Alin akhirnya menyanggupi permintaan Mamanya untuk tinggal semalam lagi. Berlama-lama di dekat Tirta membuatnya semakin sesak nafas. Sebisa mungkin, ia menekan perasaan untuk kebahagiaan Yola. Pagi ini, keduanya kembali ke Bogor bersama-sama. Sedangkan Tirta, ia melanjutkan pekerjaannya ke Surabaya dan kembali ke Jakarta segera.
“Hati-hati di jalan, jangan lupa bawain kami oleh-oleh.“ Yola menyempatkan diri mengantar Tirta ke bandara, ditemani oleh Alin, ia melepas kepergian pujaan hatinya.
“Tentu sayang, kamu juga hati-hati.“ Tirta berpamitan kepada Yola dan Alin. Dalam perjalanan kembali Bogor, Mama Yola akhirnya bisa menanyakan pendapat anaknya.
“Lin, gimana?“ Mama Yola memecah kesunyian perjalanan tersebut.
“Apanya yang gimana, Mama. Om Tirta baik, bukan hanya soal uang ya Ma. Sepertinya dia sayang banget sama Mama.“ Alin berpendapat jujur, walaupun jauh di lubuk hatinya ia sakit. Ingin rasanya ia memaki pria itu keras-keras.
“Jadi, kamu gak keberatan kalau Mama nikah sama Om Tirta?“ tanya Yola hati-hati.
“Nggak dong, memangnya kapan?“ Alin bertanya dengan nada antusias.
“Segera setelah Om Tirta balik dari Surabaya.“ Mama Yola menyandarkan tubuhnya. Ia memandang anaknya penuh harap.
“Ya gakpapa, kalau Mama yakin, Alin juga bahagia buat Mama,“ ucapnya sambil menahan sesak di d**a. Alin tidak menyangka kisah asmaranya semenyedihkan ini.
Yola mengelus rambut panjang Alin, untuk pertama kalinya Yola menitikkan air mata harunya mendengar ucapan Alin. Walaupun sering berbeda pendapat, Alin dan Mamanya saling menyayangi satu sama lain.
“Mama senang kalau kamu juga senang, Nak. Kita cuma berdua, kalau ada apa-apa kamu bilang sama Mama,“ ucapan Mama Yola sontak membuat Alin menitikkan air mata yang sudah ia tahan sejak kemarin.
“Udah dong, Ma. Alin lagi nyetir neh. Kalau nangis gimana atuh!“ Alin mengusap air mata dengan punggung tangannya.
“Oke, maafin Mama,“ jawab Yola sambil terkekeh. Ia melihat anaknya memanyunkan bibirnya protes.
Keduanya sampai di rumah dan langsung membersihkan diri. Alin dan mamanya sepakat akan makan siang di rumah karena sudah kangen dengan masakan Bik Yem.
“Segeran, Bu. Neng Alin belum turun kayaknya.“ Bik Yem memberitahu majikannya karena celingukan mencari anaknya.
“Iya, masakan kamu selalu bikin kami kangen, Bik.“ Yola menggeser kursi makan dan duduk di kursi makan sambil menunggu anaknya.
“Ma, Alin ada kerjaan ke Jakarta. Malam ini jalan sama Nina.“ Alin datang menemui Mama Yola di meja makan.
“Harus malam ini juga ya, Nak?“ Mama Yola seakan enggan ditinggal anaknya.
“Iya Ma, cuma sebentar. Dua hari juga Alin balik.“ Alin duduk berhadapan dengan Yola dan mulai menyendokkan nasi ke piringnya.
“Dijemput sama Nina?“ Mama Yola terlihat khawatir. Ia memastikan anaknya tidak berangkat sendirian.
“Iya, kan kerjaannya juga dari dia, Mama!“ seru Alin.
“Ya udah, kamu jangan telat makan. Jangan begadang terus, nanti keriput.“ Yola memberikan sederet nasehat untuk anak semata wayangnya.
“Iya, Mama juga jaga kesehatan. Katanya mau cucu dari Alin,“ ledeknya.
“Kamu ini, udah makan dulu.“ Mama Yola menambahkan ikan di piring anaknya.
“Makasih, Ma.“ Alin memang menyukai masakan rumahan. Kegiatan inilah yang menyatukan perbedaan antara dirinya dan Yola jika terlibat suatu perdebatan.
“Habisin, kamu mau dibawain apa, biar disiapkan,“ kata Yola sambil menikmati makan siangnya.
“Sambal matahnya Bik Yem aja, Ma. Tadi udah kasih tahu Bik Yem kok,“ jawab Alin.
“Ya udah, habis ini istirahat.“ Mama Yola menyelesaikan makan siangnya. Ia meneguk air putih setelah selesai dengan suapan terakhirnya.
“Siap, Ma!“ Alin memberi hormat layaknya orang sedang upacara bendera. Mereka tertawa bersama menikmati kebersamaan ini.
***
“Hati-hati lho, Na. Gak ada ngebut-ngebut ya!“ Yola membantu Alin memasukkan bekalnya ke dalam mobil Nina.
“Tenang Tante, yang bawa sopir ini bukan Nina atau Alin,“ jawan Nina sambil terkikik. Ia hafal betul kebiasaan Mama Yola jika anaknya akan pergi keluar kota.
“Kamu, sama aja kayak Alin!“ sungut Mama Yola.
“Ya udah, Ma. Alin jalan dulu.“ Alin mencium punggung tangan Yola berpamitan. Nina pun melakukan hal yang sama dengan Alin.
“Oke, hati-hati.“ Yola melambaikan tangan melepas kepergian anaknya.
Sementara itu, di dalam mobilnya Nina mulai melihat perubahan suasana hati Alin.
“Mau nangis gakpapa, Lin. Udah gak ada Tante Yola.“ Nina mengelus punggung Alin untuk menguatkan.
“Baru juga gue suka sama cowok, ternyata gue salah orang, Nin.“ Alin tak kuasa menahan kesedihannya.
“Lo belum bilang kan sama Om itu?” tanya Nina tak mengerti harus berbuat apa.
“Belum, kan gue baru beberapa kali ketemu dan makan malam sama dia, itupun karena pekerjaan,” kata Alin sambil mengusap pipinya yang basah.
“Terus Lo gimana, gue gak bisa bantu apa gitu,” kata Nina mengelus punggungnya untuk menenangkan.
“Gue salah, gak seharusnya cinta mati sama laki yang lebih pantas jadi bokap gue,” ucap Alin sedih mengingat Tirta yang terlihat bahagia bersama mamanya.
“Gak salah, Lin. Cuma waktunya saja yang gak tepat, Tante Yola dan Om itu juga gak tahu. Kalian sama gak tahu,” kata Nina memberikan Alin pengertian.
Keduanya sudah sampai di sebuah apartemen di daerah Tanjung Duren, tempat biasa Alin menginap bersama dengan Nina jika sedang ada pekerjaan di Jakarta.
“Lin, mau minuman dingin tidak? Gue mau ke bawah sebentar,” kata Nina sedikit berteriak karena Alin berada di dalam kamar mandi.
“Boleh, apa aja,” jawab Alin sambil berteriak diantara gemericik air shower. Alin menghabiskan waktunya di dalam kamar mandi untuk merenung, meratapi nasib percintaannya yang kurang beruntung.
Sekembalinya Nina, Alin baru saja selesai berganti pakaian, keduanya berbincang di sofa sudut ruangan apartemen dua kamar yang dibeli Nina dari hasilnya bekerja.
“Terus, rencana Lo apa sekarang?” tanya Nina kepada Alin.
“Kerja, gue butuh pelampiasan dengan bekerja. Lo kasih kerjaan gue apa aja untuk sementara agar tidak ketemu Mama dan Om Tirta sampai hari pernikahan mereka,” ucap Alin mengambil keputusan.
“Oke, nanti gue coba tanya ke kantor. Serius Lo, kalau di luar kota gimana? Apa Tante Yola bakal kasih izin?” tanya Nina tidak yakin.
“Ya itu urusan nanti, yang penting kerjaan ada dulu, anggap aja gue lagi pengen beli Outlander, kan masih masuk akal.” Alin mendapatkan ide cukup cemerlang setelah beberapa waktu berpikir.
“Oke, kalau ke Bali atau Surabaya kurasa Tante Yola masih kasih ijin, kayaknya ada event neh,” ucap Nina memberi angin segar bagi Alinka.
Patah hati yang dirasakan Alin kali ini memang bukanlah pertama kalinya, namun entah mengapa sakitnya membuat gadis itu kalang kabut menghindari pertemuan dengan Tirta untuk sementara waktu.
“Cinta memang membingungkan, disaat aku tidak menginginkan, dia datang, Disaat aku mendamba, dia patahkan,” ucap Alin sambil memandang langit Jakarta malam itu.