Bab 36
Sudah hampir satu jam, Aileen berada di dalam kamar mandi. Namun, tidak juga ada yang datang untuk membawakan baju ganti untuk gadis itu.
Aileen mengintip keluar kamar mandi, di sana sepi tidak ada siapapun di kamar. Ia, berlari dan mencari selimutnya. Menggunakan selimut sebagai penutup tubuhnya.
Gadis itu tidak henti-hentinya mengumpat, dan menggerutu. Ia kesal karena harus begitu susahnya menginap di rumah orang.
"Woy! Sialan, lu. Mana baju gua?!" teriak Aileen, begitu berhasil menelepon Agam. Terlebih ketika panggilannya sudah tersambung.
Tanpa basa basi dia, segera menyerbunya dengan kata-kata yang khas ketika Aileen tengah kesal.
"Sorry, Bu Murti sudah tidur. Jadi aku tidak bisa bangunkan dia," jawabnya dengan enteng.
"Terus?! Kamu kira aku harus bertelanjang seperti ini?! Yang benar saja!"
Aileen semakin kesal di buatnya. Sementara Agam, kembali menyambar baju, sembarangan dan turun ke bawah. Dia mendengar semua ocehan gadis itu.
Hingga, ia tiba di kamar Aileen. Mengetuk pintu kamar itu dan menunggu sampai gadis itu membuka pintunya.
Aileen menyembulkan kepalanya, wajahnya cemberut, bagaimana tidak, dia sudah sangat kedinginan. Bahkan bibirnya sampai membiru akibat kelamaan di kamar mandi.
Haciw! Ha— haciw!
Aileen bersin ketika berhasil melihat pria itu. "Ini semua karenamu! Lihat! Apa yang kamu lakukan?! Dasar laki-laki gila!" umpat Aileen.
Agam memberikan bajunya pada Aileen. Gadis itu menyahutnya dan kembali menutup pintu. Agam kembali ke kamar, tidak mau tahu lagi apa yang terjadi dengan gadis itu.
Malam sudah semakin larut. Kepala Aileen terasa sangat berat dan hidungnya terus saja berair, dan memerah.
Aileen demam, jika saja hujan-hujanan dan dia langsung mandi dan berpakaian semuanya akan baik-baik saja. Namun, ini, Aileen berada di kamar mandi hingga satu jam.
Sampai pagi menjelang, Aileen tidak bisa tertidur. Dia, terlihat kacau, dengan mata panda dan hidungnya yang masih belum reda.
"Sayang, kamu kenapa?" Alma yang tiba-tiba berada di samping ranjang membuat Aileen terkejut. Dia langsung memutar tubuhnya dan menyibak selimutnya.
Aileen duduk, dan menatap Alma. "Tante, Aileen, mau pulang. Ini sudah pagi, kan?" ucap Aileen.
Dia begitu pusing, ngantuk mendera tetapi dia tidak bisa beristirahat dengan baik.
Alma menyentuh tangan Aileen. Melihat dari wajahnya dia tahu bahwa gadis itu sedang sakit. Benar saja, tubuh Aileen panas.
"Kamu demam, Nak. Ke dokter dulu, ya? Biar Agam yang mengantar kamu," tutur Alma.
Aileen bergeleng, dia tidak mau harus bersama dengan pria kaku itu lagi. Dia bahkan dengan seenaknya mengabaikan Aileen di kamar mandi.
"Aileen, pulang saja Tante. Aileen obati dirumah. Ada ibu juga," terang Aileen.
"Agam! Agam!"
Alma justru memanggil anaknya, dan memutar kursi rodanya. Dia mencari Agam, tanpa kembali mempedulikan Aileen. Kemudian ia keluar dari kamar.
Agam bergegas menemui sang ibu, wajahnya cemas karena tidak bisa melihat atau mendengar teriakan sang ibu yang selalu membuat dirinya ketakutan.
Takut jika wanita itu kenapa-kenapa.
"Mama kenapa? Ada sesuatu?" Agam memeriksa semuanya. Ia memutari tubuh sang ibu yang duduk di kursi roda.
"Agam, bawa Aileen ke rumah sakit. Lalu antar dia pulang. Kamu ajak ngapain sih semalam, sampai Aileen demam?"
Terlihat jelas sekali kalau Alma sangat khawatir pada Aileen. Agam segera masuk ke kamar Aileen dengan ragu.
Semua juga karena bujukan dan perintah dari sang ibu. Agam, menarik gagang pintu dengan ragu-ragu. Aileen, duduk di bibir ranjang dengan mengusap hidungnya. Memijit pangkal hidungnya dan juga pelipisnya.
"Kenapa lu?"
Suara yang berat dan pertanyaan yang menyebalkan menurut Aileen. Dia tidak menjawabnya dan mengacuhkan pria itu.
Agam keluar dari kamar itu. Dia mencari Murti dan meminta wanita tua itu untuk mengantarkan pakaian milik Aileen. Dia akan mengantarkan Aileen pulang, sembari berangkat ke kantor.
Setelah bersiap, Alma, mengucapkan banyak terima kasih dan juga permintaan maaf. Begitupun Aileen. Dia mencium punggung tangan Alma dan mengucap terima kasih karena sudah merawat dan mengizinkan Aileen untuk singgah.
Agam mengemudi dengan Aileen yang duduk di sampingnya. Mereka tidak berbincang apapun, sampai ponsel Aileen berdering.
Darren yang meneleponnya, dia cemas karena pagi ini dia datang kerumah Aileen, tetapi gadis itu tidak ada di rumah.
Dewi sudah menjelaskannya, tetapi pria itu seakan tidak tenang jika tidak mendengar suara gadis cerewet itu.
"Hah— apa? Ha— haciw."
Aileen kembali bersin. Agam menoleh, mendengar suara Aileen yang berbicara, dia kira gadis disampingnya berbicara sendiri. Ternyata ada telepon di tangannya dan didepan telinganya.
"Kamu sakit? Di mana sekarang? Aku jemput, ya?" tawar Darren.
Agam bisa denger pembicaraan mereka. Dia hanya diam, tetapi memasang telinga dengan jeli, dia hanya penasaran apa yang diobrolkan ketika gadis ini menelepon orang lain.
"Tidak perlu, aku sudah ke dokter. Ini mau balik, udah dulu, ya. Aku pusing banget," jawab Aileen. Dia malas berbicara.
Tubuhnya benar-benar dalam keadaan yang tidak fit. Aileen ingin tidur dan istirahat.
Setelah mengakhiri panggilannya. Gadis itu pun kembali menyandarkan kepalanya pada headboard. Aileen memejamkan matanya. Dia tertidur. Setelah semalaman, ia terjaga.
Sampai di rumah Aileen. Agam membangunkannya. Terakhir kali, gadis itu marah ketika Agam memanggil adiknya untuk membangunkannya.
Haruskah, kali ini dia menggendong gadis itu? Membiarkannya untuk tetap tertidur?
Agam mendekatkan dirinya, mencoba untuk membangunkan, Aileen. Namun, dia sudah menggerakkan tubuh Aileen, dia juga tidak terbangun..mungkin efek obat tidur yang ada dalam obat pemberian dokter.
Agam menghela napas dan ia pun turun. Memutar dan membuka pintu di mana Aileen berada.
Dia mengangkat tubuh Aileen. Agam mengulum senyum, ketika tertidur, gadis ini terlihat manis, jauh lebih lugu ketimbang saat membuka mata. Begitulah yang ada di pikiran Agam.
Kemudian, dia mengetuk pintu dengan kaki. Apa boleh buat, tangannya dia gunakan untuk membawa tubuh Aileen. Masa bodoh jika ada yang mengatakan bahwa dia tidak sopan.
"Aileen? Nak, kenapa Aileen?" Dewi yang membuka pintu dan disuguhkan dengan pemandangan itu, jelas dia panik.
Dia takut tejadi apa-apa dengan anak gadisnya. Semalam adalah kali pertama Aileen menginap di rumah orang.
Dewi menarik begitu saja lengan Agam. Membawanya untuk ke kamar Aileen dan meminta Agam untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Sebuah ruangan penuh dengan warna-warna pastel. Elegan dan tidak terlalu terlihat seperti kamar wanita. Setidaknya Aileen bukan pecinta warna pink seperti kebanyakan seorang perempuan.
"Kenapa Aileen, nak? Kenapa dia tidak cerita apa-apa?"
Dewi menyentuh dahi anaknya. Dia merasakan panas pada tangannya. Kemudian melirik Agam. Pikiran buruk kembali terbesit. Mengingat bahwa dulu ketika pengantin baru, Dewi sampai demam hanya demi percobaan pembobolan dirinya.
Pikiran geli untuk situasi genting saat sekarang.
Agam sadar dengan lirikan tajam itu. Dia segera menjelaskan bahwa semalam Aileen masuk angin dan demam karena kehujanan sore tadi. Dia tidak akan mengatakan kalau semalam Aileen beku di kamar mandi. Yanga dan sang ibu jelas berpikir macam-macam tentang dirinya
"Terima kasih, Nak. Maaf, jika Aileen merepotkan kalian," sesal Dewi.
Agam mengangguk, dia segera berpamitan untuk pergi. Ada hal lain yang harus dia kerjakan.
Sepeninggalan Agam, Dewi merawat anaknya, mengompres Aileen dengan air hangat. Dan membuatkan bubur untuk gadis itu.
Sampai siang hari, Darren datang. Dia mendapatkan kabar dari Dewi. Ponsel Aileen yang berisik membuat sang ibu risih. Alhasil dia menjawab panggilan itu.
Mengatakan bahwa Aileen tengah sakit. Pria itu membawa buah, dan juga bubur ayam untuk Aileen.
Menggantikan Dewi merawat Aileen. Tentu saja Dewi mengizinkan pria itu untuk ada di kamar Aileen. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Dan sering bersama dulu. Darren tidak akan macam-macam dengan gadisnya.
"Hei, kamu kenapa?"
Begitu membuka matanya, Darren yang pertama Aileen lihat. Senyum dan juga perhatian Darren yang selalu membuat Aileen nyaman.
"Pusing, kehujanan. Kenapa kamu di sini?" Darren menjelaskan bahwa dia menelpon dirinya tadi. Namun, sang ibu yang menjawab.
Pria itu menyuapi bubur Aileen. Membantu wanita itu untuk duduk bersandar agar lebih mudah mengunyah dan menelan makanan. Begitupun Darren, lebih leluasa untuk menyuapinya.