Chapt 12. Negotiation, The Innocent and The Nag

3009 Words
“Eumhh …”             Aiyaz langsung melihatnya, dan memperhatikan wajahnya. Matanya mulai mengerjap, sepertinya dia benar-benar telah sadar. Tidak mau menunggu lama, dia kembali memainkan ponselnya untuk menyuruh Dokter datang ke kamarnya. … Beberapa menit kemudian.,             Caca membiarkan Aiyaz membantunya untuk duduk dan bersandar pada sandaran ranjang. Dia sedikit memijit sisi kepalanya yang masih terasa berdenyut.             Aiyaz yang peka, dia langsung menjangkau gelas hangat yang ada di nakas lalu memberikannya untuk Caca.             Tidak mau menerimanya, Caca menatap Aiyaz dengan pandangan curiga. ‘Minuman apa ini?’ bathinnya memperhatikan gelas berisi air bening disana.             Dia menarik panjang napasnya. Tidak mungkin dia bodoh dan meracuni Caca secara terang-terangan, pikir Aiyaz. “Minumlah. Air hangat bagus buat peredaran darah,” ujarnya dengan ekspresi datar.             Caca sedikit mengerutkan kening. ‘Ada apa dengannya? Niat ngasih air minum gak sih? Gak ikhlas banget sepertinya!’ bathinnya kesal lalu mengambil gelas berisi air hangat, dan meminumnya. “Minum sampai habis. Itu pesan dari Dokter. Kau pasti dengar dia tadi,” ujarnya lagi sedikit membuat jarak lebih dari posisi duduknya di bibir ranjang.             Caca masih meminumnya sambil melirik ke arah pria itu. Setelah meneguknya sampai habis, dia hendak meletakkannya diatas nakas. Namun, gerakannya dicegah oleh Aiyaz dengan mengambil gelasnya secara tiba-tiba.             Aiyaz meletakkan kembali gelas itu di tempat semula. Tanpa berniat beranjak dari sana, dia hanya mau tahu apa yang membuat Caca syok dan pingsan tadi. Yah, dia pikir harus itu sebelum memutuskan untuk memindahkan mereka ke perusahaannya yang lain.             Tapi tidak, dia mau memberi Caca waktu untuk menetralkan perasaannya. Bagaimana pun juga, dia masih memiliki hati untuk tetap membuat seorang wanita merasa nyaman. Setidaknya itu yang selalu ia lakukan terhadap ketiga adiknya.             Caca merasa jauh lebih baik. Dia mulai mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi beberapa menit lalu. ‘Aku pingsan? Dan terakhir aku melihat notifikasi pesan masuk?’ bathinnya bergumam seorang diri.             Aiyaz masih diam saja memperhatikan Caca. Kaki kanannya tertekuk di ranjang, sedangkan kaki kirinya masih menapak sempurna di lantai. ‘Aku di kamar ini? Aku di kamar siapa?’ bathinnya lagi bertanya-tanya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar yang sangat klasik. Barang-barang yang ada di kamar ini terlihat sangat mahal. ‘Kamar ini mewah. Aduh kepalaku kenapa masih pusing begini sih,’ bathinnya masih terus mengeluh.             Aiyaz menarik panjang napasnya. Untung saja dia paham Berbahasa Indonesia. Jika tidak, dia mungkin akan melewati banyak umpatan yang mungkin saja dilontarkan oleh wanita ini untuknya.             Caca melirik ke arah pria yang sejak tadi menatapnya. “Maaf, Pak? Saya dimana ya?” tanya Caca sedikit tersenyum kecut. “Di kamar saya,” jawabnya singkat. Glek! ‘Kamarnya?’ “Eumh, saya di rumah Bapak ya?” Dia melempar pandangannya ke arah lain, karena merasa sungkan. “Di kantor,” jawabnya lagi tanpa banyak kata. Glek!             Sungguh, Caca mulai gugup. ‘Di kantor? Jadi, kantor ini punya kamar? Apa kantor ini ada hotelnya juga?’ bathinnya mulai bergidik ngeri sambil mengusap lembut kedua lengannya yang masih berbalut kemeja putih berlengan panjang.             Lagi-lagi Aiyaz harus bisa mengatur napasnya. Kenapa wanita ini selalu berpikiran kotor. Memangnya kenapa kalau kantor ini punya kamar pribadi. Itu adalah hal yang sangat wajar, pikirnya. “Boleh aku bertanya padamu?” tanya Aiyaz mulai mengalihkan perhatian Caca. “Boleh, Pak. Silahkan,” jawab Caca sopan.             Aiyaz menyeringai. Bagaimana mungkin wanita ini mengatakan silahkan padanya. ‘Sebenarnya disini, aku atau dia yang menjadi atasan? Keterlaluan!’ bathinnya mulai kesal. “Kenapa tadi kau pingsan? Maksudku, apa yang membuatmu syok? Apa gaji yang kuberi terlalu sedikit? Atau sebaliknya?” tanya Aiyaz tanpa basa-basi. Glek!             Caca mulai mengingat nominal gaji yang masuk ke rekeningnya. “Eumh … iya, Pak. Gaji yang Anda beri terlalu besar,” jawabnya jujur. Deg!             Aiyaz tertegun. Kenapa pernyataan mereka tadi benar, pikirnya. “Kenapa kau beranggapan seperti itu?” Glek!             Caca mulai susah menegukkan salivanya sendiri. “Eumh, karena tidak sesuai dengan pekerjaan saya, Pak. Maksud saya, pekerjaan saya tidak terlalu sulit. Jadi, seperti tidak cocok dengan gaji yang Anda beri.” Caca tersenyum tipis sambil meremas jemarinya.             Tentu saja Aiyaz memperhatikan gerak-gerik Caca yang sudah gugup sejak tadi. Mungkin saja wanita ini memang sedikit aneh.             Jika orang-orang mengingikan gaji besar, tapi wanita ini justru sebaliknya. Dan jika orang-orang sangat bahagia dengan transferan uang yang besar, tapi wanita ini justru pingsan.             Entahlah, Aiyaz tidak bisa mendefinisikan karakter wanita ini. Adalah keputusan yang tepat untuk memutuskan pekerjaannya, dan memindahkan tempat magang mereka. “Begini, sebenarnya kau memiliki pekerjaan yang cukup sulit. Kau hanya belum menjalankannya. Tapi ya sudah. Aku putuskan untuk tidak memperkerjakanmu. Istirahatlah sampai kau pulih. Dan kau bisa kembali dari sini,” ujarnya lalu beranjak dari posisi duduknya.             Caca membelalakkan matanya. “Maksud Anda, Pak?? Anda memecat saya??” tanya Caca hendak berdiri. Namun, gerakannya terhenti saat melihat pria itu berbalik badan. “Iya, karena kamu menolak. Ya sudah, saya tidak memaksa.” Aiyaz tersenyum sembari merapikan setelan jasnya. “Tapi, Pak. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya—” Matanya mulai berkaca-kaca. Jika dia dipecat, itu artinya dia tidak akan mendapatkan masukan apa-apa. Gagal sudah rencananya untuk menjadi mandiri.             Aiyaz kebingungan. “Hey?? Ada apa?” tanyanya kembali mendekati ranjang.             Caca menatap Bossnya dengan tatapan memohon. Dia ingin sekali turun dari ranjang, tapi kepalanya masih pusing. “Pak … saya mohon jangan pecat saya?? Saya butuh uang untuk membayar biaya hidup saya sehari-hari,” gumamnya dengan suara terbata. Glek!             Aiyaz berada dalam keadaan sulit. Kenapa harus ada wanita yang memohon seperti ini padanya. Sial sekali, pikirnya. Dia melempar pandangan ke arah lain, memijit sisi kepalanya.             Caca merasa jika pria ini tidak mau mendengarkan ucapannya. Dia berusaha untuk bangkit, lalu terduduk di lantai. “Saya mohon, Pak … jangan pecat saya. Nanti saya akan makan apa?? Keluarga saya sudah susah di Indonesia. Saya mau mandiri, Pak. Saya mau mencari uang sendiri supaya tidak menyulitkan ekonomi keluarga saya. Saya mohon, Pak??” Caca mulai menitihkan air matanya dengan kepala menunduk ke lantai.             Aiyaz hendak menyentuhnya, tapi dia ragu. “Hey, hey! Jangan begini! Berdirilah, ayo … Ayo, cepat berdiri. Astaga!” geramnya dengan kedua tangan tergepal kuat. Rasanya ingin sekali dia meninju seseorang saat ini.             Caca mendongakkan kepalanya. Wajahnya sudah memerah dan basah karena air mata. “Tolong jangan pecat saya, Pak. Nanti saya akan makan apa??” Caca merintih, menggelengkan kepalanya sambil terisak hebat.             Rahangnya mengeras. ‘Sial! Kenapa wajahnya jadi mirip sekali dengan Embun! Ahhkk!’ “Baiklah, berdiri. Jangan begini,” ujarnya dengan nada bicara biasa saja, lalu membantu Caca untu berdiri, menuntunnya untuk duduk di bibir ranjang.             Dia segera membuat jarak dari Caca, dan membenarkan dasinya yang dia pikir sedikit miring. Kenapa jadi begini. Kenapa wanita jadi memelas dan dia tidak tega melihatnya. “Baiklah, kalau begitu. Kau akan tetap bekerja,” ujarnya membuat keputusan cepat agar tangisan wanita itu mereda. “Bapak serius??” tanya Caca memastikan dengan wajah sumringah. “Hmm … tapi hentikan tangisanmu itu,” ujarnya lagi. Sungguh, dia tidak terbiasa melihat wanita menangis. Kecuali jika mengerjai ketiga adiknya, itu adalah hal berbeda. Karena cara dia menenangkan mereka juga sangat spesial.             Caca mengangguk mantap, dan langsug terjatuh di lantai. Dia memeluk kedua kakinya. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Terima kasih.”             Aiyaz terkejut. “Hey, hey! Lepaskan kakiku, astaga!” “Terima kasih banyak, Pak. Anda sangat baik sekali.” Caca terus memeluknya karena sangat bahagia. “Iya, iya aku paham! Aku memang baik, tapi lepaskan kakiku! Hey! Ayolah, hentikan ini!” pintanya sambil berusaha melepas pelukan erat Caca dari kakinya. ‘Astaga wanita ini!’ bathinnya geram.             Caca melepasnya, dia menyeka air mata di wajahnya lalu mendongak ke atas. “Terima kasih banyak, Pak. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Anda,” ujarnya tersenyum bahagia. Glek! “Hhmm …” Aiyaz kembali menarik dasinya ke bawah. Tenggorokannya terasa sangat panas sekali. Dia tidak tahu ada apa dengan tubuhnya saat ini. “Berapa gaji yang kau inginkan. Katakan, biar aku urus sekarang.” Aiyaz mulai mengambil ponselnya dari balik saku celana panjang yang ia kenakan.             Caca mulai tertegun. Dia sedikit menimbang sesuatu. “Eumh, kalau 3500 USD saja bagaimana, Pak?” tanya Caca meminta persetujuan.             Aiyaz mengerutkan keningnya, melirik ke arah Caca yang masih terduduk di lantai. Entahlah, dia sangat malas menyuruhnya untuk berdiri dan duduk di ranjang. Bisa saja wanita ini kembali duduk di lantai dan memelas padanya seperti tadi. “Tidak bisa. Itu terlalu sedikit. Kau mau makan apa dengan gaji segitu?” balas Aiyaz masih dengan nada bicara biasa saja, sambil mengotak-atik ponselnya, mengetik sesuatu disana.             Caca mulai berpikir ulang. Dia melirik ke arah lantai, menghitung semua kebutuhannya. “Tapi, Pak. Saya hanya bayar apartemen untuk satu bulan, lalu uang makan sehari-hari, ongkos pergi dan pulang ke kampus, dan untuk biaya penelitian. Hanya itu saja,” ujar Caca menjelaskan.             Aiyaz menelaah semua kalimat Caca. Kenapa biaya hidupnya sedikit sekali, pikirnya. “Berapa biaya apartemenmu selama satu bulan?”             Caca mengerjapkan mata melihat pria itu seperti tampak serius memperhitungkan pembicaraan mereka. “Eumh, 2000 USD, Pak.” Caca menjawabnya jujur. “Lalu sisanya hanya 1500 USD untuk segala keperluanmu yang lain? Apa kau pikir itu cukup?” ketus Aiyaz memicingkan mata ke arah Caca sambil bertolak pinggang.             Polos, Caca menganggukkan kepalanya hingga membuat Aiyaz menyeringai kesal. “Kau ini … tentu saja 1500 USD itu tidak cukup. Kau pikir, kau hidup di Negara mana?? Tidak, 1500 USD itu hanya cukup untuk ongkosmu saja. Kau harus lebih teliti memperhitungkan hidupmu di Negara ini!” ketusnya seakan mengajari Caca dan kembali fokus pada ponselnya.             Dia mengerutkan keningnya. Apa benar dia salah perhitungan. Rasanya tidak. Sebab 1500 USD itu sangat lebih kalau hanya untuk ongkos dia pergi dan pulang dari kampus, pikirnya lagi. “Tapi, Pak. Itu sudah lebih dari cukup. Karena saya dapat uang saku dari kampus. Saya juga dapat uang saku dari Professor Mills selama saya mengikuti penelitian Beliau. Jadi segitu saja sudah cukup. Sungguh,” ujar Caca seraya meyakinkan Bossnya ini.             Aiyaz menghela panjang napasnya. Dia merasa kakinya sungguh pegal sekali. “Haahh … coba diperhitungkan lagi. Kalau ternyata kau salah perkiraan, kau mau meminjam uang dengan siapa??” ujarnya lalu duduk di lantai, dengan kedua kaki di tekuk, dia masih memainkan ponselnya.             Matanya masih mengerjap, melihat pria itu tampak serius dengan ponselnya sejak tadi. Dia memperhatikan tubuhnya. Sepatu hitamnya runcing dan mengkilap. Penampilannya sangat rapi. Kenapa dia baru sadar jika postur tubuh pria ini sungguh tegap sekali. Tidak hanya tinggi, tapi Abang dari tiga gadis itu sungguh bertubuh perfeksionis. ‘Tubuhnya seperti para artis. Ototnya pasti besar,’ bathinnya menatap lekat pria yang hanya berjarak 4 langkah saja darinya. Deg!             Aiyaz tertegun mendengarnya.             Tidak hanya tubuhnya saja, dia juga memperhatikan wajahnya yang tampan dan rambutnya yang berwarna hitam pekat. Rambutnya mengkilap, tubuhnya wangi. ‘Mungkin keturunan mereka memang cantik dan tampan,’ bathin Caca kembali berbicara sendiri.             Aiyaz meliriknya sekilas, spontan membuat Caca terkesiap. Merasa jika sejak tadi mereka hanya diam saja, akhirnya Caca kembali membuka suara. “Eumh, begini saja, Pak. Kalau begitu 3700 USD saja, Pak? Anda setuju??” tanya Caca memastikan.             Aiyaz langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak. Itu terlalu sedikit. Naikkan lagi,” pintanya lalu melempar pandangannya ke arah lain.             Caca mulai bingung. ‘Ada apa dengan pria ini? Kenapa dia memaksa?? Seharusnya dia bersyukur kalau aku meminta gaji sedikit!’ bathin Caca kesal.             Aiyaz menghela kasar napasnya. ‘Dasar wanita aneh! Kenapa dia tidak mau diberi gaji besar! Bukankah seharusnya dia yang bersyukur?!’             Aiyaz memutar malas bola matanya. “Kalau 4000 USD bagaimana?” Dia memberi penawaran terakhir untuk Caca.             Awalnya Caca diam, membuat Aiyaz menoleh ke arahnya. “Kau keberatan?” tanyanya lagi memastikan jika wanita ini tidak akan pingsan lagi.             Caca memikirkan upah sebesar itu. Apakah setimpal dengan pekerjaannya nanti, pikirnya bertanya-tanya. “Kalau saya boleh tahu, pekerjaan saya tergolong mudah atau sulit, Pak?” “Sulit.”             Caca mengangguk paham, masih menatap lekat wajah tampan itu. “Tingkat kesulitannya berapa persen, Pak?” “99,99%.”             Dia kembali menganggukkan kepalanya.             Sungguh menyebalkan. Bagaimana mungkin dia melakukan diskusi konyol seperti ini. Dia yang bodoh atau wanita ini yang memang terlampu polos, pikirnya. “Ya sudah, Pak. Kalau begitu saya terima,” ujarnya mantap dengan senyuman sumringah di wajahnya.             Aiyaz langsung menoleh ke arah kiri, melihat ekspresinya tampak bahagia. ‘Astaga! Demi Dewi Fortuna! Apa dia gila menerima gaji 4000 USD untuk satu bulan??’ bathinnya ingin sekali mengumpat.             Karena tidak mau banyak urusan dengan wanita ini, dia langsung mengotak-atik ponselnya. Yah, dia harus menyelesaikan semuanya dengan Caca agar kepalanya tidak pecah dan otaknya tidak berhamburan di lantai ini.             Dia menyodorkan ponselnya ke arah Caca. “Tiga jari kirimu, tekan di tanda itu.” Aiyaz meliriknya dengan tatapan sudah sangat malas sekali.             Caca mengerutkan keningnya melihat ponsel itu. “Yang ini, Pak?” tanya Caca menunjuk ke arah yang dimaksud. “Iya,” balasnya lalu melempar pandangannya ke arah lain. “Tiga jari yang mana saja, Pak?” tanya Caca bingung. “Haahhh! Tiga jarimu mana??” tanya Aiyaz mulai meliriknya. Dia yakin masih bisa bernapas untuk beberapa saat ke depan. “Ini?” Caca merentangkan lima jari kirinya.             Aiyaz mulai mengeraskan rahangnya. Setelah keluar dari ruangan ini, dia harus memeriksakan detak jantungnya. Apakah masih normal atau tidak. “Itu lima jari, Caca! Aku hanya minta tiga jari saja!” ujarnya dengan gigi merapat.             Caca tersenyum kecut dan sedikit merinding. “Ini ya, Pak?” tanya Caca menurunkan ibu jari dan jari telunjuknya. “Oh, Tuhan!” gumamnya mulai kesal. Dia beranjak dari duduknya dan mendekati Caca. Dia berjongkok di hadapannya, lalu mengambil tangan kiri Caca. “Lemaskan tanganmu!” “I-iya, Pak.”             Caca sedikit gugup sebab jarak mereka sangat dekat sekali. Dia melemaskan tangannya, dan membiarkan Bossnya ini mengambil alih.             Sangat lama, sebab ada 5 berkas disana untuk diberi sidik jari. Sembari melakukannya, Aiyaz bergumam pelan. “Sidik jari ini artinya kau sudah menyetujui kontrak dan bekerja selama 3 bulan masa percobaan. Setelah itu, kau boleh memutuskan untuk lanjut atau tidak.” Dia menjelaskannya dengan nada bicara terdengar biasa saja.             Caca mengangguk paham. “Pak, tapi apa saya tidak boleh membaca isi kontraknya sebelum menandatanganinya?” tanya Caca membuat usulan.             Aiyaz menghentikan gerakannya saat hendak menekan sidik jari Caca di lembar terakhir. “Baiklah, silahkan dibaca.” Aiyaz mempersilahkan Caca dan menyerahkan ponselnya.             Caca tersenyum lebar, lalu mengambil ponsel itu dan membaca isi kontraknya di dalamnya. Glek!             Tidak lama Caca melihatnya, dia langsung menyodorkannya kembali ke arah Aiyaz. “Saya setuju, Pak.” Dia mengusap kedua lengannya karena sedikit malu.             Aiyaz menyeringai tipis. “Kenapa tidak membacanya?” tanyanya memperhatikan wajah Caca yang sedikit sembab. Jarak mereka yang sangat dekat, membuatnya bisa melihat jelas bekas air mata di wajahnya. “Saya tidak tahu itu Bahasa apa, Pak.” Caca menjawab jujur.             Aiyaz kembali meminta tangan kiri Caca dengan isyarat tangan kanannya. “Ini Bahasa Dubai. Karena berkas ini masuk di arsip perusahaan yang terletak disana,” ujarnya berdalih.             Caca hanya mengangguk paham saja sambil melihat layar di ponsel itu menunjukkan tanda sukses. “Sudah selesai. Aku akan mengirimkan berkas ini ke alamat surelmu,” ujarnya lalu hendak beranjak dari posisi jongkonya.             Tapi, Aiyaz mengingat sesuatu. Dia mengambil sesuatu dari kantung jasnya. Sapu tangan berbahan sutra berwarna putih dengan liris biru dongker pada pinggirannya. “Hapur air matamu. Jangan dibiasakan menangis dan memohon kepada orang lain. Kau harus menjaga harga dirimu,” ujarnya menyematkan sapu tangan itu di tangan kanan Caca. Dia lalu beranjak dari sana, sembari merapikan kembali jasnya walau dasinya sudah berantakan. Glek!             Caca tidak bisa berkata apa-apa. Dia terdiam melihat pria itu berjalan meninggalkannya. Perlahan, dia berdiri dan duduk di bibir ranjang. “Ah ya. Aku sudah menjelaskannya di berkas tadi.” Aiyaz berbalik badan menghadap Caca yang kini melihat ke arahnya. “Kau mendapat tunjangan istimewa. Bonus 1000 USD setiap satu minggu sekali. Uang makan siang 2000 USD untuk satu bulan. Ongkos pulang pergi 3000 USD untuk satu bulan. Dan 5000 USD untuk keperluan pakaianmu. Berdandanlah secantik mungkin. Karena aku tidak menyukai pegawai yang culun.”             Caca melongo tidak percaya. Saat dia melihat ke arah pria itu hendak keluar dari kamar, tiba-tiba saja ponselnya berdering. “Tap-tapi, Pak—”             Notifikasi pesan masuk di ponselnya. Caca langsung mengambil ponselnya yang ada diatas nakas, di sisi kanan ranjang. Dia membuka pesan yang masuk, terdapat jumlah uang sebesar 15.000 USD masuk ke rekeningnya. d**a Caca kembali sesak. Padahal dia baru saja menerima transferan uang beberapa jam lalu.             Aiyaz kembali melanjutkan langkah kakinya, dia tahu kalau Caca sedang melihat jumlah uang yang masuk ke rekeningnya. “Itu untuk gaji pertamamu bulan ini,” ujarnya santai sambil menyeringai. Caca langsung melihat ke arah pria yang berada di penghujung pintu. “Aku tidak mau gaji sebanyak ini!!” teriak Caca tidak terima.             Aiyaz menoleh ke arah Caca, dia membelalakkan matanya dan langsung melangkah lebar menuju pintu. “Dasar Boss gila!!” Caca langsung melempar bantal ke arahnya. Dia langsung menutup pintu kamar secepat kilat. Braaakk!! “Haahh! Untung saja kau sigap, Aka! Kau memang pintar!” gumamnya sambil memegang d**a, dan menghela napas syukur lalu tertawa kecil merayakan kemenangannya.             Dia melangkahkan kakinya menuju meja kebesarannya. “Bagaimana mungkin aku menggaji dia hanya 4000 USD untuk satu bulan? Dimana letak harga diriku?” gumam Aiyaz sambil membayangkan wajah cerewet seorang Cempaka Candramaya.             Seringaian tipis itu lagi-lagi terpatri di wajahnya. “Dia harus tahu kehebatanku. Aku bisa menggaji dia bahkan lebih dari yang dia bayangkan,” gumamnya lagi dengan sikap bangga. …             Entahlah, siapapun tidak akan bisa menebak bagaimana karakter pria yang satu ini. Dia tidak bodoh, tapi kenapa sikapnya terhadap Caca justru menunjukkan seakan dia adalah pria paling bodoh.             Begitulah Aka yang ternyata memiliki sisi keluguan yang tidak ketahui oleh orang-orang. Bahkan dia sendiri pun tidak sadar jika ternyata dia memiliki sifat lain yang membuatnya tampak seperti pria lugu dan polos.             Bukankah tidak akan pernah ada manusia yang sempurna di muka bumi ini? Lalu kenapa semua orang menganggap kalau seorang Boss harus bersikap dan berkarakter sempurna?             Mungkin sedikit terdengar lucu. Tapi nyatanya, para keturunan Althaf yang memiliki notabene sebagai keluarga cemara yang sempurna tidaklah selalu sempurna.             Sebab mereka pasti memiliki kekurangan lain yang hanya diketahui oleh keluarga saja. Atau hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami karakter masing-masing dari mereka. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD