Asal Mama Bahagia

1470 Words
Alin sedang berada di kamarnya, pesan singkat terakhir dengan Mama Yola yang memintanya datang ke Bandung membuatnya resah. “Sepertinya gue gak bisa egois lagi, Mama butuh teman dan tempat bersandar,“ gumam Alin dalam hati. Ia sedang mengemas beberapa pakaiannya untuk berangkat esok hari. Sebuah koper berukuran kabin ia pakai untuk mengepak barang-barangnya. Setelah pesta ulang tahunnya seminggu yang lalu, Mama Yola akhirnya terang-terangan meminta izin untuk mengenalkan pria pujaan hatinya. Alin pun tidak keberatan dengan keinginan Mamanya. Ia menutup koper miliknya dan segera membersihkan diri. “Gue pengen Mama bahagia dengan hidupnya, kelak kalau gue nikah Mama gak akan sendirian,“ gumam Alin lagi. Ia sedang menyelesaikan ritual mandinya. Menggunakan handuk kimono nya, ia keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. Karena tidak ingin makan malam sendirian, Alin meminta sahabatnya untuk datang ke rumah. Nina, adalah sahabatnya sejak kecil, mereka selalu bersama dalam suka dan duka. “Eh, gue pikir belum datang, Lo!“ seru Alin yang baru saja menuruni anak tangga menuju ke ruang makan. “Gue udah dari tadi, Lo yang mandi kelamaan. Mandi apa tidur Lo di bathtub?“ ledek Nina kepadanya. “Aisshh, nanti aja ngomel nya, gue laper,“ jawab Alin. Ia menarik kursi makan dan duduk di depan Nina. “Gaya Lo, gimana itu si Om?“ tanya Nina kepada Alin yang beberapa waktu terakhir sering menceritakan pria yang tengah dekat dengannya. “Ada acara, gue gak mau ganggu, ntar dikira gue pengangguran!“ seru Alin sambil menyendokkan nasi di piringnya. “Lo udah yakin kasih ijin Tante Yola nikah lagi? Lo dah kenal orangnya?“ pertanyaan Nina memang bernada khawatir, ia dan keluarganya cukup tahu perjuangan Yola dan Alin bertahan hidup. “Gue gak mau Mama menua sendirian, Nin. Gak adil buat Mama, sementara gue seneng-seneng sama laki gue, Mama gak ada teman.“ Alin mengambil mangkok sambal matah yang dibuatkan khusus oleh asisten rumah tangganya. “Bisa bijak juga, Lo!“ ledek Nina yang sudah hafal betul kebiasaan Alin. “Yang penting Mama bahagia, itu aja sih,“ ucapnya berbinar. Masih membekas dalam ingatannya bagaimana ekspresi wajah Yola yang menceritakan teman dekatnya. *** Keesokan harinya, Alin yang sudah selesai mandi, kini tengah bersiap. Sesuai permintaan sang Mama, Alin membawa jaket agar tidak kedinginan. Memakai atasan hoody berwarna hijau lumut, Alin dibantu Bik Yem memasukkan koper mini nya ke dalam bagasi mobil. “Air mineral disini Non, kalau haus tinggal ambil. Disini cemilannya,“ kata Bik Yem memberitahu. “Iya Bik, Alin tahu kok, hati-hati jaga rumah. Saya jalan dulu,“ jawab Alin kepada wanita yang sudah dianggapnya ibu kedua. “Baik Non, hati-hati juga.“ Bik Yem melambaikan tangannya sampai mobil Alin menjauh dari jalanan. Alin berangkat ke Bandung pagi sekali, ia ingin menikmati udara segar kota Bandung sekaligus menghindari macet di tol dalam kota tentunya. Mobil Honda Jazz warna kuning meluncur membelah jalanan. Alin sengaja menyetel lagu-lagu romantis sebagai teman dalam perjalanannya. Memasuki daerah hotel yang di sebut Mama Yola, Alin menepikan mobilnya untuk menghubungi Mamanya. “Mah, Alin dah dekat. Mama dimana?“ tanya Alin melalui sambungan telepon. “Mama sedang sarapan sayang, kamu langsung masuk aja ke restoran,“ jawab Mama Yola kepada anaknya. “Oke, Alin jalan dulu,“ jawabnya sebelum mengakhiri sambungan teleponnya dengan Mama Yola. Alin sudah menemukan hotel yang dimaksud Mamanya, ia segera memarkirkan mobilnya. Sebuah hotel berbintang di daerah Dago memang layak dijadikan tempat untuk liburan sejenak. Gadis itu terlihat sedang memasuki restoran yang Yola bicarakan di telepon. Kini gadis cantik itu sudah berada di ujung pintu masuk, lalu pandangannya pun mulai dapat melihat sosok ibunya tengah berbincang dengan seorang pria tampan yang dari usianya tampak seumuran. "Jadi itu pilihan Mama. Lumayan tampan juga ya." Tanpa membuang waktu, Alin melangkah cepat. Menghampiri sang ibu dengan wajahnya yang sumringah. “Hai sayang, ayo sarapan bareng, sini,” sapa Yola berbinar melihat kedatangan anaknya. “Mama tahu aja kalau Alin lapar,” jawab gadis itu langsung duduk di sebelahnya. “Astaga, kamu nekat juga dari Bogor kesini sendirian. Gak ngajak Nina pula,“ omelan Yola hanya mendapatkan sebuah tawa dari Alin. Ia tahu, bagaimana ribetnya Yola ketika tahu Alin membawa mobil sendirian. “Ma, Alin cuma mau ke Bandung, tidak ke kutub utara kalle!“ Alin menggoda Yola dengan mentoel pipinya. “Dasar anak nakal!“ Yola menjewer telinga Alin. Karena keasyikan saling melepas rindu, keduanya tidak menyadari jika ada rekannya duduk diantara mereka. “Ehem…“ Rekan Yola menyadarkan mereka. membuat keduanya saling melempar pandangan. “Oke, karena Alin sudah datang, gue balik dulu,” pamit pria itu kepada Yola. “Astaga, sorry Mas. Kami memang selalu seperti ini jika beberapa waktu tidak bertemu.“ Yola yang merasa tak enak hati akhirnya meminta maaf. “Makasih Om, udah nemenin Mama,” ucap Alin kepada rekan Yola sambil memperkenalkan dirinya. “Sama-sama, have fun yah. Bye,” jawab pria itu meninggalkan Alin dan Yola di restoran tersebut setelah berpamitan. “Cie, Mama.. Ganteng tuh, Alin setuju,” jawabnya sambil meledek Yola. “Hust, bukan dia, sebentar lagi datang. Tadi harus ketemu orang dulu,” sahut Yola sambil menepuk pundak anaknya karena malu. “Kirain, Ma.” Alin diminta Yola untuk sarapan terlebih dahulu sambil menunggu kedatangan Tirta. “Ma, Alin ke toilet dulu yah.” Gadis itu berpamitan kepada Yola. “Ya udah, jangan lama-lama.” Yola memintanya bergegas karena waktu Tirta tidak banyak untuk menemui mereka. Tak lama kemudian, seorang pria diikuti oleh asistennya masuk ke restoran tersebut, dengan langkahnya yang gagah, ia menghampiri Yola dan langsung mendaratkan kecupan di pipinya. “Belum datang?” Tirta menanyakan anak gadis Yola yang akan dikenalkan kepadanya. “Lagi ke toilet, bentar lagi juga muncul,” jawab Yola lembut. Tirta duduk di sebelahnya sambil menikmati kopi hitamnya tadi, ia membicarakan persiapan pernikahannya dengan Yola. Ada beberapa hal yang diminta pria itu darinya yang membuat Yola malu. “Harus pake pesta-pesta begitu yah, malu Mas. Udah tua juga,” jawab Yola ketika Tirta mengungkapkan keinginannya tentang resepsi pernikahan keduanya. “Ya gakpapa, sah aja kok. Gak perlu malu,” ucap Tirta menenangkan calon istrinya. Di saat keduanya sedang asyik berbincang, Alin yang baru akan masuk ke restoran tersebut terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. “Astaga, gak mungkin! Tuhan, apa Kau sedang mengajakku bercanda!“ Alin merasa harus menenangkan diri sebelum bertemu dengan Mamanya. Sebelumnya, ia memperhatikan sekali lagi pria yang sedang bersama Yola dan untuk sekarang, Alin benar-benar yakin bahwa pria itu adalah om Tirta. Pria yang menjadi idamannya, semua kriteria pria yang ia idamkan ada pada diri seorang Tirta. Alin memutuskan kembali ke toilet tak jauh dari restoran tersebut. Ia mengatur nafasnya agar terdengar tetap normal. Ia sedang berpikir, bagaimana caranya menghadapi situasi segenting ini. “Berpikir Alin, ayo berpikir, cari solusi sekarang!“ teriak Alin dalam hati, beberapa pengunjung di toilet wanita itu sempat memperhatikan Alin namun ia cuek. Merapikan riasan wajah dan menyisir rambutnya yang berantakan, Alin memperhatikan sekali lagi penampilannya agar terlihat normal di depan Mama Yola. Alin memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepada Tirta agar seolah tidak mengenal dirinya, hal ini ia lakukan untuk menjaga perasaan Yola, sang Mama. “Kamu serius?” Tirta menjawab pesan singkatnya. Andai Alin tahu, Tirta juga sama terkejutnya dengan Alin. Tidak mungkin juga Tirta menjalin hubungan dengan ibu dan anaknya sekaligus. “Serius dan tolong jangan sampai gagal!” Alin mengancam Tirta agar bersikap senatural mungkin di depan Yola. “Oke, aku mengerti.“ Tirta menjawab pesan singkat Alin lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku. Alin menghampiri Yola setelah dirasa semua sudah kembali normal. Walaupun untuk sementara, setidaknya menutupi perasaannya saat ini. “Oiya, ini Alinka. Anakku yang sudah sering aku ceritakan.“ Yola menyenggol lengan anaknya agar menyalami Tirta. “Alinka Hermawan, Om.“ Alin menjabat tangan Tirta senatural mungkin. “Tirta. Hhmm, sebaiknya kita sarapan dulu. Kamu juga pasti belum makan, bukan?“ Ia tidak mau ada rasa canggung dan lainnya mendominasi pertemuan pertamanya dengan Alin sebagai calon anak tirinya. Ia memanggil salah satu pelayan restoran untuk mencatat pesanan Alin. “Boleh, Om.“ Alin membuka buku menu yang tergeletak di meja. “Lin, kamu nginep yah. Temani Mama jalan, Om Tirta kan nanti ada meeting sama klien.“ Mama Yola merajuk. Biasanya Alin memang agak sulit menemani Yola ketika sedang bekerja. “Maunya pulang Ma, kan Mama ada Om Tirta,“ Alin menolak permintaan Mamanya. “Sesekali gak masalah, Lin. Kasian lho Mamanya. Nanti Om kasih free akses no limit buat kamu sama Yola, gimana?“ Tirta memberi tawaran yang menggiurkan bagi Alin. Seketika wajahnya berbinar menatap ibunya. “Apaan lihat-lihat mama! Kamu kalau sudah dengar belanja pasti ijo matanya!“ ledek Mama Yola. “Kan kayak Mama,“ jawab Alin sambil terkekeh. Setelah sarapan, Alin dan Yola mengunjungi salah satu mall ternama di kota Bandung. Sedangkan Tirta, ia menyelesaikan meetingnya dengan salah satu pejabat daerah di wilayah tersebut untuk suatu projects pemerintah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD