Chapt 11. Feeling Right. Awry

1968 Words
… 10 menit kemudian.,             Tidak hanya ada Bobby, tetapi juga ada sekretaris kantor dan bendahara Althafiance disana. Mereka masih berdiri disana, melihat cek yang telah terkoyak dan kusut diatas meja kerja Tuan Besar mereka. “Perhatikan semua cek ini. Kira-kira, berapa gaji yang dia inginkan? Kenapa dia menolak semua gaji ini?” tanya Aiyaz menatap lekat mereka bertiga dengan posisi duduk bersandar di kursi kebesaran, dengan kedua jemari saling bersemat di tubuhnya. Glek!             Mereka bertiga hanya bisa diam. Tidak ada yang bisa mereka katakan saat melihat cek dengan nominal 5000 USD, 10.000 USD, 35.000 USD, dan 350.000 USD diatas meja kerja Boss mereka. Sebab cek yang terdaftar disana menunjukkan gaji yang cukup dan sangat besar.             Bukan tidak mau menjawab, tapi mereka hanya bingung. Kenapa Boss mereka mengatakan kalau Caca syok karena menerima gaji yang tidak sesuai. “Maaf Tuan Abraham, kalau menurut saya kemungkinan Nona Caca menolak gaji yang Anda berikan karena tidak sesuai dengan pekerjaan yang akan dia terima. Maksud saya, gaji yang Anda beri terlalu besar.” Bendahara Althafiance membuka suara.             Aiyaz mengerutkan kening. Dia merasa jika apa yang dikatakan oleh wanita itu tidaklah mungkin. “Benar, Tuan. Saya juga berpikiran sama. Karena dari penjelasan Anda tadi, mungkin saja Nona Caca merasa tidak pantas menerima gaji sebesar itu.” Sekretaris kantornya juga ikut menimpali. “Haahhh …” dia menghela panjang napasnya saat keyakinan mereka sama. Matanya beralih menatap Bobby yang belum memberikan tanggapan apapun. Glek!             Bobby mulai kalut. Dia tahu bagaimana keadaan suasana hati Tuan Besarnya sekarang ini. Kalau sampai pernyataannya salah atau tidak sesuai dengan harapan pria itu, bisa dipastikan dia akan kecipratan getahnya nanti.             Dia sedikit mengangguk kecil, dan mulai membuka suaranya. “Kalau menurut saya, apa yang dikatakan mereka ada benarnya, Tuan. Sebab, pekerjaan yang akan diemban Nona Caca mungkin tidak begitu berat dan tidak memakan banyak waktu. Jadwal kerjanya juga tidak terlalu padat. Itu sebabnya Nona Caca mungkin merasa jika gaji yang diterima terlalu besar dan tidak sesuai dengan beban kerjanya,” jelas Bobby dengan yakin.             Aiyaz mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin ketiga pekerjanya bisa berpikiran seperti itu. Glek!             Sekali lagi, sungguh sial. Bagaimana mungkin dia terus mengingat wajah Caca. Tapi tidak, dia sedang membahas perihal yang penting saat ini.             Lupakan wajah Caca. Dia bisa memandangi wajah cerewet itu lagi nanti. Yah, setelah dia tahu jawaban pastinya. ‘Kenapa wajahnya ada di kepalaku! Ada apa dengan ruangan ini!’ bathinnya mulai kesal, menghela kasar napasnya.             Dia harus tahu apa keinginan Caca. Karena sangat tidak mungkin kalau dia salah menebak keinginan wanita itu. Yah, sudah pasti semua orang menginginkan gaji yang besar. Salah satunya termasuk Caca.             Tubuhnya sedikit tegak. Kedua siku menekan meja, lalu saling menyematkan kedua jemarinya. Matanya kini menatap tajam ke arah mereka, bergantian. “Kalian merasa jika dia menolak karena gaji terlalu besar, begitu?”             Mereka mulai bergidik ngeri. Suara pria ini terdengar menyeramkan di indera pendengaran mereka.             Karena tidak ada yang berani bersuara, akhirnya Bobby mengambil sikap. “Benar, Tuan.” Dia menatap yakin pria itu.             Aiyaz berulang kali menghela panjang napasnya. Bagaimana mungkin mereka membuat alasan konyol seperti itu, pikirnya. “Kalian membuat pernyataan seperti itu? Sementara kalian semua sangat berharap kenaikan gaji?” Dia mulai melayangkan ekspresi bengisnya. Glek! Glek!             Entah kenapa susah sekali bagi mereka berhadapan dengan salah satu dari cucu Tuan Besar mereka, Azzura Abraham Althaf. Pria ini adalah salah satu pria yang tidak mengenal ampun. Yah, begitulah yang mereka bandingkan dari ketiga Boss mereka.             Pria ini sanggup melakukan segala hal yang buruk tepat sasaran, langsung di depan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan Boss mereka yang bernama Gamal, pria itu justru melakukan segala hal tanpa sepengetahuan orang-orang.             Mereka merasa kalau pria ini lebih menyeramkan jika menunjukkan sisi kejamnya secara terang-terangan. Walau mereka mengerti jika keempat Boss mereka adalah pria berhati lembut. “Kenapa kalian diam? Sangat konyol sekali kalau dia menolak gaji itu karena merasa tidak pantas dan terlalu besar!” Braakk!             Mereka bertiga terkejut dengan gebrakan diatas meja. “Kalian ini sungguh lucu sekali!” ujarnya lalu memutar kursi kebesarannya, membelakangi mereka bertiga. Dia langsung memijit keningnya sendiri. ‘Kenapa kepalaku sangat pusing sekali! Aahh …’ bathinnya kesal, namun tangan kirinya menyempatkan untuk membenarkan posisi batangnya yang sudah mengeras sejak beberapa waktu lalu.             Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain diam, dan saling melirik satu sama lain. Bahkan Bobby pun tidak bisa berbuat apa-apa.             Aiyaz diam sejenak, memikirkan apa yang menjadi masalahnya. Tidak, mungkin lebih tepatnya mengenai apa yang menjadi masalah Caca sampai dia pingsan hanya karena masalah gaji.             Seharusnya wanita itu mengatakan saja berapa gaji yang dia inginkan, dan tidak perlu berbelit-belit. Tapi, apakah dia yang tidak paham dengan maksud Caca.             Apa mungkin dia yang salah memahami maksud Caca dan mengira jika wanita itu kurang setuju dengan upah yang mungkin terlalu sedikit. Rasanya tidak mungkin, sebab tidak ada orang di dunia ini yang mampu menolak upah besar. Begitu juga dengan arah yang sejalan, tidak ada orang yang mau digaji dengan upah sedikit. “Haahhhh!” Dia kembali menghela kasar napasnya, lalu memutar kursi kebesarannya menghadap tiga orang yang menjadi kepercayaan Althafiance.             Mereka tidak gugup. Tapi hanya takut jika terlalu lama ditatap oleh pria ini. Apalagi pria ini sangat jarang sekali memanggil mereka selain untuk urusan pekerjaan. Itu sebabnya mereka sedikit heran dan takut jika pria ini melakukan sesuatu diluar nalar mereka. Mengingat hal yang mereka bicarakan saat ini adalah hal yang sangat sepele sekali. Sedikit terselip sikap lucu pria ini, seakan sangat takut dengan wanita bernama Caca. Dua orang wanita itu sedikit menaruh curiga jika proses magang ini memang sengaja dilakukan Boss mereka untuk urusan pribadi. Tapi jika itu benar, mereka sedikit berbahagia. Itu artinya mereka bisa menepis gossip miring mengenai para cucu Abraham Althaf yang memiliki sifat gay.             Berbeda dengan Bobby yang sudah tahu mengenai motif Tuan Besarnya. Itu sebabnya dia hanya bisa diam saja.             Aiyaz menekan jari telunjuknya diatas meja, lalu menekannya berulang kali. Tak! Tak! Tak! “Ini semua, perhatikan baik-baik. Coba kalian tebak. Berapa gaji yang dia inginkan. Kalian hitung baik-baik! Kalian pasti sangat pintar!” ketusnya mewajibkan mereka untuk memberikan jawaban pasti untuknya.             Mereka saling melirik satu sama lain. Sungguh, mereka tidak bisa menebak keinginan orang lain hanya dengan melihat nominal cek yang ada disana. “Ada apa?? Kenapa??” Aiyaz melirik mereka bergantian. “Kenapa diam saja??” sambungnya bertanya.             Bobby mulai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pembahasan Tuan Besarnya semakin lama, semakin tidak terarah.             Karena sekretaris kantor dan bendahara itu melirik ke arahnya, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala saja seraya mengatakan kepala mereka untuk tetap diam.             Aiyaz semakin menegakkan tubuhnya. “Hey! Kalian kenapa?? Jangan dengarkan Bobby! Kalian lihat cek ini! Kenapa tidak ada yang bisa menjawabnya!”  ujarnya mulai mengendurkan dasi terasa begitu mencekik lehernya. “Kalian pasti sangat pintar berhitung! Kalian bisa menghitung uang sampai ribuan triliun! Hanya untuk cek ini saja kalian tidak bisa??” Dia mulai memicingkan mata. Glek!             Mereka menarik panjang napas dengan sikap tenang. Agar tidak membuat curiga pria ini, jika mereka sedikit ingin tertawa.             Dia kembali menghempas kasar punnggungnya disana. Kekesalannya semakin bertambah saat mereka yang dianggap pintar justru tidak bisa memberi jawaban apapun untuknya. “Haahhh! Kenapa ruangan ini panas sekali!” kesalnya lalu menyugar ke belakang rambut berminyaknya yang mulai basah karena keringat. Jangan tanya bagaimana rasa kesalnya sekarang ini, dia lalu beranjak dari duduknya. Saat dia hendak berjalan, dia melupakan sesuatu yang belum membuat puas hatinya. “Kalian sudah bekerja selama bertahun-tahun! Apa untuk melihat gaji seseorang saja kalian tidak bisa?! Berapa nilai matematika kalian dulu?!”             Dia mulai melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan. “Haahh! Benar-benar! Begitu saja kalian tidak bisa!” ketusnya dengan rahang mengeras.             Saat dia hendak mendekati pintu ruangan, tiba-tiba dia kembali berbalik badan. “Satu lagi!”             Mereka bertiga langsung berbalik badan, menghadap pria itu. Eskpresi wajahnya memang terlihat marah. Yah, marah tanpa sebab yang pasti. “Suruh mereka memeriksa semua pendingin di ruangan ini! Jangan sampai dia terbangun hanya karena kepanasan!” ketusnya menatap tajam mereka. Dia kembali melangkahkan kakinya menuju pintu dua daun berwarna coklat tua.             Saat mereka bertiga hendak bernapas lega, tiba-tiba saja suara itu terdengar di telinga mereka. “Apa kau berniat disana saja??” tanya Aiyaz muncul kembali ke ruangannya, dan menatap ke arah Bobby. “Ah ya? Ya, Tuan. Maaf,” ujarnya lalu melangkahkan kaki menuju pintu ruangan. “Apa kalian berniat membunuhku?! Sangat keterlaluan sekali!” gumamnya sangat kesal lalu keluar dari ruangan itu. Braakkk!             Mereka bertiga kaget saat pintu ruangan dibanting keras. Begitulah sikap arogan Boss mereka, Aiyaz. Semua pekerja sudah sangat hapal jika pria yang satu itu mulai sensitif. Tapi biasanya tidak akan sampai membahas hal-hal yang aneh. Kejadian ini adalah hal pertama yang mereka lihat sosok pria bertubuh atletis bernama Aiyaz Koswara Althaf. Bobby menghentikan langkah kakinya, dia berbalik badan melihat dua orang wanita dewasa itu dengan senyuman tipis. “Kalian harus bisa memahaminya. Dia memang seperti itu,” ujarnya mengendikan bahu.             Dua orang wanita itu mengangguk paham sambil tersenyum. “Kita semua sudah mengenal mereka. Hanya saja aku sangat penasaran apa yang spesial dari seorang Cempaka?” ujar wanita berprofesi bendahara Althafiance itu.             Wanita yang berada di sampingnya juga mengulum senyum. Dia lalu membereskan meja Boss mereka. “Sepertinya aku harus ekstra hati-hati agar kejadian ini tetap menjadi rahasia abadi,” ujarnya.             Bobby tertawa kecil, dia berjalan menuju pintu ruangan. “Aku akan keluar. Tolong pastikan ruangan ini tetap aman. Jangan biarkan siapapun masuk, termasuk mereka bertiga.” Dia memberi pesan untuk mereka, dan menghindari ancaman dari ketiga Boss mereka yang lain. “Tentu saja. Itu sudah tugasku,” ujar wanita yang berprofesi sebagai sekretaris kantor. Dia tersenyum mengangguk paham. “Baiklah. Aku akan keluar dan kembali ke ruanganku. Pekerjaanku sudah terbengkalai,” ujar wanita paruh baya itu sambil terus mengulum senyum. ..**..             Sudah 3 jam berlalu, tapi Caca masih belum siuman. Padahal Aiyaz sudah meninggalkannya untuk keperluan rapat lain, bahkan dia sengaja menyempatkan diri untuk mengecek beberapa mobil di Althafa.             Tetapi, tetap saja wanita itu seakan sedang tidur nyenyak dan melupakan jika dia masih berada di dunia. Aiyaz sungguh tidak menyangka nasibnya akan sesial ini.             Setelah wanita itu sadar, sepertinya Aiyaz harus menyudahi saja permainan ini. Dia akan melepas Caca untuk magang di perusahaan lain. Lebih tepatnya magang di anak cabang perusahaan Althafiance.             Yah, dia akan memindahkan semua mahasiswa di perusahaan yang sama seperti Caca agar tidak menaruh kecurigaan berarti untuk siapapun terutama pihak kampus. Karena dia tidak mau lagi direpotkan oleh sosok wanita cerewet dan membuatnya pusing tujuh keliling.             Ketiga adiknya saja sering membuatnya pusing, dia tidak mau mengambil resiko banyak dengan kehadiran Caca. Dia sudah membulatkan tekadnya, dia harus memutuskan permainan ini dengan mulus. … 3 jam kemudian., Kamar pribadi.,             Dokter baru saja keluar untuk memeriksa kembali keadaan Caca. Aiyaz sudah tidak sabar melihat wanita ini siuman, tapi sayangnya wajah damai Caca membuatnya terpanah.             Kakinya melangkah mendekati ranjang, lalu dia duduk tepat di sisi kanannya. Sekali lagi, dia memperhatikan wajah tidur pulas wanita ini. “Caranya tidur persis seperti mereka bertiga. Seperti tidak ada beban hidup apapun,” gumamnya sambil menyeringai.             Cukup lekat dia memandangi wajah Caca. Seketika dia mengingat bagaimana jika kabar ini terdengar oleh keluarganya, apakah mereka akan khawatir dengan keadaan Caca atau justru sebaliknya.             Tapi, kenapa dia harus repot-repot memikirkan itu. Itu bukan urusannya. “Haahhh … kalau kau tidur seperti ini lebih baik. Dari pada kau bangun dan kau sangat cerewet sekali!” gumamnya mulai gila karena berbicara pada orang pingsan.             Dia pikir, lebih baik membiarkan wanita ini sampai ia siuman. Walau sebenarnya dia sedikit menaruh rasa kasian atas wajah pucatnya tadi. Tapi dia akan membalasnya dengan cara lain.             Saat dia hendak beranjak dari posisi duduknya, tiba-tiba saja dia menggeliat. “Eumhh …”             Aiyaz langsung melihatnya, dan memperhatikan wajahnya. Matanya mulai mengerjap, sepertinya dia benar-benar telah sadar. Tidak mau menunggu lama, dia kembali memainkan ponselnya untuk menyuruh Dokter datang ke kamarnya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD