Pertandingan itu pun berlanjut. Persaingan sengit antara tim Bagas dan tim Dion nyaris seimbang. Keadaan selalu berbalik dengan cepat. Hingga sekarang ini papan score menampilkan angka 5 - 5. Bagas sudah tampak kewalahan mengarak bola, pun demikian juga dengan Dion yang sepertinya tidak akan mau menyerah apalagi kalah.
Si kulit bundar terus menggelinding ke sana ke mari, melayang, melesat dan kemudian kembali terbang di udara. Suara pekikan para pemain yang meminta operan dan memberikan intruksi juga sesekali terdengar.
"Oper ke sini!"
"Ops! Si Asep kosong tuh!"
"Nice!"
Dina masih di sana.
Tapi tatapannya tidak lagi tertuju pada Bagas. Sorot mata itu malah terus saja mengikuti pergerakan Dion. Setelah lelaki itu melindunginya dari terpaan bola, perhatian Dina pun jadi teralihkan. Dia bahkan lupa untuk menyoraki Bagas, memberikan semangat kepada pacarnya itu.
Dina juga tak mengerti. Dia terus mengikuti lelaki itu dengan matanya. Dion sangat gesit dan cepat. Berkali-kali Dina menahan napas saat Dion melakukan serangan. Tapi sejauh ini pertahanan tim Bagas semakin kuat saja. Waktu pertandingan hanya tersisa beberapa menit lagi. Jika tidak ada lagi gol yang tercipta lagi, maka permainan akan berakhir imbang dan kemungkinan akan dilanjutkan dengan adu pinalti.
Permainan terasa semakin sengit saja ketika waktu akan usai. Kali ini Bagas terlihat sedang melaju sekuat tenaganya. Dia berhasil mengecoh dua pemain lawan, lalu kembali maju mendekati gawang lawan. Kaki kanannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menendang bola ke gawang, tapi secepat itu juga bola direbut oleh sosok Dion.
Suasana menjadi gaduh. Beberapa orang menyalahkan Bagas yang dianggap seharusnya bisa mengoper bola terlebih dahulu pada mereka.
"Lo sih... Jangan ngocek sendirian aja!"
Tapi tak ada waktu untuk berdebat. Karena sekarang ini tim Dion meringsek maju. Kerja sama tim mereka cukup baik. Operan-operan cantik terus terjadi, hingga kemudian bola kembali bergulir di kaki Dion.
Tatapan Dion tertuju pada gawang di depannya. Ada dua orang di depan sana di tambah satu kiper di belakangnya. Harusnya Dion maju lebih jauh sebelum menendang, tapi sudah tidak ada waktu lagi. Dengan segenap keyakinan dan kekuatan yang tersisa, Dion pun menatap celah ke sisi sebelah kanan atas gawang dan kemudian ia menendang bola. Bola itu melesat dan masuk ke gawang. Bersamaan dengan itu waktu pertandingan pun usai.
"GOOOOLLLLL YEEEAAAA....!!!"
Teriakan itu bukan berasal dari Dion yang berhasil mencetak gol. Bukan juga berasal dari tim Dion yang bersuka cita. Tatapan semua pemain di lapangan itu pun kini tertuju pada pemilik suara itu.
Dina.
Ya, Dina bersorak kencang ketika Dion berhasil mencetak gol. Semua orang tentu menatap bingung dan heran. Bagas pun terkejut dan menatapnya dengan kening mengkerut.
Tatapan heran itu pun akhirnya membuat Dina tersadar.
Ia sontak melotot dan menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Saking malunya, Dina pun langsung menundukkan wajah dengan kedua pipi yang terasa panas.
"Kenapa aku malah berteriak senang seperti itu?" Dina meringis.
Bagas yang berdiri di tengah lapangan masih menatap bingung. Sedangkan Dion tampak mengulum senyum seraya menyeka peluh di keningnya dengan pergelangan tangan.
Dia menatap Dina di ujung sana, lalu menggeleng-gelengkan kepala samar.
Pertandingan partai final itu pun dimenangkan oleh Tim Dion. Mereka mendapatkan sebuah trophi dengan ukuran yang cukup besar ditambah sejumlah uang tunai yang bernilai cukup fantastis bagi para remaja seperti mereka. Sebagai runner up, tim Bagas pun juga mendapatkan trophi dan hadiah uang tunai.
Tapi sekarang ini Bagas tampak sedikit murung. Agaknya dia merasa kecewa karena kalah dalam laga final itu.
Suara tepuk tangan dan siulan kini menggema di lapangan futsal itu. Setelah beberapa sesi foto, akhirnya mereka pun bubar untuk lanjut ke aktivitas selanjutnya. Yaitu makan-makan bersama di sebuah kafe yang terletak tepat di samping lokasi lapangan futsal. Semua memang sudah termasuk dalam fasilitas untuk dua partai final. Kafe dan tempat futsal itu memang memilik owner yang sama.
Sebagian orang mulai melangkah pergi. Dina pun langsung menunduk ketika Bagas menghampiri dan berdiri di hadapannya.
Keheningan menyebar.
Suara sorak sorai dari pemain lain yang sudah beranjak menuju kafe mulai terdengar samar, lalu sepenuhnya lengang.
Sunyi.
Sekarang hanya ada Dina dan Bagas saja di gedung lapangan futsal yang luas itu.
Bagas mengembuskan napas panjang seraya menatap Dina.
Dina meneguk ludah. "Maafin aku...." suara Dina terdengar lirih.
"Kenapa kamu minta maaf?" tanya Bagas.
Dina mengangkat wajahnya dengan bibir berkedut. Ia jelas sangat merasa bersalah. Padahal semua teman-teman Bagas juga tahu bahwa dia adalah kekasih Bagas. Tapi Dina malah bersorak untuk tim lawan. Bukankah itu adalah sebuah kesalahan fatal yang cukup memalukan?
"Kenapa? Kamu pasti salah menyangka ya? Kamu pikir tim aku yang mencetak gol? Iya, kan?" tanya Bagas seraya tersenyum.
Eh.
Dina tidak salah menyangka seperti itu. Namun karena Bagas menduganya demikian, Dina pun mengangguk. Memilih untuk membenarkan pendapat Bagas. Ia
"I-iya. Maafin aku, ya... Aku tidak terlalu mengerti dengan pertandingan bola," lirih Dina.
Bagas mengangguk. "Iya, nggak apa-apa."
"Maafin aku." Dina masih merasa bersalah.
"Udah, nggak apa-apa, kok." Bagas mengacak-acak rambut Dina, lalu merangkulnya. "Jangan dipikirin lagi. Sekarang kita nyusul yang lain ke kafe, yuk!" ajak Bagas kemudian.
Mereka kemudian juga menyusul ke kafe dengan desain yang didominasi dengan kayu itu. Kafe itu sudah ramai dipenuhi oleh para pemain yang lain. Mereka tampak berbincang-bincang dan juga tertawa. Dua meja berukuran besar dan panjang sudah terisi.
Bagas pun memanjangkan lehernya untuk mencari tempat yang masih kosong. Tatapannya kemudian tertuju ke sebuah meja berukuran kecil di ujung sana. Meja dengan empat buah kursi yang kini diduduki oleh Dion dan temannya, Cecep.
"Kita duduk di sana saja," ujar Bagas.
Dina mengangguk, tapi setelah itu langkahnya terhenti saat menyadari bahwa ada Dion di sana. Entah kenapa Dina menjadi gugup. Dia masih membeku di tempatnya berdiri. Sedangkan Bagas sudah berbincang dengan dua anak lelaki dari tim lawannya itu.
Bagas menoleh pada Dina. "Ayo ke sini!"
Dina tersadar dan dengan berat hati menyusul. Bagas pun menarikkan sebuah kursi untuk Dina. Sialnya lagi, dia duduk berhadapan langsung dengan Dion di depannya. Setelahnya Bagas juga duduk di sebelah Dina.
"Wah, siapa nih Bro?" tanya Cecep yang juga sudah mengenal Bagas.
Bagas tersenyum. "Kenalin ini Dina... cewek gue."
Dina pun hanya tersenyum malu.
Dion yang duduk di hadapannya pun kemudian menatap Dina dengan tatapan intens. Membuat Dina menjadi salah tingkah dan gugup.
"By the way thanks ya... Lo tadi udah bersorak untuk kemenangan tim gue," ucap Dion seraya tersenyum.
Deg.
Dina meringis dan langsung merasa malu.
"Hahaha." Bagas tertawa. "Dia itu tadi salah sangka. Dia mengira tim gue yang berhasil mencetak gol. Maklumlah... Dia cewek yang nggak ngerti sama dunia bola."
"Pantes sih... Gue tadi juga kaget. Kenapa cewek lo malah berteriak girang seperti itu," sahut Cecep.
Dina pun hanya bisa bungkam. Sesekali dia mengangkat wajahnya dan ternyata Dion saja masih menatapnya.
Dari tatapan itu terlihat jelas bahwa Dion tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bagas. Senyuman itu seperti sedang mengejek. Membuat Dina menjadi semakin tidak nyaman saja.
"Kenapa harus duduk di sini, sih," keluh Dina dalam hatinya.
Obrolan para anak lelaki itu pun berlanjut. Dina hanya bisa menyimak dan terus menundukkan wajah. Dina tahu betul bahwa di sela-sela obrolan itu Dion terus saja menatapnya.
"A-aku ke toilet sebentar," ucap Dina kemudian.
Bagas mengangguk. "Hati-hati, ya!"
Dina tersenyum, lalu beranjak pergi. Dia bergegas ke toilet, lalu kemudian masuk ke sana. Setiba di sana, Dina langsung mengembuskan napas sesak. Dia benar-benar tidak bisa bernapas dengan baik karena keberadaan Dion.
"Kenapa aku jadi seperti ini?" bisik Dina.
Dina butuh waktu beberapa saat untuk menenangkan dirinya. Dia mencuci tangannya, lalu menyeka wajah dengan tangan yang basah itu. Setelah merapikan rambut dan pakaiannya, Dina pun keluar dari bilik toilet.
Tapi begitu berbelok ke lorong yang sempit, Diba terkesiap melihat sosok Dion yang bersandar ke dinding seperti sedang menantinya di sana.
Deg.
Dion tersenyum tipis.
Sedangkan Dina langsung terkejut dan menatap nanar.
"K-kamu...."