Bab 34
Aileen berkeliling ruangan tersebut. Melihat isi kamar. Membuka lemari yang mengkilap. Kayu yang benar-benar bersinar. Tidak ada isinya, kosong. Hanya ada satu baju, dan itu pun kemeja yang sangat besar.
Aileen mengambilnya, dia memakainya untuk menutupi tubuhnya. Memakai kaos tipis membuat dirinya malu. Tidak percaya diri untuk keluar dari kamar.
Setelah menggenakan dua rekap baju, ia pun memberanikan diri untuk keluar. Sepi, tidak ada siapapun. Hanya suara hujan yang begitu kuat di luar sana yang terdengar.
Gadis itu, berjalan tidak tentu arah. Ke ruang tengah, melihat beberapa bufet yang menyimpan banyak buku. Ada piala, ada satu foto kecil yang tersimpan di dalamnya.
Aileen membukanya. Dia ingin melihat dan mengambil bingkai itu, ingin melihat lebih jelas gambar siapa di sana.
"Stop!" Suara yang galak, kembali dia dengar.
Aileen berbalik, dengan tangan berada di belakang punggungnya. Seakan menjelaskan lewat bahasa tubuhnya bahwa dia sudah diam, dan meminta maaf, akan ketidak sopan yang dilakukan oleh Aileen.
Gadis itu kicep, menutup mulutnya dengan rapat, dan menatap Agam yang berjalan mendekati dirinya.
"Mau apa?"
Mata tajam Agam seakan menelanjangi Aileen. Ia tertunduk, dan menggeser tubuhnya menjauh dari pintu bufet yang besar tersebut.
"Hanya melihat-lihat. Maaf," sesal Aileen.
Agam, mengambil bingkai. Dia tahu, pasti itu yang akan di ambil oleh gadis cerewet ini. Kemudian ia memberikan padanya.
"Kepo sama dia kan? Lihat, keren kan? Jelas, lah. Aku."
Dengan penuh percaya dirinya, ia menyodorkan bingkai itu pada Aileen. Gadis itu menerimanya. Ia mengulum senyum mendengar penuturan pria itu.
Pria itu menjauh dari Aileen. Dia duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tidak ada yang seru, tetapi dia tetap membiarkan beda kotak besar itu menyala, hanya menampilkan sebuah talk show.
Aileen menghampiri Agam, dan duduk di sofa lain. Dia memperhatikan foto yang dia genggam sejak tadi. Membandingkan dengan Agam yang saat ini
Di dalam foto pria itu tampak begitu ceria, senyum yang lebar dan tidak ada gigi. Agam yang berusia sekitar lima tahun. Sangat lucu, dan menggemaskan.
"Kenapa?!" ketus Agam, begitu sadar bahwa Aileen memperhatikan dirinya.
"Agam, yang tadi ibumu?"
Agam mengangguk, tanpa membuka satu suara lagi.
"Siapa namanya?" Aileen bertanya dengan hati-hati. Tidak mau sampai menyinggung pria yang kejam, bertemperamen tinggi itu.
Cukup sekali saja, Aileen di bentak olehnya. Harus tidak ada kejadian lain lagi. Aileen takut dengan kemarahan Agam yang terlihat mengerikan.
"Tanya sendiri, sana!" jawabnya. Aileen mencibir, yang benar saja, kenapa ada lelaki yang begitu menyebalkan.
"Ish, kamu tidak tahu nama mama kamu sendiri?" Aileen memberengut, apa susahnya menjawab pertanyaan yang mudah dan simpel itu.
"Dasar pria aneh," gerutu Aileen.
"Alma."
Sesingkat itu Agam menjawabnya, Aileen semakin aneh. Alma? Jelas-jelas itu Tante Almira kan? Batin Aileen.
"Kenapa lu?" Agam melihat ekspresi wajah Aileen yang berubah. Ia hanya bergeleng.
Dia ingin banyak membicarakan hal ini. Akan tetapi, mungkin lain kali, dia harus memastikan banyak hal, mungkin bertemu keduanya dalam satu waktu.
"Kalian di sini? Ayo makan, sudah siap, lho masakan, Mama," tutur Alma. Dia memutar rodanya dan menghampiri dua bocah yang entah memikirkan apa.
Agam berdiri, dan memutar kursi roda sang ibu, dia hendak mendorong menjauh dari ruangan itu. Namun, Alma melarang Agam.
"Nak, ajak Aileen, dong. Gimana, sih. Maaf, ya, sayang. Agam, memang begitu orangnya, nggak peka," celetuknya.
"Tidak, apa-apa, Tante. Biar Aileen yang bantu, Tante, ya. Boleh kan?"
Alma mengangguk, menyetujui keinginan Aileen.
Agam hanya menggedikkan bahu, bahkan dia meninggalkan dua wanita itu. Kini, Aileen yang menggantikan mendorong kursi itu.
Alma mengusap tangan gadis itu. Aileen senang, setidaknya dia bisa melakukan sedikit pekerjaan.
Sampai di ruang makan, pria itu sudah menata piring untuk sang ibu. Bahkan mengambilkan makanan untuk sang ibu.
Seketika Aileen merasa bahwa Agam sangat berbeda jika melakukan itu. Dia terlihat seperti lelaki yang penyayang dan juga hangat. Perhatian dan penuh kasih, juga cinta.
Kenapa dia berbeda kalau sendirian? Pikir Aileen. Ia terus membatin, heran dengan sikap Agam yang seakan memiliki dia kepribadian.
"Duduk, Nak," pinta Alma pada Aileen.
Wanita itu memilih duduk di samping Alma. Matanya menatap wajah wanita paruh baya itu dengan seksama. Dia benar-benar yakin kalau yang ada dihadapannya adalah Almira.
"Kenapa melihat, Tante seperti itu nak?" Alma memberikan piring yang dibukukan Agam untuk Aileen.
"Ma, kenapa di kasih dia sih? Dia itu punya tangan, kaki, bisa ambil sendiri kan?!" sergah Agam. Hendak mengambil lagi piring yang ada di hadapan Aileen.
"Memangnya, Mama tidak punya kaki? Tidak punya tangan? Mama punya, sayang. Dia tamu, jadi wajar dong, Mama bersikap manis, seperti kamu bersikap manis sama mama. Seharusnya kamu juga bisa bersikap begitu padanya," tutur Alma.
Agam mendecih, dia tidak suka gadis bawel, ceriwis dan juga pendek.
"Sudah, sayang. Jangan hiraukan dia. Makan yang banyak, ya. Oh— ya, belum jawab pertanyaan Tante tadi. Kenapa kamu heran gitu lihat, Tante?"
Aileen menggeleng. "Tidak, Tante cantik. Baik, lagi. Terima kasih, Tan," lirih Aileen.
Alma tersenyum. Mereka makan bertiga. Malam yang sungguh berbeda dari malam sebelumnya. Alma sangat senang, bahkan dia tidak kehilangan senyum. Dia terus menatap dua bocah yang ada dihadapannya dengan bergantian.
Sesekali Aileen mengedarkan pandangannya. Mencari sosok yang sejak tadi tidak pernah dia temui. Sosok yang seharusnya ada ketika makan malam, dan duduk di kursi yang paling ujung.
Aileen menatap Agam dan juga Alma s acara bergantian. Entah kenapa hatinya senang, juga nyeri, perasaan yang bertolak belakang. Namun Aileen merasakannya dalam satu waktu bersama.
Di luar sana, hujan bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Justru semakin lebat disertai angin dan juga Guntur yang menggelegar. Kilatan cahaya yang mengerikan itu membuat Aileen bergidik.
Dia juga kedinginan, meski sudah memakai dua lapis baju sekalipun. Kakinya terbuka, itu semakin membuat Aileen membeku.
Usai makan malam, Agam selalu melakukan rutinitasnya. Memberikan obat pada sang ibu. Aileen melihat semuanya. Bahkan saat lelaki itu membawa sang ibu untuk ke kamar. Ia melihat.
Dengan sengaja ia pun mengintip Agam yang menyelimuti sang ibu, dan mengecup kening Alma. Aileen terpaku, sejenak dia berpikir, Agam adalah lelaki yang begitu menyayangi ibunya.
Begitu Agam keluar, gadis itu salah tingkah. Dia kepergok mengintip bukan?
"Dasar, tukang ngintip," cela Agam. Pria itu kembali meninggalkan Aileen. Gadis itu bingung. Dia tidak terbiasa tidur setelah makan malam. Meskipun itu sudah satu jam lamanya.
Gadis itu mengikuti Agam, ingin mengobrol dan berharap Agam mau menemaninya. Terasa aneh jika dia harus tetap berada di sini.
Hari sudah larut malam, tidak mungkin dia harus menginap di rumah lelaki itu kan?
Aileen sudah menelepon sang ibu di rumah. Mereka mengerti tetapi terus mewanti-wanti Aileen agar menjaga dirinya dengan baik. Dia juga menjelaskan bahwa ibu Agam sangat baik. Namun, dia tidak menjelaskan apapun perihal kekalutan yang dia rasakan pada wanita itu.
"Ngapain ngintil?! Kamu punya kamar sendiri kan? Mau tidur sama aku?!" ketus Agam, yang melihat bayangan Aileen masih terus mengikutinya.
"Tidak, aku ingin pulang," lirih Aileen.
Dia duduk di anak tangga paling bahwa. Andaikata Agam tetap pergi, artinya dia akan di sana sendirian.
Agam, pria itu—