BAB 8

1488 Words
          Fiona turun dari mobil dan di bantu oleh dua pelayannya. “Hati-hati, Nona.” Setibanya di dalam rumah Fiona di sambut histeris oleh ibunya.  Sang ibu langsung memeluk putrinya.           “Fiona, kau dari mana saja, Nak? Kami sangat mencemaskanmu .... dan juga, ada apa denganmu? Siapa yang melakukan ini padamu? Cepat katakan aku akan melaporkannya ke polisi.” Sang ibu seketika panik saat melihat darah keluar dari kedua telapak tangan dan lutut Fiona.           “Tidak, Ma. Aku tidak apa-apa.” Fiona masih mencoba menenangkan ibunya yang sangat mencemaskan keadaanya.           “Tapi ... kau terluka seperti ini ... ibu tak bisa memaafkan orang yang telah melukaimu, Nak.”           “Iya, sayang. Siapa yang lakukan ini padamu.” Kali ini sang ayah yang berbicara. Melihat tubuh putrinya yang pulang dengan penuh luka membuat darahnya mendesir marah. Ia tak akan memaafkan mereka yang melakukan ini pada anaknya.           “Tidak ... Ma ... Pa ... lagian seseorang telah memberinya pelajaran,” ujar Fiona yang sedikit malu-malu saat mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.           “Benarkah? Siapa yang menolongmu?”           “Ada deh. Nanti juga aku kenalkan pada kalian.” Fiona segera duduk di kursi yang ada di ruang tamu tersebut.           “Baiklah ...” sang ibu segera menatap salah satu pelayan dan memberikan isyarat agar segera mengobati anaknya. Mengerti dengan tatapan sang majikan salah satu pelayan wanita segera menganguk dan meninggalkan tempatnya mengambil kotak obat. Lalu kembali ke ruang tamu di mana majikannya menunggu.           “Biar saja obati, nona.” Fiona mengangguk dan mengulurkan tangannya yang terluka. “Arghh ...” Fiona memekik kesakitan saat merasakan perih saat obat menyentuh lukanya. Melihat anaknya kesakitan sang ayah segera menegur pelayan tersebut.           “Maaf, Tuan. Aku akan lebih berhati-hati lagi.” Sang pelayan kembali mengobati Fiona dan lebih berhati-hati lagi. Setelah itu membungkusnya dengan perban putih. Setelah telapak tangan pelayan itu juga mengobati lutut anak majikannya.           “Pelayan tolong siapkan makanan.”           ‘Baik, nyonya.” Dua pelayan segera meninggalkan tempat menuju daput untuk melaksanakan perintah sang majikan. Sambil menunggu masakan selesai, Fiona dan orang tuanya menonton Tv bersama di ruang tamu.           Satu jam kemudian, masakan pun telah tertata rapi di atas meja. Fiona dan dua orang tuanya segera meninggalkan ruang tamu menuju ruang makan. “Hati-hati, Nak.” Sang ibu membantu anaknya berjalan dengan memapahnya menuju ruang makan.           Setibanya di ruang makan mata Fiona segera berbinar-binar menatap makanan enak di hadapannya. Sejak tadi siang ia tak pernah makan. Ia sangat kelaparan saat ini. Seketika wanita itu memakan segala masakan yang ada di hadapannya dengan lahap dan melupakan rasa sakit yang ada di telapak tangannya.             Sang ibu tersenyum melihat kerakusan anaknya. “Wahhh. Anak kita sepertinya sangat kelaparan.” Fiona tak menjawab ia hanya fokus dengan makanannya hingga sebuah perkataan menyakitkan tergian-gian dalam pikirannya. “Tubuhmu sangat berat?” perkataan singkat namun sangat menohok hatinya. Makanan yang ada di mulutnya segera ia tumpahkan membuat orang tuanya panik. “Ada apa, Nak? Apa kau tersedak duri ikan? Atau makanan ini tidak enak?” beberapa pelayan yang memasak seketika kaget dan gugup ketakutan. Cemas mejikannya akan memarahi mereka karena makanan yang ia masak tak sesuai selera anak majikannya. Fiona segera meminum minumannya dan menggelengkan kepala. “Tidak, Ma ... aku hanya tak ingin berat badanku bertambah ... he he he ... mulai saat ini aku akan diet.” “What! Diet!” pekik sang ibu dan ayah kaget. “Tidak, Nak. Diet itu tidak baik bagi kesehatan.” “Aku tidak mau gemuk. Seseorang telah mengataiku jika aku berat.” “Siapa yang mengatakan itu padamu? Cepat katakan biar ayah yang memberinya pelajaran telah mengejek anakku.” “Tenang ayah. Kau tidak boleh menghukumnya. Aku akan membutikan padanya jika aku tak akan berat lagi ...” “Tapi, Nak. Diet itu tidak baik bagi kesehatan.” “Aku tidak perduli. Pokoknya aku akan diet.” Orang tua Fiona hanya bisa menghela napas dengan sikap anaknya yang sangat keras kepala dan merutuki seseorang yang telah mengatai anaknya berat. ****               Setelah makan malam bersama orang tuanya, Fiona segera menuju kamarnya tak lupa ia meminta salah satu pelayan untuk membawakan alat timbang. Ia ingin melihat berapa berat badannya saat ini. “Ini, Nona.” Fiona mengangguk lalu menyuruh sang pelayan pergi.           “Kira-kira berapa beratku yah,” batin Fiona gugup. Dengan langkan tertatih Fiona naik ke timbangan tersebut. Dan menemukan angka lima puluh lima kilo gram. Lumayan berat bagi seorang gadis sepertinya. Dia harus diet berat untuk mendapatkan berat badan yang ideal.           Fiona segera membaringkan tubuhnya di kasur. Sesekali ia meringis saat ia bergerak karena lukanya sangat sakit saat ia gerakkan. Malam ini Fiona tak bisa tidur akibat lukanya. Wanita itu baru bisa tidur saat jam telah menunjukkan pukul dua pagi. ****           Matahari mulai memancarkan cahayanya dan masuk ke celah-celah kamar Fiona. Wanita itu melenguh pelan saat cahaya matahari menganggu tidurnya. Padahan ia merasaha baru beberapa menit ia tidur. Ternyata sudah pagi.           Seskali ia mengucek kedua matanya dan merenggakkan kedua tangannya untuk melemaskan otot-otot tangannya. Saat kedua tangannya bergerak saat itulah ia memekik kesakitan. “Aisss ... sakit sekali ... lebih sakit dari kemarin ...” lirihnya prustasi.           Fiona pun mencoba turun dari kasurnya. Tapi kakinya terasa sangat sakit saat ia gerakkan. Jika seperti ini ia tak akan bisa pergi ke sekolah. Bukan pelajaran yang ia cemaskan tapi ia cemas tak bisa bertemu dengan Rian hari ini. Sungguh malang nasibnya.           “Tidak apa-apa. Kau bisa Fiona. Kau bisa menahannya,’ batin wanita itu mencoba menyemangati dirinya sendiri agar bergerak.           Ia sedikit tersenyum saat kedua kakinya mulai menyentuh lantai. Tapi saat ia berdiri rasa sakit yang ia rasakan berkali-kali lipat dari sakit kemarin. Fiona seketika terjatuh di lantai dan dua tangannya yang terluka membentur lantai dan membuatnya histeris.           “Mamaaaaa .... Papaaaaaa ... hsikkk .... hsikkk ....”           Mendengar jeritan Fiona, kedua orang tuanya segera berlarian naik ke lantai satu. Tak hanya orang tuanya beberapa pelayan pun berlarian masuk ke kamarnya.           “Ada apa, nak?” tanya sang ayah cemas.           “Hiskkk ... hiskk .... tibuhku sakit semua ... hiskkk ... aku tak bisa jalan ... hsiikk ....” Fiona pun menangis histeris saat melihat ibu dan ayahnya. Melihat anaknya menangis sang ibu segera memeluknya dan menengkannya.           “Cepat panggil dokter kemari!” pekik sang ayah cepat.           “Baik, Tuan.” Salah satu pelayan wanita segera keluar meninggalkan kamar Fiona untuk menghubungi dokter.           “Hiskk .... sakit sekali maaaa ... aku tak bisa jalan ... hiskkk ... aku tak akan bisa ke sekolah lagi ... hsikkk ...” Fiona masih meracau di pelukan ibunya.           Sang ibu yang mendengar kata sekolah dari mulut anaknnya membuatnya senang. Ia mengira jika anaknya sangat senang ke sekolah itu artinya sudah ada perubahan dari sikap anaknya. Anaknya mulai menyukai pelajaran padahal sejak kecil Fiona tak ingin sekolah.           Tak lama kemudian dokter yang mereka tunggu pun tiba. Dokter tersebut segera menangani luka Fiona. Orang tua Fiona dan beberapa pelayan menunggu di luar. “Dok, bagaimana keadaanku? Apakah lukaku sangat parah? Apakah aku akan mati ...hsik ... hiskk ...”           Sang dokter tersenyum dan ingin tertawa dengan perkataan Fiona yang menurutnya sangat lucu. “Kamu tidak akan mati. Lukamu tidak parah. Hanya tunggu beberapa hari lukamu akan sembuh.”           “Berapa hari, Dok.”           “Emmm. Mungkin satu minggu. Unt_”           “APA! SATU MUNGGU!” Pekik Fiona kaget. Satu minggu di rumah itu artinya ia tak bisa ke sekolah dan tak bisa bertemu dengan lelaki pujaannya.           “Iya, ada apa?”           “Bisakah dokter memberiku obat agar cepat sembuh? Besok aku ingin ke sekolah ...” lirih Fiona dengan wajah memelas.           Mendengar kata Sekolah membuat sang dokter tersenyum. “Ternyata kau suka belajar, yah. Kau pasti anak yang sangat pintar.” Fiona hanya bisa tersenyum-senyum malu saat dokter memujinya.           “Jika kau rajin makan obat. Lukamu pasti akan cepat sembuh. Jadi jangan malas makan obat yah.”           “Siap! Dok.” ****           “Bagaimana luka anakku, Dok?” tanya ibu Fiona pada sang dokter saat dokter tersebut keluar dari kamar anaknya.           Lelaki paruh baya berpakaian putih itu tersenyum. “Dia baik-baik saja. Tidak perlu cemas. Beberapa hari kemudian lukanya pasti sudah sembuh.”           “Emm. Baiklah ... terima kasih ...” sang ibu dan beberapa pelayan mengantar dokter tersebut keluar dari rumah. Kebetulan sang dokter adalah kenalan suaminya jadi wanita paruh baya itu sangat kenal dengan dokter tersebut.           “Ngomong-ngomong ... Fiona pasti anak yang pintar yah. Dalam kondisi seperti ini dia masih memikirkan pelajaran di sekolah. Rengkingnya pasti bagus.”           Sang ibu hanya bisa tersenyum-senyum canggung dengan pujuan sang dokter untuk anaknya. “He he he sebenarnya anakku tidak pintar. Dia rengking dua dari belakang ... he he eh.” Dokter tersebut pun tertawa.           “Tidak apa-apa. He he he ... bagaimana jika aku minta anakku untuk mengajarinya beberapa pelajaran? Kebetukan anakku sekolah di tempatnya juga.”           “Ohh. Benarkah? Itu sangat bagus ...”           “Emm. Aku akan meminta anakku untuk memerhatikan Fiona saat di sekolah nanti.”           “Em... terima kasih ...” TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD