Bab 12: Dia Aman

1196 Words
Bab 12 Mobil yang dikendarai Agam, berhenti tepat di taman kompleks yang letaknya sedikit jauh dari rumah. Benar dugaannya bahwa selalu banyak pasangan atau keluarga yang berkunjung. Di sana, banyak permainan kecil, seperti ayunan, jungkat-jungkit, atupun, perosotan. Ada beberapa hewan yang sengaja dipertontonkan. Seperti rusa tanduk, ada ayam, dan beragam burung. Layaknya kebun binatang, tetapi tidak terlalu lengkap. Tidak hanya itu, beberapa komunitas, sering terlihat membawa hewan-hewan piaraan mereka. Seperti ular, burung hantu dan hewan yang menakjubkan lainnya. Udara pagi memang selalu banyak di cari oleh orang. Lebih segar dan banyak manfaat, tetapi tidak bagi orang yang alergi dingin, hidung mereka akan terasa tidak nyaman, dan terus berair. Agam memakirkan mobilnya, lalu ia mengambil kursi roda milik sang ibu. Membopong tubuh Alma dengan hati-hati dan sangat telaten. “Awas! Hati-hati, Ma,” ucapnya. Takut kepala ibunya terkena pintu atau terbentur benda di sisi-sisinya. Alma tersenyum, dia mengangguk dan berpegangan pada lengan anaknya yang kokoh dan kuat. Secara perlahan, Alma pun berpindah. Dia sudah duduk dengan nyaman di kursinya. Entah harus berapa lama lagi dia bergantung pada anaknya dan juga kursi itu. Rasanya sangat bosan. Akan tetapi melihat semangat sang anak, Alma tidak mau lagi mengeluh. Perjuangan Agam, sudah sangat jauh. Jika dia saja tidak menyerah dan putus asa, lalu kenapa Alma tidak yakin? Dia hanya perlu meyakinkan dirinya, bahwa dia bisa sembuh. “Terima kasih, Nak. Lihatlah, banyak pasangan muda, dengan anak-anak mereka. Kamu tidak mau seperti itu?” Agam terus mendorong sang ibu, berkeliling di jalan berkramik. Mengedarkan pandangannya kesana kemari. Melihat di mana sang ibu berbicara, membahas mereka yang menemukan jodohnya lebih mudah. “Ma, kita ke sini untuk Mama. Liburan, menikmati sepanjang hari ini. Jangan merusak mood Agam, dengan pertanyaan yang konyol,” jawabnya. Agam berhenti, tepat di bawah pohon dengan batang yang besar, rindang, daunnya lebat sehingga menghalau sinar matahari. Satu pohon dengan pohon yang lain saling bertaut. Sepertinya mereka bekerja sama untuk melindungi manusia-manusia yang ada di bawahnya dari terik matahari, juga hujan lebat. Mungkin— Alma mengusap tangan anaknya yang beda di pundak. Menggenggamnya dengan lembut, lalu menciumnya. Dia sangat mencintai dan menyayangi Agam. Lebih dari apa pun. Hanya dia yang dimiliki olehnya. Hanya Agam yang selalu ada untuknya. Meskipun, rasa cinta pada suaminya tidak pernah hilang, meskipun sangat sulit melupakan semuanya. Cara bagaimana lelaki itu memperlakukan dirinya. Kasar, jahat dan juga menyakiti setiap hari. Alma tidak bisa melupakan semua itu. Namun, bersama anaknya, dia selalu tenang. Agam seperti malaikat. Dia adalah alasan pertama baginya untuk tetap bertahan dan bersemangat untuk sembuh, agar dia bisa tetap menjaga dan menemaninya ketika penghulu menikahkan mereka. Bukankah dia membutuhkan ayah? Lelaki tidak butuh lelaki seperti mantan suami sang ibu. Bahkan Agam sudah menganggap dirinya mati. Dia tidak memiliki ayah, begitulah pemikiran Agam. “Iya, maafkan, Mama. Tapi mama semakin tua kan? Setidaknya kamu harus segera menikah, lalu berikan Mama cucu, yang banyak. Pasti semangat Mama, makin menggelora,” titah Alma. Lelaki itu berjalan memutar untuk berjongkok di hadapan sang ibu. Dia melakukan hal yang sama, mencium tangan ibunya dan membawanya untuk membelai pipinya. “Agam pasti akan menikah. Mama tenang saja. Suatu hari nanti, Agam akan memberikan banyak cucu untuk, Mama. Untuk saat ini, Agam hanya mau Mama, sembuh. Bukan yang lain,” tutur Agam. Ia kembali mencium punggung tangan ibunya dan bangkit berpindah mencium kening Alma. “Mau camilan? Agam akan belikan untuk, Mama.” Mereka kembali berjalan, menelusuri jalanan, dan juga taman itu. Taman yang besar dan sejuk. Berbagai penjual makanan ada. Tidak hanya itu, jajanan ketika anak-anak jaman dulu pun dijajakan di sana. Makanan tradisional, seperti Klanting, rangen kue pukis mini pun ada. Mereka memikul gerobak dan berjalan ke sana kemari mencari pembeli. Kue putu dengan suara khas, bambu yang mengeluarkan asap, taburan kepala di atasnya dengan gula merah didalamnya pun ada. Agam ingin membelinya. Dia menghentikan sang penjual dan memesan. Alma pun senang, dia juga ingin merasakan makanan jaman dulu itu. Butuh beberapa menit untuk jajanan itu tersaji. Semua serba baru, jadi ada seperti serbuk mungkin terbuat dari tepung. Sudah diberikan pewarna makanan hijau. Lalu mereka memasukkannya ke bambu yang meletakkannya di atas bambu yang mengepul mengeluarkan asap. Sembari menunggu, matang. Mereka mengulangi step awal, hingga semuanya tersaji. Jadi semuanya baru, dan masih panas. “Terima kasih,” kata Agam dengan dingin. Setelah ia membayar orang itu pun pergi. Mereka menghidangkan kue putu dengan kertas minyak. Agam, memegangnya, meniup lalu menyuapi sang ibu. Alma membuka mulutnya dan menikmati rasa manis yang meleleh di mulutnya. Bahkan sampai ia memejamkan matanya untuk merasakan sensasi manis gurih yang ada. “Enak, lho, Gam. Kok kamu tahu ini enak?” Kembali, Agam menyuapi sang ibu. “Dulu Ashraf pernah mengajaku beli, Ma. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan penjualnya lagi. Baru tadi ketemu, tapi beda orang, sih. Mama suka?” Alma mengangguk. “Iya, Mama suka. Ini jajanan favorit Mama waktu kecil. Mama sampai lupa bagaimana rasanya,” jelasnya. Agam menyuapi ibunya hingga Alma menolak, karena dia merasa kenyang. Kemudian Agam yang menghabiskan. Kembali mereka melanjutkan langkahnya, kini melihat ular yang ada di leher para muda mudi. Alma bergidik ngeri. Agam, mendekati sang pemilik dan mencoba untuk mengambil alih, ular itu melingkar di lehernya dan lelaki itu memegang ekor serta kepalanya. “Agam, jangan! Mama, takut!” teriak Alma. Beberapa orang tersenyum. Juga beberapa wanita yang menatap Agam dengan binar mata kagum. “Aku yakin dia aman, Ma. Kalau tidak sang pemilik tidak akan membawanya ke mari. Coba Mama, sentuh.” Alma justru menyembunyikan tangannya, dan dia memejamkan matanya. Agam tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya. Kemudian Agam pun memberikan lagi ularnya pada pemilik. Agam berbalik dan mendorong lagi, kursi rodanya dengan sesekali mencium pucuk kepala sang ibu. Mungkin tidak banyak dari mereka yang mengira bahwa Agam berkencan dengan tante-tante girang. Namun, lelaki itu sama sekali tidak peduli dengan ocehan mereka. Mereka tidak tahu bagaimana perjuangan Alma untuk membesarkan Agam dulu. Jadi, mulut-mulut pedas akan terus berkomentar pedas. Apa yang mereka lihat lah yang selalu menjadi pusat perbincangan dan perhatian. Lelah dengan berkeliling, Alma pun memutuskan untuk pulang. Hari, juga sudah mulai terik. Jarum jam sudah berada tepat di angka dua belas. “Mama, mau beli apa sebelum pulang?” Agam, memeluk ibunya dari belakang dan melihat kolam ikan. Banyak ikan koi yang ada di genangan air di depannya. Akan tetapi, ada pagar yang membatasi sehingga tidak bisa sembarang orang memberikan makan pada ikan-ikan tersebut. Namun, tidak sedikit orang yang bandel, dengan melempar makanan ikan itu. Pagarnya sendiri juga tidak terlalu tinggi, sehingga mereka-mereka yang memiliki tangan nakal tetap bisa melanggar larangan itu. “Lemon cake, Mama ingin ke tokonya. Bisa kita pergi, tapi— toko yang sama saat kamu membelikan Mama waktu itu.” Agam kembali mengingat kejadian malam kemarin, dia masih ingat bahwa perempuan itu adalah gadis yang sama seperti di toko. Agam ingat ketika sampai di rumah. Apakah Agam akan membawa sang ibu ke tempat itu? Atau dia akan membohongi Alma dan mencari toko kue yang lain? “Ehm— boleh, ayo kita pergi.” Alma tersenyum dengan sumringah. Namun, Agam, dia hanya diam dan membisu. Mendorong sang ibu hingga sampai di parkiran mobil. Kemudian mulai melakukan kendaraannya, ketika sang ibu sudah dipastikan aman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD