangan wajah Bagas terus saja menganggu pikirannya. Dion menghela napas sesak. Seiring dengan itu dia juga teringat dengan seseorang. Membuat Dion lekas bangun dan meninggalkan gelas susunya yang belum habis. Dion berlari ke dalam kamar untuk mengambil jaket dan kunci motornya. Setelah itu dia pun melesat pergi, tentu setelah ijin dulu kepada Ridwan. Motor itu melesat pergi. Dion mengendarai sepeda motornya di bawah langit yang sudah mulai menggelap. Dia menarik pedal gas lebih kuat lagi. Dion menembus jalan raya yang ramai, berbelok, meuruni jalan yang cukup curam, melintasi jembatan layang yang lengan. Perjalanan yang panjang itu kemudian membawanya ke sebuah kawasan pasar tradisional yang masih ramai dipadati oleh pembeli dan juga pengunjung. Dion cukup kesulitan untuk mencari tempar parkir motornya. Setelah berhasil menemukan lokasi parkir yang kosong, ia pun bergegas turun dan memasuki kawasan pasar itu. Dion menuruni anak tangga yang cukup banyak. Suasana di bawah sana riuh sekali. Khas suara pasar yang ramai. Segalanya ada di sana. Orang-orang ramai berlalu lalang. Para pedagang juga sibuk menawarkan barang dagangan mereka. Dion menatap bingung seraya menggaruk kepala. Dia sedikit lupa. Tidak tahu ke mana ia harus melangkah sekarang. Dion terus menyusuri blok demi blok yang ada. Dia melewati kawasan yang khusus menjual pakaian, lalu sempat tersesat ke bagian tempat menjual aneka daging segar. “Di mana ya? aku lupa karena sudah sangat lama tidak ke sini,” bisiknya lirih. Dion terus melangkah seraya memanjangkan lehernya. Dia bingung, juga sudah merasa lelah berjalan. Dion merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama. Dan ketika ia nyaris ingin menyerah... Tatapan Dion tertuju pada sebuah gerobak berwarna biru di depan sana. Tempat itu adalah sebuah lapak makanan yang terletak di antara kios yang berjualan sepatu juga sendal. Dion merasa kurang yakin, tapi dia terus melangkah. ‘Ketupat Gulai’ Dion tersenyum membaca merek yang tertera di gerobak itu. Sekarang dia merasa yakin dan melangkah lebih cepat. Dion kemudian mengintip dari balik sebuah pakaian yang tergantung di kios yang berada tepat di hadapan tempat itu. Helaan napasnya berubah sesak tatkala melihat seorang wanita paruh baya yang mengenakan kupluk dengan daster yang terlihat sudah lusuh. Ia terlihat sedang termenung. Kedainya tampak sepi. Kursi plastik yang ada di lapaknya itu kosong melompong. Tatapan mata Dion berubah sayu. Perlahan kakinya melangkah lebih dekat lagi. Kini ia bisa melihat sosok itu semakin jelas. Sosok yang di masa lalu cukup dekat dengannya. Dion seperti berjalan di bawah kesadarannya. Dan ketika ia tersadar, Dion cepat-cepat berbalik badan. Dia tidak siap untuk menemui sosok itu. Dia tidak sanggup untuk berjumpa dengannya. Karena ada sebuah rasa bersalah yang menghantui. Ada sebuah sesal yang selalu menyiksa kala Dion mengingatnya. Dion menghela napas sesak. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa menemuinya. Namun saat Dion hendak melangkah pergi, sosok itu malah memanggilnya. “Nak Dion...!?” Deg. Dion terkejut. Suara lirih yang terdengar ringkih itu membuat tubuhnya membeku. Dion seketika menahan napasnya. Kedua kepalan tangan pun sontak mengepal kuat. Setelah mengumpulkan keberanian, barulah Dion berbalik. Wajahnya tertunduk lama hingga kemudian barulah ia mengangkat wajah dan menatap wanita itu. ** “Ayo dimakan. Semoga kamu masih suka dengan ketupat gulai ibuk.” Sosok itu meletakkan sepiring ketupat gulai yang dengan kuah yang masih mengepulkan asap di hadapan Dion. Wanita renta dengan senyuman rapuh itu menatap Dion lekat-lekat dengan bola mata yang berkaca-kaca. Dion menghela napas sesak. Masih belum berani menatap wanita itu. Perlahan jemarinya meraih sendok dan mulai menyuap ketupat gulai itu ke mulut. Dion mengunyahnya pelan. Cita rasa yang memenuhi rongga mulutnya itu seketika langsung membawa Dion pada lembaran masa lalu. “Kamu suka?” tanya wanita itu lagi. Dion akhirnya menatap. “Suka, Buk... ketupat gulai buatan Ibuk selalu enak.” Wanita itu tersenyum lega. “Syukurlah... Ibuk tadi merasa tidak yakin. Tapi ternyata Ibuk tidak salah lihat. Ini benar-benar kamu.” Dion tersenyum canggung. “I-iya, Buk. Aku tadi tidak sengaja lewat sini.” “Oh... memangnya kamu mau membeli sesuatu?” Dion mengangguk cepat. “I-iya.” Wanita itu mengangguk tanda mengerti. Dia duduk di hadapan Dion dan menatap Dion lekat-lekat. “Waktu terasa berjalan sangat cepat ya... tanpa terasa sekarang kamu sudah dewasa saja. Bahkan sekarang kamu lebih tinggi dari ibuk.” Dion tersenyum. Dengan mulut yang penuh oleh potongan ketupat dan sayurannya. Wanita itu bernama Lela. Nama lengkapnya adalah Nurlela. Dulu ia bekerja sebagai seorang pemantu rumah tangga. Setelah sebuah peristiwa terjadi, dia kemudian beralih profesi menjadi pedagang ketupat gulai di pasar tradisional. “Andai saja Lani masih hidup... tentu dia juga sudah duduk di bangku SMA seperti kamu. iya, kan?” suara Lela terdengar lirih. Dion langsung tertegun. Jemarinya yang sedang memegangi sendok itu pun melemah. Akhirnya dia mendengar nama itu lagi. Dion meneguk ludah, lalu menatap wajah Lela yang kini berubah murung. Ada satu hal yang masih mengganjal di benak Dion. Membuatnya sempat membenci wanita itu untuk waktu yang cukup lama. Membuat Dion merasa bahwa Lela tidak benar-benar mencintai anaknya Lani yang sudah berpulang ke pangkuan Tuhan dengan cara yang cukup tragis. Lani adalah sahabat Dion sejak kecil. Mereka selalu bersama sejak bangku Sekolah Dasar hingga memasuki masa-masa SMP. Lani itu anak periang dan juga cerdas. Selain itu di ajuga jago memanjat pohon. Salah satu alasan Dion mengangumi Lani karena Dion sendiri tidak bisa memanjat pohon meskipun dia adalah seorang laki-laki. Lani sangat bisa diandalkan ketika pohon jambu biji di halaman rumah Dion berbuah lebat. Dion akan menanti di bawah dengan keranjangnya. Sementara Lani bekerja di atas pohon memetik semua jambu biji yang sudah masak. Pertemanan mereka sudah teruji waktu dan keadaan. Mereka tumbuh menjadi sahabat karena kebetulan saat itu Lani memang tinggal di sebelah rumah Dion. Lani adalah anak yang mandiri. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Sementara sang ibu sibuk bekerja, berangkat pagi dan pulang di malam hari. Masa kecil yang mereka lalui berdua jelas sangat teramat menyenangkan. Ada banyak kenangan indah yang sudah tercipta. Awalnya Dion menganggap Lani sebatas teman bermain. Tapi kemudian masa pubertas pun mengubah segalanya. Ketika menginjak kelas enam SD, Dion mulai tidak suka melihat Lani berteman dengan anak lelaki lain. Dion jadi lebih agresif dan juga posesif. Dia akan marah dan merajuk jika Lani lebih memilih anak yang lain sebagai partnernya ketika jam olahraga. Dion juga pernah membujuk temannya yang bernama Saipul untuk mau bertukar tempat duduk agar dia bisa duduk bersama Lani. Saat itu Dion pun harus merelakan salah satu tamiya kesayangannya sebagai bayaran untuk Saipul. Dan kemudian mereka pun lulus dari sekolah dasar dan masih menjadi sahabat. Meskipun saat itu Dion sudah memiliki perasaan yang berbeda kepada Lani.semacam cinta monyet. Namun Dion jelas tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya memendam perasaannya itu dalam-dalam dan selalu bersikap seolah-olah membenci Lani. Selalu jutek dan berteriak padanya. Marah ketika Lani terluka dan kemudian cemas Jika mendengar kabar yang kurang baik tentang gadis itu. Masa SMP itu juga menjadi awal bagi Dion merasa kehilangan sosok Lani. Gadis itu lebih sering mengabiskan waktu dengan geng-nya. Lani mempunyai kumpulan sahabat yang suka membahas majalah perempuan dan juga drama percintaan yang sedang hits di masanya. Dion merasa Lani sudah direbut dari sisinya. Lani tidak mau lagi diajak untuk mengambil jambu biji yang sudah matang di pohonnya. Buah jambu itu kemudian hanya membusuk di dahannya dan jatuh ke tanah. Seperti hati Dion yang hancur karena sebuah rasa kehilangan. Tapi meskipun begitu, Dion masih selalu berusaha untuk mendekati Lani. Dia selalu menyempatkan waktu untuk mengganggu Lani walau hanya sebentar karena Lani pasti akan mengusirnya. Persahabatan itu nyatanya tidak kekal seperti yang Dion harapkan. Rasa cinta yang tumbuh di hatinya pun juga semakin memperburuk keadaan. Waktu terus beranjak. Hari berganti hari. Bulan pun terus bertukar. Tahun demi tahun pun terlewati begitu saja hingga tak terasa Dion dan Lani sudah duduk di kelas tiga SMP. Saat itu Dion merasa sangat senang karena akhirnya dia sekelas lagi dengan Lani setelah dua tahun terpisahkan. Dikelas satu dan dua, Dion selalu merengek ke bagian kesiswaan agar ia dipindahkan ke kelas tempat di mana Lani berada. Tapi semua usahanya tidak pernah berhasil. Hingga ketika naik ke kelas tiga, anugerah itu akhirnya datang. Ia akhirnya bisa sekelas dengan Lani. Namun... Kebahagiaan Dion itu pun berganti kehilangan lagi karena Lani tiba-tiba pindah dari rumahnya. Lani mengatakan bahwa ia akan tinggal di rumah majikan ibunya. Kemudian Lani pun bercerita bahwa majikan ibunya itu sangat baik. Mereka tinggal di rumah yang mewah dan satu hal yang membuat Lani merasa sangat senang adalah... Ia mengenal anak dari majikan sang ibu yang menurut Lani sangat tampan dan juga baik hati. Setiap harinya Lani selalu menceritakan tentang sosok anak majikannya itu. Membuat Dion jengah karena dilanda rasa cemburu. Dari binar matanya ketika bercerita... sudah dipastikan bahwa Lani menyukai anak majikannya itu. Lani pun semakin jauh. Hubungan persahabatan mereka juga kian renggang. Puncaknya adalah ketika Lani mengakui bahwa dia menyukai anak dari majikan ibunya. Dunia Dion seketika hancur. Rasa cintanya yang sudah dipupuk lama semenjak mereka masih kelas enam SD itu pun menjadi momentum patah hati pertama bagi Dion dalam hidupnya. Pada akhirnya Dion memutuskan untuk mencari tahu siapa sosok anak majikan yang sudah berhasil memenangkan hati Lani. Hingga kemudian Dion pun tahu, bahwa sosok itu... Adalah Bagas Dhirgantoro.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD