08. Manusia Posesif

1286 Words
Dina terkejut karena keberadaan Dion di lorong yang sempit itu. Dion bersandar di dinding seraya menekuk salah satu kakinya ke belakang. Sejenak Dina terhenyak dengan mata melotot, tapi kemudian dia mencoba untuk tenang. Dina berdehem dan mengepalkan tangannya kuar-kuat. Dia hanya perlu bersikap acuh dan melewati Dion begitu saja bukan? Sepertinya cukup mudah. Dina tak tahu kenapa lelaki itu ada di sana dan dia pun juga tidak peduli. Dina mulai melangkah menyusuri lorong yang agak temaram itu. Hanya ada lampu-lampu kecil yang melekat di dinding memancarkan cahaya berwarna kuning yang pudar. Langkah demi langkah membuatnya semakin dekat dengan sosok Dion. Lelaki itu pun tampak acuh dan tidak menatap kepada Dina yang kini gugup. Dina mengangguk samar. Dia yakin bisa melewati lelaki itu dengan mudah, tapi tiba-tiba saja… Deg. Dina melotot saat Dion menhentakkan telapak tangannya ke dinding di depannya. Membuat pergelangan tangannya itu menghalangi Dina yang kini tepat berdiri di hadapannya. Tak ada celah yang tersisa. Dion bisa memblokade lorong yang sempit itu dengan menjulurkan tangannya. Dina menatap gugup bercampur panik. “A-apa yang kamu lakukan?” suara Dina terdengar bergetar. Dion mengembuskan napas. Suara napas itu bahkan terdengar sangat dekat. Dina bisa merasakan hangatnya embusan napas itu di kuduknya. Membuat Dina menunduk lebih dalam dan tidak lagi berani mengangkat wajahnya. Dina bisa saja beringsut mundur, tapi kedua kakinya membeku bagai terpaku ke lantai yang sedang dipijaknya. “Jadi tadi itu lo beneran nggak berteriak senang untuk gue?” tanya Dion. Eh. Dina mengernyit bingung. Ia seperti kehilangan akal sehatnya sekarang. Terlebih lelaki itu menatapnya intens sekali dengan tatapan tajam. “Maksud kamu apa?” tanya Dina. “Masa lo nggak ngerti sama pertanyaan gue sih? Lo pura-pura nggak tahu apa gimana?” Dina mengangkat wajah. Menatap Dion sebentar, lalu menunduk lagi. “A-aku tadi itu memang salah mengira. Aku pikir yang menang itu adalah tim Bagas, makanya aku bersorak seperti itu.” Dion menyeringai. Suara tawanya bahkan terdengar samar. “Itu artinya lo paham sama pertanyaan gue. Iya, kan?” Mampus. Dina masuk dalam jebakan. Padahal dia sudah berpura-pura tidak mengerti sebelumnya. “I-iya.” suara Dina terdengar lirih, nyaris tidak terdengar. Dion memiringkan wajah. Menatap Dina lebih dekat lagi. Membuat Dina semakin gelisah saja dan entah mengapa tak ada seorang pun yang melewati lorong itu. Kalau ada orang lain yang lewat, tentu Dion akan membuka palang tangannya yang hingga detik ini masih menghalangi Dina. “Jadi begitu?” tanya Dion lagi seraya mengangguk-anggukkan kepala. Dina meneguk ludah, lalu memberanikan diri menatapnya. “Iya, begitu.” Dion tersenyum. Dina pun merasa lega dan berpikir bahwa lelaki aneh itu akan segera melepaskannya. Tapi di detik berikutnya raut wajah Dion langsung berubah sadis. “BOHONG!” cetusnya. Dina tersentak. “Lo itu pembohong!” tukas Dion lagi. Dina menatap nanar. Dia ingin membantah, ingin membela diri, tapi melihat raut wajah lelaki yang kini sedang marah itu membuat nyali Dina menciut. Mulutnya hanya bergerak-gerak tanpa ada sepatah kata yang terucap. “Sekali lagi gue tanya. “Lo tadi bersorak untuk gue kan?” tanya Dion lagi. Aneh. Satu kata itulah yang kini ada di benak Dina. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh lelaki di hadapannya itu? Lagipula itu bukanlah sesuatu hal yang penting menurut Dina. Kenapa Dion terkesan membesar-besarkannya. “Ayo jawab!” desak Dion. Dina tergagap. “K-kamu itu gila, ya! Untuk apa membahas hal yang nggak penting seperti ini?” Dion sedikit terkejut. Di saat yang sama Dina mencoba menerobos tangan Dion yang masih menghalangi jalannya, tapi Dion justru menghentakkan telapak tangannya itu lebih kuat ke tembok di depannya, membuat mata Dina mengerjap saat suara hentakan telapak tangan itu terdengar. “Haah… jadi lo nggak mau mengakuinya.” Dion berkata lirih. Dina bungkam seribu bahasa. Dia kini cemas dan takut. Berbagai pikiran negatif sudah menguasai benaknya. Apa jangan-jangan lelaki itu psikopat? Kepala Dina menjadi pening memikirkannya. “Oke. Kalo lo nggak mau mengakuinya sekarang,” kata Dion. “Emangnya apa pentingnya, sih?” Dina yang jengah akhirnya bersuara. Dion menatapnya lekat-lekat. “Memangnya apa pentingnya hal itu, ha? Kamu itu manusia aneh! Nggak jelas!” pekik Dina. Suaranya sedikit meninggi karena kesal. “Buat gue itu PENTING!” balas Dion Deg. Dina menatap bingung. “Jadi gue butuh jawaban dari lo.” Dion menekankan setiap kata yang terlontar dari bibirnya. Dina tertawa. Suara tawa yang terdengar bergetar karena tercampur dengan rasa takut. “Hahaha. Bener-bener freak tau nggak!” “Iya. Gue emang freak. Gue emang aneh.” “Kamu gila!” “Iya. Gue bisa gila kalo ada sesuatu yang mengganggu pikiran gue.” Dina jadi tak bisa berkata-kata karena Dion terus saja membalas ucapannya dengan enteng dan lugas. “Kenapa? Lo takut mengakuinya karena pacar lo?” tanya Dion seraya tersenyum. Dina terpojok. “Minggir atau aku akan teriak!” ancam Dina kemudian. Dia ingin mengakhiri situasi yang sangat tidak jelas itu. Dion menyeringai. “Teriak saja.” “AKU BILANG MINGGIR!” bentak Dina. Dion menatap tajam. “JAWAB DULU…! Setelah itu baru gue akan ngelepasin lo!” Sunyi. Hanya terdengar suara embusan napas Dina yang sesak. Dina kemudian menatap Dion perlahan. Sepertinya Dion memang akan terus menahannya jika Dina tetap memilih bungkam. Dina tak punya pilihan. Dia ingin segera pergi. Bibirnya kemudian terbuka dan ia pun memberikan jawabannya. “Ya… aku memang bersorak untuk kamu. PUAS!” Dina memberikan jawabannya, lalu mendorong Dion dari hadapannya. Dina pun berhasil pergi dengan pipi yang terasa panas. Sementara Dion masih tertegun di sana. Tapi tak lama kemudian kedua sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum. Sementara Dina kemudian berbelok untuk kembali masuk ke dalam kafe, tapi ia tergelinjang kaget karena melihat sosok Bagas yang sudah berdiri di hadapannya. “B-Bagas!” Dina terkejut dan memegangi dadanya dengan mata melotot. “K-kenapa kamu ada di sini?” tanya Dina kemudian. Bagas tersenyum. “Aku nyusul karena kamu sangat lama di toiletnya.” “Sejak kapan kamu ada di sini?” tanya Dina. Raut wajahnya tampak berubah cemas. “Baru saja,” jawab Bagas singkat. “Kenapa kamu lama sekali?” Dina kelabakan sesaat dengan bola mata berputar-putar memikirkan alasan. Kemudian tangannya bergerak memegangi perut. “Kayaknya tadi di rumah aku kebanyakan makan sambel, jadi perut aku agak rewel deh.” Bagas menatap Dina. Diam beberapa saat, lalu kemudian baru tersenyum. “Aah, jadi begitu,” ucap Bagas. Dina mengangguk. “I-iya. Maaf ya… udah bikin kamu menunggu lama. Ya udah kita balik ke dalam aja, yuk!” Bagas mengangguk. Dina pun buru-buru melangkah pergi lebih dulu. Tapi Bagas… Malah mematung di tempatnya. Senyum di wajahnya juga perlahan surut dan berganti dengan tatapan nanar. Ada satu hal yang tidak diketahui oleh Dina. Yaitu kenyataan bahwa…. BAGAS MENDENGAR SEMUANYA. Ya, Bagas sebenarnya sudah lama berada di balik dinding itu. Dina tak kunjung kembali, Bagas pun kemudian menyusulnya karena mengira Dina tersesat, tidak tahu arah. Tapi kemudian dia malah melihat Dina sedang berbicara dengan Dion. Dengan jarak yang sangat dekat. Dengan tangan Dion yang terulur menahan Dina. Bagas tentu terkejut. Dia ingin langsung menghampiri keduanya dan bersiap menyerang Dion seperti seorang lelaki sejati. Tapi saat akan melangkahkan kakinya… Dina memberikan jawaban itu. Dina mengatakan bahwa dia memang bersorak untuk Dion. Sebuah pernyataan yang membuat langkah Bagas menjadi surut. Membuatnya bersembunyi di balik dinding dengan d**a yang yang terasa sesak. Segala amarahnya lenyap berganti dengan gelisah dan rasa takut. Sebuah tanda tanya besar pun langsung mencuat di benaknya. Kenapa? Kenapa Dina bersorak untuk Dion? Di tengah lamunan itu Bagas mendengar suara derap langkah kaki di belakangnya. Pemilik suara langkah kaki itu adalah Dion. Bagas menoleh dan menatap hambar. Sedangkan Dion menatap cuek, lalu berjalan santai. Bagas pun mengikuti pergerakan Dion itu dengan matanya. Dan ketika Dion melewatinya… Bagas bisa melihat bahwa… DION TERSENYUM. Dan Bagas merasa bahwa itu adalah sebuah senyuman untuk MENGEJEKNYA.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD