Kirana dibawa ke ruang rawat karena dokter menyatakan kalau gadis itu kekurangan cairan. Kirana benar syok saat tahu kalau ayah yang dirinya ingin temui ternyata sudah berpulang bertahun-tahun yang lalu. Sedikit banyak, Kirana yang pernah berpikir negative tentang ayahnya sendiri menyesal bukan main.
Memang benar terkadang dia kesal karena ayahnya itu tidak pulang-pulang. Kirana rindu, dia ingin bertemu. Terkadang, ada dalam pikirannya kalau beliau akan pulang, lalu dia akan memperkenalkan bahwa ini lhoh ayahnya. Namun, Kirana seakan ditampar kenyataan ketika ayahnya tidak pernah pulang seperti yang dirinya harapkan. Dan sekarang, malah kenyataan pahit yang begitu menguncang jiwanya. Kirana merasa kalau dirinya tidak akan pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Meskipun selama ini Kirana tidak memiliki figure ayah, tapi Bu Ghina menunjukkan ayah itu yang seperti apa pada Kirana sehingga Kirana tahu dan menjadikan sang ayah menjadi idolanya dan tentu saja menjadi cinta pertamanya.
Katanya, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, maka di sisi Kirana memang seperti itu yang terjadi. Dia menjadikan ayah sebagai cinnta pertamanya sehingga Kirana tidak perlu mencari cinta pertama dari sosok yang lain. Dan ibunya berhasil mendidik untuk itu. Ternyata selama ini, Kirana anak yatim. Dia sudah ditinggal ayahnya saat masih sangat kecil.
Umur dua tahun, anak seumur itu bisa apa selain bermain? Kirana tidak pernah membayangkan kalau dirinya adalah anak yatim. Kirana selalu berpikir, kalau ayahnya berada di suatu tempat dan suatu hari nanti mereka akan dipertemukan. Bukan seperti ini.
“Na, sabar, Nak. Ndak boleh sedih berlarut-larut.”
Kirana tersenyum mendengar perkataan ibunya. Bu Ghina memang kuat, Kirana akui itu. Namun, Kirana juga harus mengakui kalau dirinya tidak sekuat ibunya. Dia ingin menangis lagi sekarang. Rasanya, hidupnya menyedihkan sekali. Kalau kata orang, Kirana ini tidak pantas untuk bahagia sama sekali.
“Kenapa ya Buk, aku cuma diizinkan lihat foto Bapak, ndak orangnya langsung?”
Bu Ghina mencelos mendengar putrinya bekata seperti itu. “Sabar, Nak. Sudah takdir Allah. Kamu harus ikhlas, kamu harus lapang d**a. Insya Allah semua yang terjadi memang untuk kebaikan. Gusti Allah mboten sare, Nduk. Allah ndak akan kasih kita cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya.”
Kirana memejamkan matanya dengan menyebut asma Allah berulang kali. Tanpa sadar, Kirana sudah melupakan keimanannya kepada takdir yang Allah tetapkan bahkan jauh dia dilahirkan di bumi ini menjadi seorang anak dari pasangan suami istri yang saling mencintai.
“Kamu harus tahu, Bapak itu sayang sama kamu. Bapak pergi ke kota kan demi membiayai kehidupan kita, buat cari nafkah. Mugi-mugi Bapak husnul khotimah, Na. Doakan Bapak setiap saat, jangan lupa. Kalau dalam suatu keadaan kamu sempit, jangan jadikan alasan untuk ndak bersedekah kepada yang membutuhkan. Ingat pesan ibuk ya, Nduk. Kita hidup di bumi cuma numpang buminya Allah. Kita hidup cuma sementara, ndak boleh sombong ya ndak boleh putus asa. Nanti bareng-bareng ziarah ke makam Bapak, ya. Wes, ndak papa kalau kamu mau nangis. Ini ada pundak ibuk, buat tumpuan.”
Padahal, Kirana sudah berniat untuk tidka menangis. Namun mendengar nasihat ibunya, dia langsung merengkuh tubuh ibunya dengan satu tangannya yang sehat dan menangis sejadi-jadinya setelah tadi hanya mampu menangis tertahan karena tidak ingin dianggap lemah orang-orang. Kirana tidak ingin dikasihani oleh orang lain.
Kirana yakin, kalau ibunya sedang sendirian, Bu Ghina pasti menangis sejadi-jadinya. Kirana juga tahu kalau ibunya ini memiliki banyak topeng. Topeng untuk menyembunyikan kesedihan di depan dirinya agar Kirana tidak sedih. Namun, semua pertahanan ibunya membuat Kirana kuat dan rapuh secara bersamaan.
Keluarga Pak Damar yang menunggu di luar hanya bisa diam, terutama Bu Tari yang merasa menyesal karena tanpa sadar juga sudah memaksa Damar untuk melamar Anggi meskipun keputusan bukan atas dasar paksaan apapun. Suaminya yang tak lain adalah Pak Ronggo benar kalau beliau masih memikirkan janjinya dengan sahabat lamanya yang telah mendahuluinya lebih dulu.
Seandainya saja mereka tahu lebih cepat, mungkin Kirana dan Pak Damar yang akan menikah, bukan Pak Damar dengan Anggi. Namun apapun yang terjadi sekarang sudah terjadi dan pasti memang demi kebaikan.
Semua orang juga tidak bisa menyalahkan semua yang telah terjadi. Semuanya ikut andil dan tidak bisa saling menyalahkan. Dan keputusan yang paling benar adalah menjalani apa yang memang harus dijalani. Karena pada kenyataannya, pada dasarnya, manusia bisa berencana tapi kembali lagi Allah yang menentukan.
Kalau Kirana dan Pak Damar memang berjodoh, mau seperti apapun dipisahkan, pasti akan dipersatukan juga. Namun, apabila Kirana dan Pak Damar tidak berjodoh, mau dipaksakan bagaimanapun caranya, mereka tidak akan bisa hidup bersama.
Silvi yang memeluk mamanya ikut menangis melihat mamanya menangis. Padahal, Silvi sudah berusaha ikhlas kalau Kirana tidak menjadi kakak iparnya. Namun tahu kenyataan ini, rasa ingin menjadikan Kirana sebagai iparnya kembali berkecamuk. Silvi sudah menganggap Kirana sebagai kakak perempuannya sendiri.
“Pantas saja Mbak Kirana baik banget ya Ma, dia dibesarkan oleh Ibu yang hebat dan kedua orang taunya hebat pula. Aku nggak bisa bayangin kalau ada di posisi Mbak Kirana sekarang, pasti hancur. Puluhan tahun nggak pernah ketemu dan sekali ketemu cuma foto dan kabar kalau ayahnya udah nggak ada.”
Bu Tari menguatkan dekapannya pada sang putri bungsu. Bu Tari membayangkan juga miris sendiri. “Doain mereka, ya. Bagaimanapun, kita semua saudara.”
Silvi langsung menarik tubuhnya agak menjauh dan menatap ibunya. “Kalau aku mau Mbak Kirana aja yang jadi kakak ipar aku boleh nggak sih, Ma?”
Pak Damar yang sudah terbiasa dengan pemikiran Silvi tidak terlalu berekspektasi banyak pada adiknya itu. Hanya saja, kenapa harus di depan orang tuanya. Pak Damar hanya ingin menjaga hati semua orang agar mereka tidak ada yang tersakiti. Biarkanlah pengorbanannya dengan Kirana menjadi saksi bahwasannya, cinta memang tak selamanya berakhir bahagia.
Dari semua orang yang bisa dibilang penting dalam hubungan ini, hanya Pak Ronggo yang tidak tahu kalau putranya yang melamar anak orang ternyata mencintai anak orang lain yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Kalau saja beliau tahu sedari awal, beliau pasti melarang keras keputusan Pak Damar dengan Anggi.
Ini bukan masalah pasangannya kekurangan atau apapun itu, bukan. Namun ini juga masalah janji. Janji yang sampai dibawa Pak Fajar sampai mati dan Pak Ronggo merasa bersalah sekali tidak bisa memenuhi janjinya. Apalagi melihat keadaan keluarga Pak Pajar yang sesungguhnya mencelos hatinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Sekadar menenagkan pun tidak bisa. Dan sekarang pun ingin menunjuk Damar untuk memikul tanggungjawab, anak sulungnya itu sudah mengambil tanggungjawab pada anak orang lain.
Memang batul kalau baru lamaran dan lamaran ini pun masih rahasia, baru sanak saudara terdekat yang tahu. Maksudnya baru masing-masing pihak keluarga yang tinggal satu rumah, tidak sampai yang keluar rumah. Namun, mereka juga harus menjaga perasaan Anggi dan keluarganya. Apalagi kondisi Anggi sedang sakit seperti ini. Dikhawatirkan, keputusan sepihak dari Pak Ronggo yang lebih memilih keluarga Kirana malah menghancurkan hubungan Bu Ghina dan ibunya Anggi yang semula memang sudah seperti saudara sendiri.
"Nggak bisa ya, Ma?" lagi-lagi Silvi mempertanyakan yang membuat Bu Tari dan Pak Ronggo kian sedih.
"Calon istri mas, itu urusan mas, Vi. Kamu tidak usah ikut campur." Kata Pak Damar emosi sendiri karena merasa kalau perasaannya dipermainkan oleh semua orang. Dan memang benar, Pak Damar seolah-olah menjadi korban semua orang.
"Tapi Mbak Kirana yang Mas Damar cintai, bukan Mbak Anggi. Kenapa Mas menyiksa sendiri? Bukankah menikah itu ibadah seumur hidup? Mas mau membohongi Mbak Anggi seumur hidup? Itu juga akan menyakitinya dan membuat Mbak Anggi sakit, Mas."
Pak Ronggo yang baru mendengar kenyataan ini menatap putranya tidak percaya. Beliau hampiri Pak Damar, lantas dia pegang pundaknya. "Apa itu benar, Dam? Benar yang dikatakan adek kamu kalau kamu menaruh hati pada Kirana, anak dari Pak Lek Pajar." Pak Ronggo menyebutnya, begitupun Pak Damar.
Jelas Pak Damar tidak mau menjawab. Untuk apa Pak Damar menjawab sesuatu yang sia-sia. Memannya kenapa kalau dia mencintai Kirana, toh Anggi sudah diirnya lamar.
"Kalau iya kenapa, Pa?"
Seperti orang menahan tangis, Pak Ronggo mengatakan pada putra sulungnya itu. "Asal kamu tahu, Na. Papa ingin mempertemukan kamu dengan anaknya Pak Lek Pajar dan ingin kamu yang mengambil tanggungjawab atasnya dengan menikahinya."
Pak Damar sama menatap papanya menahan ledakan emosi. "Asal Papa tahu juga, aku dan Kirana sudah memutuskan ini. Dan apapun yang terjadi tidak akan mengubah keputusan kita. Jadi tolong jangan pernah membahas tentang hal ini lagi. Tolong tutup rapat-rapat. Tolong hargai Anggi yang akan menjadi istriku, Pa."
Bukan sebuah tamparan, Pak Damar langsung dihadiahi pelukan oleh sang Papa. "Mulai sekali hati kalian, Nak. Semoga Allah melindungi kalian. Papa dan Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik."
Ada keluh yang ingin Pak Damar bagi, Hanya saja, mendengar hal menenangkan ini saja dari papanya, Pak Damar sudah merasa damai sekali. Karena itu Pak Damar balas pelukannya dan membalas perkataan papanya dengan terima kasih yang tidak terbatas.
"Terima kasih banyak, Pa. Doakan kami."