Bab 44: Bertengkar Kembali

1338 Words
Bab 44 Usai menyelesaikan makan malam itu, Aileen terdiam, dia tidak berbicara apapun pada Darren, sepertinya dia masih sangat marah ketika dirinya dipermalukan di depan para pegawai restoran tersebut. Juga saat Darren selalu menyudutkan dan menuduh dirinya terus menerus. Makan pun Aileen hanya ala kadarnya. Menghabiskan satu porsi dan minum satu gelas air putih dan sudah. Benar-benar air putih yang dia minta di akhir-akhir. Pikirannya sudah buntu dan dia seakan kehilangan simpati pada kekasihnya yang selalu menuduhnya dengan terus menerus setiap mereka bertemu. Padahal baru sehari mereka menjalin hubungan. Haruskah pertengkaran terjadi? “Aku mau pulang, sendiri. Tidak perlu kamu mengantarku. Darren, aku sangat mengerti apa yang kamu rasakan, setidaknya kamu juga harus mengerti posisiku. Satu lagi, jangan merendahkan pekerjaanku. Selama apa yang aku kerjakan tetap di jalan yang benar. Terima kasih untuk makan malam yang sangat berkesan ini,” tutur Aileen, dia segera bangkit dan pergi. Bahkan dia yang membayar tagihannya. Aileen tidak ingin berhutang apapun kepada siapapun. Lebih baik pergi ketimbang dia harus terus bertengkar dan membahas apa yang tidak dia lakukan sama sekali. “Leen, aku akan mengantarmu. Maafkan, aku,” sesal Darren. Semua selalu berakhir dengan hal yang sama bukan? Permintaan maaf Darren yang mungkin kesalahan yang sama akan dia lakukan lagi. Mereka masih sangat dini untuk memahami satu sama lain. “Tidak perlu, aku bisa sendiri. Kamu bisa tenangkan dirimu, jika kehadiranku sangat mengganggu dan membuatmu tidak fokus. Satu lagi, jangan temui aku lagi, sebelum kamu benar-benar tenang Darren. Aku Lelah, sebelumnya kita tidak pernah bertengkar, sebelumnya kita selalu baik-baik saja. Kamu tahu, aku rindu ketika kita bercanda dan saling mengisi satu sama lain. Tanpa hubungan apapun dan hanya persahabatan yang jauh lebih indah dari hubungan yang kamu mau,” terang Aileen. Dia kembali berbalik badan, tetapi Darren menahan lengannya dan Aileen kembali menghadap pada dirinya. “Maksudmu, kita putus?” lirih Darren. Aileen bergeleng. “Aku tidak mengatakannya. Hanya saja mungkin itu lebih baik. Aku akan memberimu kesempatan untuk bisa lebih dewasa menyikapi semua ini, Darren. Aku tahu posisimu, kamu tertekan dengan semua berita yang ada. Tapi, bukan berarti kamu harus mencari kesalahanku. Aku sudah berjanji bukan, kalau aku akan selalu ada dan mau mendengar semua keluh kesahmu.” Aileen melepaskan cengkeraman tangan lelaki itu dan pergi, berjalan dengan cepat. Tanpa memberikan kesempatan untuk Darren mengejarnya ataupun menjelaskan apapun. Setidaknya mereka belum putus. Seharusnya Aileen juga tidak pergi, tetapi sikap Darren selalu membuatnya ingin menjauh. Dia selalu menyalahkan dirinya, menyangkut pautkan dia dengan Agam. Di mana hubungan keduanya hanya sekedar bisnis. Tidak tahu dengan perasaan mereka masing-masing. Aileen juga tidak berharap lebih. Dia tahu, Aileen tidak akan bisa menggapai bintang kan? Agam, bagai bintang di atas langit. Dia yang tinggi dan juga segudang prestasi yang dia miliki. Mr. Perfect yang tidak bisa Aileen sentuh. Gadis itu berjalan, terus melangkah di gelapnya malam tanpa tahu arah dan tujuan. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Udara dingin membekukan tubuhnya. Terlebih pakaiannya yang terbuka. Membuat Aileen kian menggigil. Aileen hanya berharap tidak akan ada lelaki hidung belang atau bahkan preman layaknya dulu. Tidak dipungkiri bahwa dia juga ketakutan, dia sangat takut jika ada lelaki jahat yang datang kepadanya. Aileen menyesal menggunakan pakaian itu. Alih-alih terlihat cantik di depan kekasihnya, dia justru terlihat murahan di depan Darren kan? Ia, duduk di halte bis. Angin malam mulai berembus, beberpa mobil dan motor masih lalu Lalang. Jarum jam juga masih berada di angka Sembilan. Aileen, merogoh tasnya, dia akan memesan taksi online ataupun ojek online. Tidak mungkin dia menunggu di sana tanpa tahu apa yang dia tunggu. Namun, begitu membuka kunci dari ponselnya, dia ingat dengan Agam. Bukankah lelaki itu juga menuggu dia menghubunginya? Haruskah dia meminta pria tersebut untuk menjemputnya? Aileen mengurungkan niatnya untuk memesan ojek online, dia akan menekan nomor ponsel milik Agam dan meneleponnya. Pada dering kedua lelaki itu langsung menjawabnya. Aileen menyebutkan di mana ia berada kali ini. Agam sedikit terkejut, kenapa harus sejauh itu dari rumah? Padahal, Agam bisa menjemputnya di rumah, sekaligus meminta izin pada kedua orang tuanya bukan? Itulah yang ada dalam benak pria tersebut. Namun, Agam segera meluncur bersama dengan motornya. Ia juga sudah berganti dengan pakaian yang baru, bukan pakaian lusuh yang setengah kering tadi pagi. Dia membelinya langsung. Pria itu benar-benar tidak pulang ke rumah hingga malam tiba. Bahkan dia hanya mengkonsumsi alkohol. Mabuk kah? Tidak, Agam tidak minum secara berlebih. Dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama hingga merepotkan orang lain. Setidaknya dia hanya ingin pikirannya tenang. Butuh empat puluh lima menit untuk Agam tiba di tempat Aileen. Wanita itu sudah kian membatu. Terlebih malam semakin larut. Aileen, menelepon sang ibu. Setidaknya Dewi harus tahu kondisi Aileen baik-baik saja. Mereka percaya bahwa anaknya sudah dewasa, tahu mana yang baik dan buruk untuk hidupnya. Deru motor milik Agam, berhenti tepat di depan Aileen. Gadis itu menyambut pria itu dengan senyuman. Tangannya masih setia memeluk dirinya sendiri. “Hei! Kamu gila?! Bagaimana bisa kamu di sini dengan pakaian seperti ini?!” resah Agam. Aileen hanya tersenyum kecut. Dia tidak ingin menjelaskan apapun. Rasanya tidak penting memberitahukan bahwa dia baru saja bertengkar dengan kekasinya kan? “Mungkin begitu,” jawab Aileen. Agam, membuka jaketnya dan mengalungkannya pada punggung Aileen, membungkus bahu gadis itu. Aileen menatap Agam dengan lekat. Bahkan saat ini, wajah keduanya begitu dekat. Jantung Aileen seakan meledak, dan dia membuang mukanya. Tidak ingin, lelaki itu melihat dirinya. “Kenapa kamu di sini?” suara Agam sedikit mengalihkan perasaan Aileen yang tidak karuan saat ini. Baru saja dia sedih, kesal dan merasa tidak dipedulikan. Namun, saat ini, Agam datang bak seorang dewa bagi Aileen “Tidak ada, hanya jalan-jalan. Dan tersesat,” balas Aileen. Kembali dia tersenyum. Agam meraih tangan Aileen dan menggenggamnya. Dia membawanya mendekati motornya dan mengajak gadis itu pergi dari tempat tersebut. Agam membantu Aileen untuk naik terlebih dulu, kemudian dia yang menaiki motornya. Lagi pula itu tidak akan sulit untuk Agam yang sangat tinggi. Tingginya hampir mencapai dua meter. Sangat jauh dari Aileen yang pendek. Sejak awal, Agam selalu mengejek Aileen pendek bukan? Mungkin karena dia yang terlalu tinggi? Aileen hanya diam, sampai motor itu berjalan. Sungguh, Aileen tidak ingin tahu ke mana lelaki itu akan membawanya pergi. Dia hanya ingin tenang dan melupakan percekcokan dengan Darren saat ini. Ponselnya terus berbunyi dan pria itu yang meneleponnya. Namun, Aileen mengabaikan dan juga mematikan ponselnya. Sebelum Darren benar-benar mendinginkan otaknya dia tidak akan menemuinya. Aileen hanya tidak mau terus bertengkar, dia bersahabat dan kini mereka berpacaran. Hanya itu yang Aileen pikirkan. Beberapa menit terlewat, keduanya tiba di sebuah vila, entah di mana yang pasti jelas itu adalah vila. Aileen turun dan menunggu Agam memarkirkan motornya. Matanya menyapu seluruh pemandangan yang ada. Bangunan yang tidak terlalu besar, dengan pepohonan yang mengelilingi rumah tersebut. “Kita masuk,” Ajak Agam. Aileen sedikit ragu, dia selalu berpikir macam-macam tentang lelaki, wajar karena dia wanita kan? “Kamu takut? Aku tidak akan melakukan apapun. Pertama aku tahu kamu pasti kedinginan, karena aku sangat lama tadi. Kedua aku lapar, dan aku ingin makan di sini. Ketiga, aku tahu kamu sudah makan kan? Jika di restoran aku tidak mau makan sendirian sementara kamu menatapku makan. Ke em—” Aileen menghentikan ucapan lelaki itu. Dia kira hanya ada satu atau dua alasana ternyata masih berlanjut sampai empat alasan. “Cukup, oke. Janji tidak akan melakukan apapun kan?” lirih Aileen. “Memangnya apa yang kamu harapkan?” Agam, seakan menahan senyumnya. Benar-benar senyum. Dan itu membuat Aileen sangat malu. Pikirannya terlalu jauh. Ia langsung menutup wajahnya dengan telapak tangannya yang terbungkus dengan jaket Agam yang sangat besar. Agam, menarik tangan Aileen dan mengajaknya untuk segera masuk. Dia sudah sangat lapar karena sejak pagi dia hanya memakan bubur buatan Aileen. Mereka masuk kedalam vilaa. Seorang lelaki dan juga wanita tua menyambutnya. Mereka adalah ayah dan ibu dari Ashraf. Dia yang bertugas menjaga vila tersebut. Karena mereka sudah tua dan semua anak-anaknya sudah dewasa juga memiliki rumah sendiri. Mereka tidak mau ikut salah satu dari mereka, selalu dengan alasan tidak mau merepotkan anak-anaknya, alhasil Alma meminta mereka untuk mengurus dan merawat bangunan itu. Sekaligus menempatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD