Bab 29: Untukmu

1415 Words
Bab 28 Beberapa waktu lalu, sejak kepergian Aileen. Agam, mulai memasuki aula kampus. Sudah banyak mahasiswa yang menunggu untuk mendengarkan pencerahan, cerita dan juga pengalaman lelaki muda tersebut. Memberikan dan membagikan tips sukses bersama pelajar, sekaligus melancarkan aksinya mencari seseorang. Agam, bukan orang yang sangat penting sehingga memiliki banyak orang yang bisa memata-matai orang lain untuk kebutuhannya sendiri. Dia ingin melakukan segala hal, terlebih tentang masa lalunya dengan tangannya sendiri. Tanpa ada yang tahu apa rencana dan tujuannya. Hanya sang ibu yang tahu pasti apa yang akan di lakukan Agam, sekalipun ribuan kali Alma mencegah, pria itu tetap akan melakukan semuanya semaunya. Matanya menyapu semua orang yang menatap, dan sorot mata yang tertuju padanya. Dia menjelaskan dan memberikan rangkuman materi yang sangat amat mudah dimengerti. Hingga tiba bagi mereka bisa bertanya semua hal, bahkan masalah pribadi lelaki itu. Agam sangat open untuk masalah ini. Akan tetapi dia juga akan menjawab dengan semaunya sendiri. Dingin dan tetap datar, tanpa senyum, meski itu hanya sebuah guyonan. Tidak jarang dari mereka yang selalu menganggap bahwa lelucon yang keluar dari mulutnya itu, benar atau mang hanya sebuah candaan. Pertanyaan aneh-aneh juga selalu dia terima di setiap dia mengisi acara tersebut. Seperti, apakah Anda sudah memiliki kekasih? Apakah Anda sudah menikah? Jawaban Agam selalu singkat jelas dan padat. Lelaki itu hanya menjawab, belum. Dan tidak lagi menanggapi alasannya. Namun, kali ini ada pertanyaan yang membuatnya seakan terbawa di masa lalu. Seorang lelaki memperkenalkan dirinya dan seketika membuat Agam, mengepalkan jemarinya di balik punggung. Darren, pria itu lah yang akan bertanya. Dengan berbekal mikrofon, ia bertanya tentang keluarga. Ya, ia mengatakan bahwa sudah pasti ada keluarga, seorang ayah dan ibu yang hebat di balik kesuksesannya. Bisakah Anda memperkenankan keluarga Anda, atau bagaimana mereka mendidik Anda, sehingga sangat luar biasa. Agam menarik napas dengan dalam sebelum menjawabnya. "Pertama tidak ada yang sempurna dalam keluarga, saya. Hanya ada seorang ibu, yang luar biasa. Seseorang telah merebut semua kasih sayang lelaki yang di sebut Ayah' itu. Coba tanyakan pada ayahmu'," tutur Agam dengan sangat ambigu. Sudah pasti Darren yang mendengar dan seluruh semua mahasiswa yang ada di sana bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Mereka menerka-nerka apakah mereka bersaudara? Atau memang itu hanya sebuah ungkapan yang tidak ada maksud apapun. Setelah menjawab pertanyaan terakhir itu, ia pun menutup acaranya. Meninggalkan gedung itu dengan perasaan benci, marah, kesal dan semua amarah di masa lalu seakan tertumpuk dan ingin ia ledakkan. "Akh! Aku bersumpah akan membunuhmu!" teriaknya, di tempat parkiran yang masih sangat sepi. Sampai satu persatu orang berdatangan. Hari yang sudah beranjak sore, membuat Agam segera untuk pergi. Ia sudah ada janji dengan Aileen. Beberapa jam untuk kembali kerumah dan bersiap. Pukul setengah lima, ia baru berangkat kerumah gadis itu. Dengan membawa mobil, mungkin khusus sore ini dia menggunakan mobil, karena membawa wanita sudah pasti akan merepotkan, pikirnya. Begitu tiba di kediaman Aileen. Ia mengetuk pintu putih itu, pagar rumahnya tidak terkunci sehingga ia bisa dengan leluasa masuk. Aileen membuka pintu ketika suara ketukan pintu itu sudah lebih dari dua kali. Dia hanya memastikan itu betulan manusia atau bukan. Pasalnya ini sudah mendekati magrib. Aileen menunggu sudah sangat lama, dia kembali kusut dan tidak segar, setidaknya itu menurutnya. Amazing girl, batin Agam. Begitu melihat sosok yang ada di ambang pintu itu. Sejenak dia mengagumi gadis yang dia anggap menyebalkan. Namun, kali ini , ia sangat mengagumi dandanan Aileen. "Lama amat! Kamu tahu, parfum dan make upku luntur, gegara keringat! Dasar jam karet!" cerca Aileen. Bahkan dia tidak mengizinkan Agam untuk masuk walau hanya berbasa-basi. Agam hanya diam, dan menatap Aileen. Dia justru melipat tangannya dan mendengarkan gadis itu mengomel. "Sudah? Jika sudah, kita pergi sekarang," katanya. Aileen mendesis, sembari mencibir pria itu. Dalam batinnya terus mengumpat pria batu itu. Namun, Aileen pun hanya bisa mengikuti langkah Agam. Setelah berpamitan dengan sang ibu. Entah kemana Agam akan membawa gadis itu pergi. Yang jelas selama perjalanan tidak satupun pembicara keluar dari mulut keduanya. Tentu saja itu membuat Aileen bosan, dia mencoba mencari hiburan. Ingin menyalakan musik yang ada di depannya tapi itu tindakan yang lancang. Namun, jika dia tidak melakukannya dia akan mati dengan rasa bosan di dalam mobil tersebut. Beruntung beberapa menit kemudian mereka sudah tiba. Sebuah bungalow di tengah danau yang cantik. Cahaya remang dan beberapa bunga teratai yang tumbuh di atas air. Aileen menatap seluruh tempat itu, matanya berbinar dan seakan kebosanan yang dia alami di dalam mobil seketika hilang dan lenyap begitu saja. "Yakin, mau memotret dengan cahaya seperti ini?" Aileen tidak yakin, karena ini terlalu gelap. Biasanya orang akan memilih tempat yang terang dengan pencahayaan yang cukup atau saat pagi hari atau benar-benar di tempat yang tidak suram seperti ini. "Siapa fotografernya?" Kembali suara datar dan menyebalkan itu didengar oleh telinga Aileen. Gadis itu mencebikkan bibirnya, kembali merutuki pria itu. Lelaki sombong, menyebalkan dan entahlah, bahkan Aileen lelah mengumpat Agam. Agam mengeluarkan apa yang ia perlukan, lensa kamera dan tentu saja produk untuknya promosi. Mengarahkan Aileen untuk berpose dengan menampilkan penuh produk itu. Jemari lentik itu memegang ponsel cantik yang menawan dengan warna Ekslusif. Aileen melihat bagaimana cara kerja Agam. Dia sangat serius, sehingga itu menuntut agar ia pun juga harus bersungguh-sungguh. Satu, dua tiga, bahkan puluhan jepretan telah Agam dapatkan. Sembari membiarkan Aileen beristirahat, ia pun melihat hasilnya. Aileen sedikit mengintip gambar-gambar yang ada di kamera tersebut. Benar-benar terang dan indah. Bahkan di sana, gadis itu terlihat estetik. "Kerena! Serius itu gambarku?!" seru Aileen, membuat Agam, menutup telinganya. Pasalnya Aileen, seakan berteriak di samping telinga pria itu. Agam memicingkan matanya dengan menatap Aileen. Gadis itu, mundur beberapa senti dan ia tersenyum kikuk. Antara tidak enak hati dan merasa bodoh. Agam bergeleng dan mengemasi semuanya. Ia rasa cukup, dan telah mendapatkan foto yang ia inginkan. Dia akan memasang banyak papan iklan dengan foto hasil jepretannya sendiri. Siapa yang kita bahwa itu adalah hasil dari karyanya sendiri. Bahkan jauh lebih berkelas dari yang Ashraf lakukan dengan stasiun tivi kemarin. "Kita pulang," ajak Agam. Aileen menurunkan kakinya dari bungalow itu, tiba-tiba saja, perutnya berbunyi. Keroncongan karena dia menunggu Agam dari sore, tidak makan agar perutnya terlihat rata. Dia kelaparan, dan gengsi ingin mengatakan hal itu pada pria tersebut. Agam, menatapnya. Sepertinya dia ingin tertawa, tetapi entah kenapa sangat sulit baginya. "Lapar?" Aileen mengangguk dengan polosnya. Pria itu tidak menjawab dan mengalungkan ransel miliknya. Ia berjalan menuju mobil dan Aileen hanya mengikutinya. Mereka kembali masuk ke dalam mobil dan kembali membelah jalanan malam ini. Hari ini sudah lewat jam makan malam. Mereka menghabiskan waktu tiga jam untuk pemotretan, dan kini Agam mengajaknya untuk mengisi perut. Tidak dipungkiri bahwa ia pun juga merasa perih di ulu hatinya. Ia mengirim pesan pada sang ibu, agar tidak menunggunya makan malam. Agam akan makan bersama Aileen malam ini. Sebuah restoran khas Indonesia yang menyediakan berbagai makanan negeri ini, ada di sana. Bebauan yang menyeruak menggelitik indera penciuman Aileen membuat dirinya semakin kelaparan. Ayam bakar, ikan bakar, membuat air liur Aileen seakan menetes. Ia mengelap mulutnya, Agam menatapnya, Kemabli bergeleng. Heran dengan tingkah gadis bar-bar itu. Mereka duduk di kursi yang berada dekat dengan kolam ikan. Banyak lampu berwarna warni. Mereka berada di out door, hingga dersik angin bisa mereka dengar dan rasakan dengan jelas. Agam memanggil pelayan, dan keduanya memulai memesan. Sembari menunggu, Aileen melihat Agam yang sibuk dengan ponselnya. Sementara dia , harus gigit jari, dia tidak memiliki ponsel. Agam, mengambil kembali ranselnya dan mengeluarkan ponsel yang menjadi produk promosi sebelumnya dan memberikannya pada Aileen. "Hah— untuk apa?" Sudah pasti Aileen senang jika memilikinya, tetapi dia tidak yakin bahwa pria itu memberikannya pada dirinya. "Untukmu, kamu tidak ada ponsel kan? Karena kamu menolak ponselku kemarin," tutur Agam. "Tidak! Kamu sudah sepakat kan mau memberikan bayaranku dengan uang tunai, enak aja sekarang di ganti dengan barang!" sungut Aileen. Ia mengembalikan ponsel itu pada Agam. Namun, pria itu mengambil lagi amplop coklat yang berisi uang kesepakan mereka sebelumnya. Agam meletakkannya di atas meja disamping ponsel baru itu. "Ini untukmu, ini juga untukmu, ambil atau tidak semuanya," ancamnya. Dengan cepat Aileen pun meraihnya dan meletakkan di atas pahanya. Dia tersenyum girang. Tidak hentinya tersenyum sampai makanan mereka datang. Agam, hanya bergeleng kepala, dasar, pikirnya. Aileen kesulitan memasangkan kartu miliknya, tangannya sangat gemetar mungkin saking senangnya. Ini adalah ponsel termahal yang pernah ia miliki sepanjang hidupnya. Agam merebutnya dan memasangkannya. Ia pun mengembalikannya pada Aileen setelah selesai menyetel semua keamanan yang diperlukan. "Terima kasih," ucap Aileen. "Hmm—" Mereka mulai memakan hidangannya, banyak sekali makanan yang mereka pesan, entah karena kelaparan atau aji mumpung. * "Stop! Stop! Apa kamu gila!" ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD