2. Muara Kasih

1651 Words
Malam sebentar lagi menyambut. Kirana sudah melakukan semua tugas rumahnya seperti biasa. Menyapu dalam dan luar rumah, mencuci piring dan baju milik ibunya yang kebetulan belum dicuci. Dia itu tipe orang yang sering pusing jika melihat ruangan berantakan. Karena itu dia merasa beruntung sekali bisa memiliki teman satu kamar yang suka kebersihan dan kerapian juga. Sambil menunggu ibunya pulang, Kirana mengerjakan tugasnya lewat laptop. Dia memiliki laptop untuk pertama kali saat menerima bantuan dana pendidikan. Sekitar empat juta yang kemudian dia gabung dengan tabungannya hasil ikut membatik bersama ibunya selama masih SMA. Meskipun begitu, uangnya belum cukup karena dosennya sendiri mengatakan jika paling tidak, minimal laptopnya I5, jadi mau tak mau, Bu Ghina mengambil kredit agar Kirana bisa memiliki laptop itu meski dengan spesifikasi yang menurut di jurusannya, itu minimal. Ya tentu saja Kirana mengutamakan kebutuhannya, bukan keinginannya. Kalau boleh memilih, uang di atas sepuluh juta tersebut akan ia berikan pada ibunya. Namun memang harus seperti ini. Kirana tidak akan bisa mengikuti pelajarannya yang serba menggunakan laptop jika laptop saja dia tidak punya. Mungkin, Kirana masih bisa mengikuti dengan pinjam teman-temannya. Tapi mengingat lagi, teman-teman satu kelasnya tidak ada yang berteman baik dengan Kirana begitupun sebaliknya, jadi keadaan yang mendesak membiat Kirana harus mengutamakan laptop itu terlebih dahulu. Dan di dalam kelasnya pun, harga laptopyang menurut Kirana sendiri sudah sangat mahal, tetap saja harga laptopnya paling murah sendiri jika dibandingkan dengan laptop punya teman-teman lainnya. Namun Kirana tidak berkecil hati. Kemampuannya memang seperti itu. Masih bersyukur dia bisa membeli laptop, daripada tidak sama sekali. Itupun ibunya sampai menghutang, belum lagi dengan biaya awal pulang-pergi ke kota, dan juga dengan biaya sewa kontrakan selama satu semester yang di semester awal, jadi ditanggung oleh ibunya. Kirana tahu jika sudah kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Awal dulu, dia tidak mau kuliah karena masalah biaya meski dia mendapat beasiswa sekalipun. Dengan nilai rapor yang dia miliki, Kirana mendaftar SNMPTN ke universitas terbaik di Indonesia yang berada di Depok. Harapannya saat itu, dia tidak terima. Namun kenyataannya salah, justru di sana dia lolos SNMPTN dan bukan hal baru jika yang sudah terterima SNMPTN harus memasukinya. Kalau tidak, SMA tempat Kirana belajar bisa dibacklist dari universitas itu dan kasihan adik-adik kelasnya nanti. Menjadi egois adalah pilihan Kirana saat itu. Dia tetap keras kepala, tidak mau mengambilnya dan memilih menemani ibunya di desa saja, kerja seadanya. Selain memikirkan biaya hidup di sana nanti, Kirana juga memikirkan ibunya yang akan ia tinggal sendirian. Tapi berkat nasihat Bu Ghina, berikut dorongan dari Anggi yang diterima SNMPTN di PTN yang sama dengan Kirana, akhirnya perempuan itu kalah dan memilih lanjut. Dia melihat harapan yang begitu besar di mata ibunya. Ibunya juga percaya jika semuanya akan baik-baik saja. Beliau sehat dan bisa membantu Kirana untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya kelak. Dan sampai sekarang, syukur beribu syukur semuanya baik-baik saja. Kirana yang memang teratur anaknya, bisa dengan baik mengatur pengeluaran setiap bulanannya agar uang beasiswa itu cukup untuk hidup di kota. Sedangkan uang yang diberikan oleh Bu Ghina ia tabung sendiri, akan ia gunakan jika ada keperluan mendadak. Dan sekarang, uang yang ia gunakan untuk beli handphone ini adalah uang dari beasiswa yang masih ia dapatkan sampai semester sekarang. Jangan kira jika beasiswa itu akan terus-terusan Kirana dapat. Karena sebenarnya, seperti hubungan timbal balik, selama nilai Kirana baik dan tidak mengalami penurunan sama sekali, beasiswa itu akan tetap ia dapatkan sampai akhir. Lain lagi jika IPK nya menurun, beasiswa itu bisa langsung dicabut saat itu juga. Jadi, Kirana tidak bisa bermain-main dengan kuliahnya. Mungkin banyak yang menganggap Kirana terlalu ambis. Tapi mereka salah kaprah memahami Kirana. Kirana bukannya ambis, tapi dia hanya ingin mempertahankan nilainya tetap baik. Perempuan itu juga paham jika menuntut ilmu yang dicari bukanlah nilainya, tapi ilmunya. Dan Kirana selalu menerapkan pesan yang sering Bu Ghina sampaikan padanya. Yaitu, “kalau kamu tidak bisa bermanfaat bagi orang lain, setidaknya kamu tidak merugikan orang lain.” Karena itu, selama ini Kirana berupaya untuk tidak merugikan orang lain meski ada saja yang merasa dirugikan dengan kerajinanya dalam mengikuti perkuliahan. Tak jarang dirinya dikatai sok pintar, sok cari perhatian pada dosen. Padahal, sudah kewajibannya sebagai mahasiswa untuk menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya. Tapi kembali lagi, apapun itu, selama tidak merugikan orang lain, Kirana akan tetap melakukan apa yang ia aggap benar meski terkadang, apa yang menurutnya benar, belum tentu benar dipandangan orang lain. Belum selesai dengan lamunanya, Kirana terkejut mendengar salam dari ibunya yang sudah pulang. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Kirana berdiri dari posisi duduknya di ruang tamu dan refleks mengulurkan tangannya untuk menerima tak plastik yang dibawa sang ibu. “Ini apa, Buk?” Bu Ghina melenggang masuk seraya menjawab, “jajan. Tadi dikasih sama mbahmu. Ibuk kasih tahu kalau kamu pulang, eh langsung dibelikan mie ayam. Alhamdulillah to, rezeki anak sholehah.” Katanya bersemangat. Kirana tertawa dan membawa bungkusan itu ke meja. Dia akan makan bersama ibunya saja. Kemudian, dia menghampiri ibunya yang sudah masuk kamar, sedang sibuk memilih baju dalam lemari. “Buk, nanti temenin aku ke konter, ya?” “Mau ngapain? Laptop kamu rusak?” Yang ditanyai malah diam saja sampai membuat Bu Ghina akhirnya menoleh. “Kok ndak dijawab?” Sambil menyengir, Kirana menatap ibunya hati-hati. “Mau beli hape, Buk. Kalau ibuk telfon, biar langsung sampai ke aku, ndak ke Anggi dulu.” “Oalah, yo wes to, habis Magrib, kan? Ibuk mau mandi dulu, lengket ini.” Kirana menyahut sambil mengangguk-angguk dan membiarkan ibunya sibuk sendiri dengan urusannya. Kirana yang memang sudah mandi langsung mengambil wudhu begitu mendengar azan Magrib berkumandang. Dia salat terlebih dahulu, baru ibunya kemudian. Selesai menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim, Bu Ghina dan Kirana baru pergi ke alun-alun naik motor hasil pinjaman dari mbah yang jadi boss Bu Ghina. Karena sedari awal, Kirana memang tidak bisa menggunakan sepeda motor. Karena selain dilarang ibunya, dia juga tidak memiliki barang transportasi itu. Bercengkrama sambil menatap sekeliling, Kirana tersenyum wajahnya diterpa angin. Sebentar lagi dia sampai konter untuk membeli handphone yang sudah dibicarakan tadi. Dan begitu sampai, Kirana membeli handphone jadul dua buah, untuk dirinya sendiri dan untuk sang ibu. “Lhoh, kok ibuk dibelikan juga? Ndak usah, mending buat uang pulang ke kota aja. Ibuk bisa datang ke rumah ibunya Anggi kok kalau mau bicara sama kamu.” Kirana tidak setuju dengan respon ibunya. Dia menggeleng, kemudian mengajak ibunya yang malah terlihat kebingungan bicara. “Ya ndak enak juga buk pergi ke rumah Anggi terus. Ibu apa ndak capek kalau mau bicara sama aku harus ke rumah Anggi yang jaraknya satu kilo kalo dari rumah?” Bu Ghina malah tertawa mendengar penuturan Kirana, beliau mengibaskan tangannya pelan seolah tidak ada masalah dengan itu semua. “Wong namanya juga orang ndak punya, Nduk. Kalau ndak ada, ndak usah dipaksakan. Nanti jatuhnya malah susah sendiri.” Sang pelayang konter yang melihat adu argument antar Kirana dan ibunya hanya diam menyimak saja. Ingin menengur tidak enak, diam saja ya jadi tidak enak sendiri. “Tapikan aku ada uang, Buk. Ini yang kemarin masih sisa uangnya, jadi mau dibelikan hape.” “Kamu ndak nyambi kerja kan di sana?” Bu Ghina menatap Kirana curiga yang langsung dibalas dengan gelengan mantap. “Ndak… orang aku bantu ngerjan tugas temen terus dikasih uang sama mereka.” “Ya Allah kirana…” Bu Ghina menatap putri semata wayangnya ini tidak percaya. “Curang itu namanya! Kok kamu mau-mau aja to kayak gitu?” “Ya habis lumayan uangnya, Buk. Bisa jadi tambahan buat—“ “Ndak! Ndak ada lumayan-lumayan. Kamu kuliah, fokus kuliah, ndak ada kerja-kerja! Ibuk itu masih sanggup kerja, masih sanggup nyekolahin kamu! Itu udah kewajiban Ibuk buat nyekolahin kamu, Nduk.” Kirana menatap mbak-mbak yang jadi penjaga konter tidak enak. Dia jadi ingin menangis sendiri karena melihat ibunya yang terlihat kecewa pada dirinya. Kirana sadar dia salah. Tapi suatu ketika, dia tak punya jalan lain selain menerima semua itu karena uang beasiswanya ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama di kota meski dia sudah menekan semua pengeluaran. Jadi, jalan satu-satunya yaitu Kirana kerja paruh waktu dan membantu temannya mengerjakan tugas demi mendapatkan tambahan uang. “Iya maaf, Buk. Tapi, aku boleh kerja paruh waktu kan, Buk? Ndak ganggu kuliah, kok. Kerjanya waktu aku luang aja. Jadi, ndak ganggu perkuliahan sama sekali.” “Ibuk ndak terima pembelaan ya?” Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan Kirana yang tidak bisa menolak perintah ibunya. Namun, dia terlanjur jujur jika sebenarnya dia sudah bekerja paruh waktu. Dan Bu Ghina tidak memarahi Kirana sama sekali. Beliau hanya memberi Kirana pengertian jika lebih baik Kirana berhenti bekerja dan fokus pada kuliahnya saja. “Tapi ini boleh beli hape kan, Buk?” Kirana menatap ibunya hati-hati sekali lagi. Berharap sangat jika niat baiknya diterima oleh ibunya. Dia juga tidak bermaksud membuat Bu Ghina sedih. “Ya udah ndak papa, lain kali jangan diulangi lagi. Ibuk nggak mau kuliah kamu sampai terganggu gara-gara kerja. Orang Ibuk masih kuat nyekolahin kamu.” Bu Ghina menjeda kalimatnya sejenak, kemudian menatap bungkusan yang berisi handphone yang diulurkan oleh pelayan konter tadi. “Makanya doain Ibuk biar bisa nemenin kamu terus.” Kirana mengangguk mantap. Tanpa Bu Ghina minta sekalipun, Kirana akan dengan senang hati mendoakan beliau agar sehat selalu dan panjang umur. Ada banyak hal yang ingin Kirana lakukan untuk Bu Ghina. Dia ingin membahagiakannya, ingin menarik ibunya dari kemiskinan yang menjerat mereka selama ini. Dan juga, dia ingin melihat ibunya duduk tenang di rumah dan biar dirinya saja yang bekerja. Sudah saatnya sang ibu beristirahat. Meski selama ini Bu Ghina terlihat baik-baik saja, Kirana tahu kalau ibunya itu lelah. Menjadi single parent tidak pernah mudah bagi seorang perempuan. Selain menjadi ibu, beliau juga harus menjadi ayah untuk Kirana. Karena itu Kirana sangat menyayangi ibunya. Dan apapun akan Kirana lakukan asal ibunya bahagia. Dan perkuliahannya yang sekarang juga demi ibunya. Ibunya yang ingin melihat anaknya sukses. Dan suatu saat nanti, Kirana akan mewujudkan mimpi ibunya itu. Karena Kirana, sangat menyayangi ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD