56. Ada-ada Saja

1303 Words
Karena semua sudah jelas sekarang, maka tibalah hari dimana Kirana diharuskan untuk melakukan prosedur operasi. Gadis itu sudah puasa sejak beberapa jam yang lalu, dan Bu Ghina tak ada habisnya bertanya mengenai Anggi yang tidak pernah terlihat olehnya sejak beliau dijemput untuk menemui Kirana sehari yang lalu. Bu Ghina pikir, sebagai teman dan sudah bersahabat sejak kecil, memberi tahu hal seperti ini bisa dibilang suatu keharusan. Takutnya, kalau Kirana tidak memberitahu Anggi tentang musibah yang menimpanya, Anggi akan kecewa dan marah karena merasa tidak dibutuhkan. Namun di sisi lain, memberi tahu Anggi di saat-saat seperti ini juga justru membuat gadis itu akan semakin marah karena Kirana berhubungan lagi dengan Pak Damar. Apa iya Kirana berdoa saja agar Anggi yang tertabrak sehingga Pak Damar bisa tanggungjawab atas dirinya? Oh ayolah, memikirkan itu semua rasanya drama sekali. Masak hanya demi seorang lelaki harus melakukan hal yang merugikan diri sendiri seperti itu. Tidak, itu tidak perlu. Kalau saja boleh memilih, Kirana pasti tidak ingin jatuh sampai tangannya patah seperti ini. Mana ada orang yang mau sakit? Mana nyut-nyutan yang dirasakan Kirana sedari tadi kembali menyeruak melingkupi persyarafan tangannya. Seumur-umur, baru sekarang Kirana merasakan patah tulang. Yang Kirana khawatirkan, tangannya tidak bisa digunakan untuk bekerja berat setelah ini. Kalau seperti itu, ya Kirana cuma bisa pasrah mencari tempat pekerjaan nantinya. Memang yang namanya menjaga diri adalah suatu keharusan. Karena kesalahan seperti kemarin, efeknya bisa jangka panjang. Belum tentu tiga bulan ke depan Kirana sudah pulih benar. Dia yang awalnya bekerja—dan tentu saja menggunakan kedua tangannya pasti sekarang tidak bisa sebebas dulu ketika tangannya masih baik-baik saja. Namun apapun itu, Kirana mensyukurinya. Masih juga patah jari dan tangan, kalau lebih dari itul, Kirana tidak bisa membayangkannya. Kehadiran Bu Ghina yang menjadi penyemangat Kirana membuat gadis itu tidak ketakutan lagi. Dia mungkin memang tidak memiliki ayah—juga mungkin saja sudah kehilangan sahabatnya hanya karena kesalahpahaman. Namun, semua orang tahu kalau Kirana memiliki ibunya. Ya, Kirana sadar kalau apapun yang dimilikinya sekarang adalah titipan Tuhan, termasuk ibunya sekalipun. Bu Ghina adalah miliki Tuhan. Karena itu, tak ada hentinya Kirana mendoakan beliau agar umurnya berkah dan diselamatkan dunia dan akhirat. Orang-orang harus tahu, suatu hari nanti, mereka juga akan mati, dan tidak ada yang bisa menolong kecuali amal kebaikannya sendiri—rahmat Allah yang begitu besar kepada umatnya. Ketika seseorang meninggal pada usia 75 tahun dan selalu beramal soleh sehingga masuk surge, bukan amalnya yang menyebabkan semua itu, melainkan ramhat Allah. Coba pahami, ketika umut manusia hanya sampai berumur 60 sampai 80 tahun katakanlah, tapi dia masuk surga. Apakah manusia itu masuk surga hanya selama dia beramal kebaikan yang terhitung misalnya 75 tahun itu? Tentu saja. Nanti, orang akan kekal di surge dan itu semua karena ramhat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sungguh merugi orang-orang yang melalaikan akhirat hanya demi mengejar dunia—yang semakin dikejar, semakin menjauh saja layaknya manusia dengan bayangannya sendiri yang selalu berkejar-kejaran. “Tenang, Na. Ibuk di sini, nanti cuma sebentar kok. Ndak sakit, kan dibius.” Bu Ghina menenangkan saat melihat mata Kirana yang menyembunyikan kekhawatiran dan ketakutannya dalam diam. “Tanganku bisa dibuat kerja normal lagi kan, Buk?” “Ya bisa to, Nduk. Tentu saja bisa. Memangnya kenapa ndak bisa? Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Kirana memejamkan matanya dalam-dalam. Belum dioperasi saja dia sudah tegang. Semoga saja nanti operasinya berjalan lancar dan Kirana bisa segera pulih seperti semula. Sampai waktunya tiba, Kirana dibawa ke ruang operasi. Dia sudah menjalani proses bius. Sementara Bu Ghina, Pak Damar dan Silvi yang menunggui tentu saja menunggu di luar dengan doa yang senantiasa menyertai Kirana. Walaupun operasinya biasa dipandang remeh, tapi tidak boleh mengabaikan rasa sakit yang kecil. Karena rasa sakit yang kecil itulah, maka bisa saja terasa rasa sakit lebih dahsyat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Lebih baik mencegah daripada mengatasi. Bu Ghina percaya kalau Kirana dalam lindungan Allah. Karena itu dia berupaya untuk tetap tenang. Kirana sudah diatasi oleh orang dibidangnya. Bu Ghina percayakan putrinya pada Allah karena pada hakikatnya, Kirana hanyalah titipan, Allah lah pemilik seluruh alam semesta dan seisinya. Karena itu ada yang mengatakan bahwa cintailah seseorang sewajarnya saja. Sampai entah bagaimana, Pak Damar mendapat telfon dari mamanya. Karena itu dia pamit menjauh sebentar untuk mengangkat panggilan mamanya. “Buk, saya permisi dulu, mau mengangkat telfon.” “Oh iya, silakan Pak,” Bu Ghina mempersilakan. Sementara Silvi tidak begitu tertarik. Dia lebih suka menunggu lampu merah yang ada di atas ruangan operasi itu berganti hijau dan Kirana didorong dari dalam sana dalam keadaan baik-baik saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Sementara di sisi lain, Pak Damar yang sudah mendapati tempat yang sunyi—jauh dari keramain, beliau megangkat telfonnya. Salam pertama kali tak pernah dirinya lupakan. “Assalamu’alaikum, Ma? Iya, ada apa?” “Wa’alaikumsalam, Mas. Ini.” Terdengar suara Bu Tari agak putus-putus yang membuat Pak Damar menyerngit khawatir kalau mamanya itu kenapa-kenapa. “Kenapa, Ma? Asmanya kambuh?” tanya Pak Damar berupaya menahan panikannya agar orang di seberang sana pun tidak ikut panik sepertinya yang sudah merasa tidak enak hati. “Itu, si Anggi masuk rumah sakit, Mas. Mama diminta tolong sama mamanya Anggi untuk menjaga putrinya, tapi napas mama berat, khawatir kalau di sana, mama malah kambuh, nggak bisa jaga Anggi.” Pak Damar sudah menyerngit bingung sejak nama Anggi disebutkan. “Memangnya Anggi kenapa, Ma?” “Mimisan terus dari semalam, pusing, lemes badannya. Mama tadi sudah jenguk, tapi ini mama baru pulang. Dia sendirian ditunggui sama perawat.” Ada helaan napas berat yang membuat Pak Damar memejamkan matanya dalam-dalam. ‘Apa lagi ini?’ batinnya bertanya-tanya. “Di rumah sakit mana, Ma?” tanya Pak Damar agak berat hati. “Medika Cita. Tolong ke sana ya, Mas. Temani dulu sampai orang tuanya datang. Mereka sedang perjalanan ke sana.” “Iya.” Jawab Pak Damar singkat. “Mama tenang saja, istirahat.” “Oh iya, keadaan Kirana bagaimana?” tanya Bu Tari terdengat khawatir. “Masih di ruang operasi, Ma.” “Kamu tolong tungguin Anggi dulu ya, Mas. Biar Adek yang jaga Kirana. Kasihan Anggi sendirian. Mama nggak tega, daritadi mimisan terus nggak berhenti-henti. Tadi sudah dicek segala macam, takutnya ada penyakit serius.” “Iya Ma, aku ke sana sekarang, Ini kan rumah sakitnya sama, nanti aku tanya resepsionis. Sudah, Mama istirahat saja.” “Makasih banyak ya, Mas. Maaf merepotkan.” Pak Damar menggeleng meskipun Bu Tari tidak akan pernah tahu. “Tidak merepotkan, Ma. Mama istirahat.” Pesan Pak Damar lagi. Usai sambungan telfon itu berakhir, Pak Damar mengusap wajahnya frustasi. Dia berulang kali membuang napas berat. Begitu merasa lebih baik, dia baru kembali ke depan ruang operasi untuk izin pada Bu Ghina, juga pada Silvi yang masih setia berjaga di sana, menungui Kirana keluar dan mendengarkan perkataan dokter tentang keadaan Kirana. "Buk maaf, saya izin pamit dulu." Kata Pak Damar tidak enak hati. Belum juga sempat menjawab, Silvi lebih dulu bertanya. "Mau kemana, Mas? Ada rapat, ya? Mas duluan saja tidak apa-apa, biar aku yang nemenin Ibuk buat jaga Mbak Kirana." Pak Damar hanya mengangguk, dia tidak mungkin mengatakan kalau ingin menjaga Anggi di saat dengan tangannya sendirilah dia menyetir hingga membuat Kirana patah tulang seperti itu. Semoga saja tangan Kirana bisa berfungsi seperti semula tanpa harus merasakan sakit yang teramat sangat lagi. Dengan berat hati, Pak Damar menatap sendu pintu ruang operasi sebelum akhirnya pamit pergi untuk menunggui perempuan lain yang Pak Damar harus penuhi amanahnya. "Buk, saya pergi dulu, ya. Maaf tidak bisa menemani Ibuk menunggui Kirana." "Oh ndak papa, Mas." Bu Ghina menggeleng segan dengan kesopanan Pak Damar pada orang sepertinya. "Semoga urusannya dilancarkan ya, Pak. Terima kasih sudah baik pada anak saya." Tanpa kata, hanya memberikan anggukan, Pak Damar perlahan pergi dengan tatapan yang tidak bisa diartikan ketika matanya tidk bisa melihat ruang operasi yang lampunya yang masih memerah itu. 'Maafkan saya Kirana.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD