Kirana tahu kalau tidak seharusnya dia bersikap demikian. Hanya saja, dia merasa perlu melakukan ini semua demi menyelamatkan persahabatannya yang sudah terjalin puluhan tahun dengan Anggi. Kalau sifat egoisnya harus mendominasi, Kirana hanya bisa berdoa semoga orang-orang tidak sakit hati dengan dirinya.
Oh ayolah, perkara cinta bukanlah perkara yang mudah. Banyak sekali kasus yang didapati karena cinta ini. Contoh mudahnya saja, suami yang melakukan k*******n pada istrinyi. Lihatlah, yang namanya cinta kalau tidak dikelola dengan baik, ujung-ujungnya malah menjadi satuan kesakitan.
Kirana memang salah, Anggi juga sama salahnya. Yang satunya membiarkan masalah berlarut-larut sementara yang satunya lagi tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri karena rasa cemburu.
Baiklah, kalau masalah cinta memang rumit, tapi apakah persahabatan itu tidak didasari dengan cinta? Tentu saja ada cinta di dalamnya. Namun sayang, cinta dalam persahabatan itu kalah dengan cintanya Anggi kepada Pak Damar.
Pernah mendengar cinta tak ada logika? Kurang lebih memang kenyataannya seperti itu. Di saat Anggi yang lebih mengedepankan perasaannya, apa lagi sekarang dibumbui, bumbu-bumbu cinta, makin mantap pula perasaannya.
Kirana tidak menyesal datang ke Bandung. Sungguh, dia menjadi bisa membuka matanya lebar-lebar. Tak selamanya hidup itu bahagia, tak selamanya pula hidup tidak diberi masalah oleh Tuhan. Namanya orang hidup, pasti ada saja masalahnya. Masalah di sekolah, masalah di rumah, masalah dengan orang yang disukai. Ya intinya dunia dipenuhi dengan masalah. Namun, Allah memberikan ujian melalui masalah itu pasti ada solusinya. Sebagaimana dikatakan bahwa Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hambanya. Kalau sekarang Kirana bersedih karena seperti kehilangan sahabat yang begitu dicintainya, dia percaya pasti bisa melewati ini semua.
Sehingga di pagi yang begitu cerah ini, di saat Kirana sudah tidak memiliki kepentingan apapun di kota orang ini lagi, Kirana harus segera pergi ke kota tempatnya menimba ilmu. Dia tidak bisa terus-terusan egois dengan menuruti egonya yang ingin terus di sini dan menjelaskan semuanya pada Anggi agar sahabatnya itu berhenti berpikir yang tidak-tidak dengan dirinya. Hanya saja, Kirana lebih mengutamakan yang penting terlebih dahulu, jadi dia harus kembali dan akan meminta maaf pada Anggi setelahnya. Karena kalau tetap di sini, Anggi pastilah tidak mau berbicara yang baik-baik kepadanya lagi seperti yang sudah-sudah.
Karenanya, Satria yang sudah dikabari oleh Meisya kalau Kirana akan pulang langsung datang pagi-pagi ke kontrakan yang dekat masjid itu. Dia akan mengajak Kirana jalan-jalan sebentar sebelum kembali ke Depok.
"Langsung kembali saja, Mas. Nanti kalau kesiangan bagaimana?" Kirana menatap Satria tidak enak ketika lelaki itu bersikeras ingin mengajaknya keliling-keliling untuk melihat kota Bandung sejenak sekalian mau mencari sarapan juga.
"Keliling sebentar, sekalian mencari untuk sarapan, Kirana. Kamu pemabuk, kan? Nanti minum obat juga, tadi aku sudah memintanya dari rumah, semoga saja cocok."
"Kalau makan pagi malah muntah, Mas. Aku langsung pulang saja." Kirana kembali menolak Satria yang begitu gigih membujuknya sedari tadi.
"Pulangnya sama saya, Na. Nanti kita naik bus, kan? Atau mau kereta? Nanti turun dulu ke stasiun."
Lhah, Kirana malah kaget mendengar Satria berbicara seperti itu. Dia kira akan pulang sendirian. Makanya khawatir kalau tidak paham jalan nanti, dia bisa bertanya. Kalau ada Satria, dia ikut dalam satu bus yang sama, Kirana tidak khawatir.
"Ndak pakai motor to, Mas? Biasanya motoran, kan?" Kirana sudah melayangkan tatapan curiga, tapi malah melihat ke arah Meisya, bukan Satria-nya.
"Nanti motornya dibawa temennya, Mbak. Kan memang suka berangkat berdua sama Mas Najib. Nah jadi nanti Mas Najib pergi duluan atau akhiran, yang penting Mbak Kirana di bus ada yang menemani. Begitu." Meisya menjelaskan.
https://drive.google.com/folderview?id=1Y7jjYzAQR6MJESkazPtDq9MKhXgXIBGy di sini malah merasa serba merepotkan meskipun Meisya dan Satria tidak merasa direpotkan sama sekali. Mereka justru senang ada Kirana.
Semalam, Meisya terbangun dari tidur dan melihat Kirana sedang mengaji. Dia yang biasanya langsung tidur lagi malah jadi mengambil wudhu dan ikut mengaji dengan Kirana. Dan Meisya senang sekali. Kalau mau menjaji bersama dengan kakakk dan adiknya, rasanya mustahil sekali. Mereka suka tidak pulang, apalagi kuliahnya di tempat yang berbeda-beda.
"Merepotkan, lhoh." Kirana menggeleng tidak setuju. "Aku bisa kok, nanti tanya sama yang di bus."
Jangan kira orang-orang akan menuruti Kirana. Keputusan Staria sudah bulat untuk mengantarkan Kirana pulang. Lagi pula, intinya sama saja sampai di kampus. Satria mengerti kalau Kirana tidak enak hati. Hanya saja kalau dia membiarkan Kirana pulang sendiri, jatuhnya dia juga tidak tenang. Jadi lebih baik sekalian saja diantar.
"Intinya kita sama-sama pergi ke Bandung hari ini, Ki. Jadi ya sama saja. Mau motoran, mau ngebus, sama saja, kan. Yang penting sampai Depok." Kalau Satria sudah mendebat seperti ini, Kirana mana bisa protes tidak lagi. Alhasil dia mengiyakan saja saat kedua kakak dan beradik itu mengajaknya pergi untuk mencari sarapan.
Dengan mengendarai motornya, Satria di depan layaknya penunjuk arah padahal Meisya juga tahu arahnya harus kemana.
Kirana yang dibonceng tersenyum di balik penutup helmnya. Udaranya segar karena jalanan masih ramai lancar, sebelum sepenat kalau orang-orang layaknya jadi satu di jalanan semua.
Sampai tak lama kemudian mereka berhenti di sebuah warung lesehan yang lumayan ramai tapi tempatnya luas, Satria dan Meisya mempersilakan Kirana untuk turun terlebih dahulu.
Kirana lantas turun seperti yang diperintahkan. Dia menjadi ingin menangis kalau seperti ini. Dia mengingat Anggi, sahabatnya. Apa iya persahabatannya ini akan hancur hanya gara-gara seorang lelaki?
Kalau boleh memilih dan memang bisa diurus, Kirana akan pindah kelas saja daripada Anggi terus berpikir yang macam-macam. Kirana tau kalau Anggi ini betulan menyukai Pak Damar. Kirana bisa melihat binar cinta di mata sahabatnya itu. Namun, apakah Kirana bisa melihat binar itu di matanya sendiri dan untuk siapakah gerangan? Dan pastinya Kirana akan menolak mentah-mentah kata hatinya sendiri.
Namun sekarang, biarkanlah Kirana berpikir tentang melepas masalahnya dulu barang sejenak. Dia tidak suka memperlihatkan kesedihannya kepada orang-orang. Karena itu, dia sekarang sedang bercanda tawa dengan Meisya, kemudian disusul oleh Kiki adik terkecil mereka yang baru datang dengan wajah persis sekali dengan orang yang bangun tidur.
"Lama banget sih datengnya?! Dibangunkan jam berapa coba?" Satria menegur adiknya itu yang datang terlambat. Masalahnya gara-gara dia, sarapan mereka jadi tertunda. Sebenarnya tidak apa-apa juga, hanya saja Satria ingin memberikan pengertian pada adik bungsunya itu kalau terlambat adalah tindakan yang kurang baik. Intinya sebaik-baiknya orang adalah orang yang tidak merugikan orang lain atau bermanfaat untuk orang lain. Karena itu, kalau tidak berguna atau tidak dibutuhkan, akan lebih baik jika tidak merugikan orang lain.
Di waktu ini Kirana sadar bahwa di balik kesedihan yang menimpanya sekarang, Allah memberinya pelipur lara dengan kehadiran teman-teman baru yang tentu saja menerima dirinya apa adanya. Apa adanya Kirana yang memang seperti ini sedari dulu.
Kirana bersyukur sekali dengan semua yang dirinya miliki sekarang. Semoga saja, suatu hari nanti, dia bisa membalas kebaikan Satria dan adik-adiknya. Ya semoga saja setelah ini dia diberikan kesempatan lagi oleh Allah untuk bertemu mereka. Dan untuk masalah Anggi, Kirana akan memikirkannya nanti. Sekali lagi, dia tidak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang yang memang tidak perlu tahu akan kesedihannya. Bukan karena Kirana sok kuat, tapi bisa jadi malah orang-orang di sekitarnya lah yang memiliki masalah lebih besar, masalah Kirana tidak ada apa-apanya. Maka dar itu Kirana tidak mau. Biarlah Allah yang menjadi sebaik-baiknya pendengarannya.