28. Oh, Lani

2046 Words
“Bagaimana jualannya, Buk? laris kan?” tanya Dion dengan nada suara hati-hati. Lela terdiam. Tapi kemudian dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Senyum yang terlihat lemah dan tidak b*******h. “Yah, namanya juga jualan. Kadang rame, kadang juga bisa sepi. Tapi ndak usah cemaslah... rejeki sudah ada yang mengatur. Iya, toh!” Dion menatap Lela. Wanita itu berucap jangan cemas, tapi raut wajahnya saat ini jelas melukiskan kecemasan. Tatapan Dion beralih pada sayuran, ketupat dan juga panci berisi kuah yang masih terlihat penuh di atas gerobak sana. “Bagaimana kabar ayah kamu?” tanya Lela kemudian. “Papa alhamdulillah sehat, Buk. Ibuk sendiri bagaimana? Di mana Ibuk tinggal sekarang?” tanya Dion. “Ibuk juga sehat. Sekarang ibuk tinggal tak jauh dari pasar sini. Di rusun, ibuk nyewa di sana,” jawab Lela. Dion mengangguk tanda mengerti. Rasa canggung itu jelas masih terasa. Karena terakhir kali mereka bertemu, Dion benar-benar memaki Lela dan marah kepada wanita itu. Dion bahkan mengatakan bahwa Lela bukanlah ibu yang bauk. Dion berteriak mengatakan bahwa Lela sudah rela menukar nyawa anaknya hanya dengan sejumlah uang. Dan setelahnya Dion tidak pernah menemui wanita itu lagi. Setelahnya Dion coba melupakan tragedi yang sudah terjadi. Tapi kemudian semua berubah saat ia bertemu lagi dengan Bagas secara tidak sengaja di lapangan futsal. Pertemuan itu membangkitkan semua kenangan masa lalu. Memaksa Dion untuk kembali mengingat semua yang terjadi. Dan setelahnya semua terjadi sebagaimana hari ini. Dion akhirnya memutuskan untuk menemui Lela lagi. Sekedar ingin tahu bagaimana keadaan ibu Lani yang hidup sebatang kara itu. “Buk...,” panggil Dion kemudian. “Iya, kenapa?” Dion meneguk ludah dan berkata seraya menundukkan kepalanya. “Maafkan saya ya, Buk... karena terakhir kali saya sudah marah dan juga membentak-bentak Ibuk.” Sunyi. Ingatan Lela langsung melayang pada hari di mana Dion datang dan langsung berteriak padanya. Dion saat itu belum setinggi sekarang. Postur badannya pun masih sedikit berisi. Dion datang dengan seragam SMP-nya dan juga mata yang basah karena menangis. “KENAPA IBUK MENOLAK BANTUAN PAPA...!?” bentak Dion. Lela saat itu hanya diam seribu bahasa. Tanah pemakaman Lani masih basah kala itu. Hari di mana Lela kehilangan belahan jiwanya untuk selama-lamanya. Lani yang sudah pergi tidak akan pernah kembali lagi. “Ibuk adalah Ibu yang jahat! Ibuk sama sekali tidak sayang kepada Lani? Bisa-bisanya Ibuk mencabut tuntutan dan juga menolak bantuan hukum dari Papa!” pekik Dion lagi. Dion saat itu baru pulang dari sekolah dan papanya, Ridwan langsung mengabarkan bahwa ibu Lani menolak tawaran bantuan hukum atas kasus yang menimpa Lani. Dion mencoba membujuk Lela untuk terus melanjutkan proses hukumnya. Dion coba membujuk dari cara yang halus, hingga emosi memuncak dengan air mata yang berderai. Namun saat itu Lela bergeming. Dia bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Membuat Dion semakin marah dan akhirnya melontarkan berbagai kata-k********r kepada wanita yang dulu juga dianggap seperti ibunya sendiri itu. Lela termenung sejenak mengingat hari itu, lalu kemudian ia mengembuskan napas panjang dan tersenyum. “Sudahlah... semua sudah berlalu, mari lupakan segala kepahitan masa lalu. Ibuk tidak mau mengingatnya lagi,” tukas Lela lirih. Ucapan Lela itu sejatinya membuat Dion sedikit resah. Dia justru menginginkan sebaliknya. Kedatangan Dion justru ingin membujuk ibu Lani agar kembali berjuang untuk mendapatkan keadilan. Untuk membersihkan nama Lani yang juga sudah tercoreng karena ulah Bagas dan keluarganya. Bibir Dion terbuka untuk bicara, tapi kemudian dia mengatupkan bibirnya itu lagi rapat-rapat. Rasanya kurang tepat jika dia langsung membahas perkara itu di pertemuan pertama mereka, setelah sekian lama ia tidak berjumpa dan bertegur sapa dengan Lela. Dion akhirnya menahan diri. Dia hanya mengangguk dan lalu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Setelah itu mereka mengobrol ringan seputar kegiatan dan tentang sekolah Dion. Selama itu juga tampaknya Lela selalu berusaha menghindari topik obrolan yang mulai menjurus ke arah Lani. Dion pun coba memakluminya dan bersabar. Ia tahu bahwa mendesak dan memaksa ibu Lani tidak akan berdampak apa-apa. Dan waktu pun terus beranjak malam. Dion harus segera pulang karena dia ada agenda untuk bermain futsal bersama timnya malam ini. Dion melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, lalu beralih menatap Lela. “Buk... sepertinya saya harus pulang dulu, karena ada jadwal mau tanding futsal sama teman-teman.” Lela tertegun sebentar, lalu kemudian mengangguk. “O iya, Nak. Hati-hati di jalan ya. Lain kali mampir lagi ke sini.” Dion mengangguk. “Iya, Buk. Oh iya. Ketupat gulainya satu porsi berapa, Buk?” Lela lekas menggoyang-goyangka kedua telapak tangannya. “Ndak usah bayar. Ndak usah....” Dion tersenyum. “Masalahnya aku mau pesan untuk tim futsal aku. Buk. Tolong dibungkus dua belas porsi ya. Oh ... tiga belas saja, sekalian untuk papa.” Eg. Lela tampak terkejut dan malah membeku dengan mata berkedip-kedip cepat. “Buk!” panggil Dion lagi. Lela tersadar. “T-tiga belas bungkus?” “Iya. Tiga belas bungkus, Buk,” jelas Dion. Lela terpana lagi, tapi detik berikutnya dia langsung bergerak dengan cepat memasukkan ketupat, sayur ke dalam plastik, lalu menyiramnya dengan kuah dan kemudian juga diberi bawang goreng dan kerupuk merah. Dion tersenyum melihat Lela yang kini tersenyum seraya menyiapkan pesanan itu. Tak lama kemudian dia menyelesaikan pesanan Dion. Memberikan dua kantong plastik hitam yang tampak penuh dan lumayan berat. “Ini ibuk bungkuskan lima belas. Duanya bonus,” ucap Lela. Dion tersenyum, meletakkan kantong itu sebentar di atas meja, lalu kemudian mengeluarkan dompetnya. “Jadi semuanya berapa, Buk?” tanya Dion. “Seratus ribu aja,” jawab Lela. Dion menarik tiga lembar uang seratus ribuan dari dalam dompetnya, hingga dompet itu kosong dan kemudian melipatnya dan memberikan uang itu ke tangan Lela. “Makasih, ya, Buk.” Dion bergegas pergi sebelum Lela sempat memeriksa uang ditangannya. Dan beberapa saat kemudian Dion mendengar suara Lela memanggil-manggilnya lagi, tapi Dion hanya tersenyum dan mempercepat langkahnya untuk bergegas pergi. ** “Weh. Ini apaan? Kenapa banyak sekali?” tanya Ridwan melihat Dion pulang-pulang membawa makanan. “Ketupat gulai, Pa... untuk anak-anak main futsal.” “Dalam rangka apa?” tanya Ridwan lagi. “Em... aku Cuma pengen traktir mereka aja. “Oh iya, aku juga beliin buat Papa, kok.” Dion segera mengeluarkan dua bungkus. Satu untuk sang papa dan satu untuknya yang rencana akan Dion makan nanti sepulang dia bermain futsal. Ridwan tersenyum. “Wah kayaknya enak nih.” Dia menatap bungkusan ketupat gulai dengan kuah orange kemerahan itu. “Pedes juga kayaknya.” Dion hanya tersenyum. Tapi kemudian Ridwan terdiam. Keningnya mengkerut. Seakan-akan dia teringat sesuatu dan benar saja. Sesaat kemudian dia langsung menatap Dion. “Apa mungkin... ini adalah ketupat gulai jualan ibunya Lani?” tanya Ridwan. Sunyi. Dion malah terpekur. Membuat Ridwan langsung tahu bahwa anaknya itu memang sudah menemui ibunya Lani. “Bagaimana kabarnya? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Ridwan. Dion mengangkat wajah, lalu mengangguk. “Emmm... beliau baik-baik saja.” Ridwan menatap Dion lekat-lekat. “Kamu datang menemui dia dan memborong dagangannya?” “Iya, Pa.” “Bagus. Papa senang sama tindakan kamu yang seperti itu” Eh. Dion menatap sang papa yang kini tersenyum. “T-tapi, Pa....,” ucap Dion kemudian. “Tapi apa?” tanya Ridwan. “A-aku memberikan semua sisa uang jajan minggu ini kepada Bu Lela dan sekarang aku tidak punya uang jajan lagi,” ucap Dion lirih. Ridwan malah tertawa. Suara tawanya menggelegar. Membuat lemak di perut dan pipinya juga ikut berguncang. “Hahahaha. Ya sudah. Papa akan kasih kamu jajan lagi.” Dion menatap senang. “Serius, Pa?” “Iya. Sebentar ya... dompet papa ada di kamar.” Ridwan beranjak masuk ke dalam kamarnya. Sementara Dion tetap di sana, mengepalkan tinjunya, lalu tersenyum senang. “Yes...!” Setelah itu Dion pun buru-buru bersiap untuk pergi ke lapangan futsal. Hari ini kabarnya akan ada pengumuman dari pelatih tim futsal profesional Garuda. Hari ini mereka akan mengumumkan nama-nama yang akhirnya direkrut menjadi bagian dari tim mereka. Nantinya tim itu akan mengikuti turnamen futsal skala nasiona. Dengan hadiah dan juga bayaran pemain yang cukup menjanjikan. Hobi yang dibayar tentu akan terasa sangat menyenangkan. Itulah alasannya Dion berlatih cukup keras agar dia bisa menjadi bagian dari tim futsal Garuda. Kedatangan Dion yang membawa makanan itu pun tentu disambut heboh oleh rekan-rekannya yang lain dan ternyata Bagas beserta timnya juga ada di sana. tim Bagas juga ikut mendekat dan kebagian jatah ketupat gulai. Mereka berebutan, lalu mulai menyantapnya karena masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum permainan hari ini dimulai. Anak-anak itu memakannya dengan hanya menggigiti ujung bungkusan plastik dan kemudian menikmati. Dion hanya berdehem dan membuang muka saat Bagas menatapnya. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa Bagas masih menaruh dendam dan amarah terhadap Dion. Kedua lelaki itu lirik-lirikan dengan tatapan penuh kebencian. Dan ketika pandangan mata mereka beradu, keduanya sama-sama membuang muka. Saat ini Bagas menganggap Dion sebagai orang ketiga yang mencoba merusak hubungannya dengan Dina. Dion tahu akan hal itu, tapi dia mengabaikannya. Dion mencibir saat Bagas ikut mengambil sebungkus ketupat gulai yang dibawanya dan mulai menikmatinya bersama yang lain. Tapi beberapa saat kemudian... “Puiih... apaan sih ini? rasanya nggak enak banget. Rasa kuah santennya udah basi!” Perkataan Bagas itu membuat semua orang saling pandang. Dion yang sedang ikut menyantap pun langsung mengembuskan napas kasar. Ternyata Bagas ikut mencicipi hanya karena ingin menghina dan juga memancaing keributan. “Lo mau ngeracunin semua anak-anak yang ada di sini apa gimana, ha? makanan ini rasa sampah!” tukas Bagas dengan culas. Ia bergerak ke sebuah tong sampah, lalu membuang bungkusan ketupat gulai itu ke sana, sambil tersenyum menatap Dion. Sontak Dion bangun dari duduknya. Yang paling membuat Dion kesal adalah... Bagas sudah menghina makanan dari ibunya Lani. Sosok yang sudah tiada karena perbuatannya yang keji. Amarah yang langsung meledak itu membuat Dion kalap. Dia segera mendekat, lalu melemparkan bungkusan ketupat gulai yang digenggamannya ke wajah Bagas. “HAAAAH...!!” Semua orang berseru kaget saat bungkusan itu pecah di wajah Bagas. Kuah santan yang pedas itu kini mengucur di wajahnya. Membuat Bagas meringis kesakitan karena rasa pedih di mata. “ANAK SETAN! LO UDAH GILA YA...!” pekik Bagas seraya mengusap-usap matanya yang tidak bisa terbuka. Rekan satu tim Bagas pun langsung mendekat untuk membantunya. Mereka segera membawa Bagas ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Suara hardikan dan u*****n dari mulut Bagas pun masih terdengar, namun Dion tidak peduli. “Lo kenapa mancing keributan lagi sih?” sergah Asep yang kini menatap cemas. Dion tidak menjawab. Rekan-rekannya yang lain pun kini masih menatap bingung dan juga penuh dengan tanda tanya. Sementara itu di dalam kamar mandi, Bagas membasuh wajahnya berkali-kali, tapi rasa pedih di matanya tak kunjung hilang. Skuah santan itu pun terasa lengket dan berminyak di rambutnya membuat Bagas semakin dirundung oleh rasa kesal. “AAAAH... DASAR SIALAN!” umpatnya lagi. Salah satu rekannya pun menatap takut. “Sepertinya ini sedikit susah untuk dibersihkan. Apa sebaiknya kamu pulang dan mandi saja?” Bagas tidak menerima usulan itu. Dia memaksa membuka mata yang perih. Bola matanya kini sangat merah dengan urat-uratnya yang tampak jelas pula. Bagas menatap geram dan kemudian segera keluar untuk menghampiri Dion. Ia jelas tidak menerima apa yang sudah dilakukan Dion terhadapnya. Kedatangan Bagas langsung disambut oleh tatapan cemas semua orang. Mereka seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dan benar saja... Bagas langsung membabi buta menyerang Dion. Perkelahian antara dua orang itu kembali terjadi. Mereka bergulat di lapangan futsal yang licin. Suara gedebuk tinju, tendangan dan u*****n terdengar silih berganti. “Bantu lerai dong! kalian semua malan nontonin aja. DASAR BANGKE!” teriak Asep kesal. Setelah dimaki seperti itu, barulah mereka maju dan kemudian melerai Bagas dan Dion. Anak-anak itu cukup kesulitan untuk melerai. Akhirnya mereka beramai-ramai membagi dua kelompok. Satu kelompok memegangi Bagas dan satu kelompok lagi memegangi Dion. “Lo berani macem-macem sama gue, ha? LO NGGAK TAU SIAPA GUE ...!?” Bagas berteriak geram. Dion malah tertawa. “Gue tahu siapa lo... lo itu adalah PECUNDANG!” “A-APA ...!?” Bagas bergerak masif dan terlepas dari pegangan teman-temannya. Mereka pun kewalahan memegangi Bagas lagi. semuanya terengah-engah menghadapi kegilaan Bagas dan Dion. Perselisihan itu pun terdengar menggema di lapangan futsal yang luas dan kosong itu. Hingga kemudian seorang lelaki berkumis dengan postur tubuh yang tinggi datang dan langsung menatap bingung melihat Dion dan Bagas secara bergantian. Sosok lelaki dengan alis mata yang tebal itu berkacak pinggang, lalu kemudian menatap tajam. “APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN, HA?” bentaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD