Seperti yang sudah dikatakan hari kemarin bahwa hasil pemeriksaan Anggi akan keluar hari ini. Kirana yang sebenarnya sudah tidak apa-apa dan ingin pulang saja daripada kelamaan dan menambah biaya perawatan. Namun sayangnya, Silvi yang diparahkan untuk menjaganya oleh Pak Damar tidak mengizinkan semua itu terjadi. Mereka akan menunggu hasil foto rongsten, setelah itu baru diperbolehkan untuk pulang dan menjalani perawatan sendiri ke rumah. Bahkan Silvi juga sudah berpesan kalau mengganti perban pergi ke rumah sakit juga. Intinya, Pak Damar ingin menanggung semua pengobatan Kirana sampai betul-betul tangan kanannya itu berfungsi seperti sedia kala. Bahkan kalaupun terjadi yang tidak diinginkan kepada tangan Kirana—naudzubillah, Pak Damar tetap bersedia keluar biaya untuk Kirana bahkan sampai akhir sekalipun.
Bagaimanapun, Pak Damar tidak ingin kalau sampai gara-gara dirinya, ada masa depan seoarang anak perempuan satu-satunya—yang jadi kebanggaan keluarga menjadi hancur karena ketidak hati-hatiannya.
“Vi, aku udah ndak papa. Tadi kan dokternya juga sudah bilang kalau sebentar lagi diizinkan pulang. Tidak ada sesuatu yang serius, jadi tidak perlu khawatir berlebihan.”
Entah sudah berapa kali Silvi harus mengatakan ini. Namun tak apa, biar Kirana juga hafal dan tidak terus mengulangi perkataan dokter itu. “Mbak Kiranaku Sayang, Mbak belum boleh pulang sekarang. Di sini dulu sampai dokter bilang final, ya? Nanti aku kena amuk Mas Damar kalau Mbak Kirana nggak mau nurut.”
Kirana menghela napas berat. Dadanya terasa sesak sekali. Kenapa juga harus seperti ini. Kirana sudah tidak nyaman terus di rumah sakit. Bahkan sudah tidak nyaman sejak awal. Namun lihatlah, dia terus ditahan di dalam ruangan itu sampai katanya sembuh. Padahal Kirana sendiri sudah merasa lebih baik.
“Udah, nurut aja, Ki. Apa susahnya, sih? Kan enak, nggak perlu masuk kelas.” Celetuk Simmi yang sibuk makan cemilan sambil kedua kaki bersila di atas sofa.
“Tambah tanggungkan kali, Sim. Ya kali, tugas menumpuk yang ada.” Nisa yang setidaknya masih berada di jalur yang lurus ikut menimpali. Memangnya ada kata tidak ada tugas di dalam kamus hidup mereka? Tentu saja tidak ada. Yang ada, tidak ada hari tanpa tugas, meski weekend sekalipun.
Mendengar perkataan teman-temannya barusan pun, tak membuat Kirana merasa lebih baik. Dia hanya ingin pulang, atau paling tidak dia ingin diam-diam melihat keadaan Anggi. Dia khawatir sekali karena ibunya juga tak kunjung datang sedari kemarin. Kirana takut kalau Anggi benar-benar sakit parah. Dan Pak Damar, lelaki itu juga tidak datang. Namun, Kirana merasa lebih baik kalau beliau tidak ada di sekitarnya sekarang, biar dadanya juga tidak semakin sesak. Karena sungguh, Kirana merasa sesak setiap kali ada Pak Damar di sekitarnya. Entah perasaan macam apa ini.
Ketika Pak Damar tak ada, Kirana seakan-akan mencarinya. Namun, ketika Pak Damar ada, Kirana khawatir akan keberadaannya. Entah apa yang sebenarnya Kirana inginkan ini. Perasaannya benar-benar kacau sekarang. Apalagi memikirkan Anggi juga membuat Kirana makin pening kepala. Semoga saja dia segera mendapat kabar mengenai Anggi. Dan semoga saja, hasilnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Mbak?” panggil Silvi tiba-tiba.
Karena Silvi memanggil secara universal, semua gadis yang berada di sana, yang tak lain adalah, Kirana, Nisa dan juga Simmi langsung fokus ke arah Silvi semua.
Melihat wajah Silvi yang mendadak pucat dengan tangan yang masih memegangi handphone, yang lain juga seakan kompak hanya diam menatap Silvia dalam diam untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi lebih dulu.
“Hasil pemeriksaan Mbak Anggi sudah keluar,” kata Silvi lirih, susah payah pula karena harus menelan ludah.
Sementara Kirana pun seakan lupa bagaimana cara bertanya setelahnya. Dia hanya diam memandang Silvi dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Untung Simmi dan Nisa masih bisa menguasai dirinya sendiri. “Sakit apa, Vi? Kok kayak serius amat? Anggi sehat-sehat kok selama ini.”
Sekali lagi. Silvi butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pesan yang dikirimkan oleh kakaknya memang benar seperti ini tulisannya. “Kanker…”lirihnya susah payah. “Kanker darah, Mbak.”
Jangankan menangis, mereka bertiga yang mendengar kabar dari Silvi saja tidak mampu mengatakan apa-apa. Mereka hanya diam, terus diam sampai akhirnya Kirana yang sadar lebih dulu. “Ini aku mimpi ya, Vi? Tolong bangunkan.” Katanya pelan sekali.
Silvi yang semula berjarak langsung mendekat ke arah Kirana dan mendekapnya erat sekali. “Yang sabar ya, Mbak.”
“Ndak.” Kirana menggeleng pelan di dalam dekapan Silvi. “Kamu pasti salah informasi, Anggi nggak pernah terlihat sakit kok selama ini. Dia sehat-sehat aja. Bahkan fisiknya lebih kuat daripada aku. Kayaknya hasil pemeriksaannya salah itu. Minta dokter buat periksa dia lagi.”
Simmi dan Nisa ikut menghampiri Kirana, berupaya menenangkannya. “Yang sabar, Ki.”
“Ndak ya, Anggi baik-baik aja. Aku mau ketemu.” Kata Kirana langsung saja. Dia seperti memaksa untuk turun dari ranjang. Sampai akhirnya semua orang terpaksa juga menuruti kemauan Kirana. Mereka memastikan tangan Kirana aman dulu baru mengantarnya ke ruangan Anggi. Kebetulan, kemarin sebelum ikut menjaga Kirana, Nisa dan Simmi sudah menjenguk Anggi lebih dulu jadi sudah tahu ruangannya.
Mereka terus berjalan, langkah Kirana mendadak berhenti melihat Pak Damar tengah duduk, menumpukan kedua sikunya di lutut sementar telapak tangannya menutup wajahnya di salah satu bangku tunggu dan Kirana tebak itu adalah pintu ruangan Anggi.
“Ayo, Mbak.” Silvi menyadarkan Kirana lagi kalau perjalanan mereka sedikit lagi. Karena itu Kirana kembali berjalan perlahan, dan dia digiring untuk menghadap Pak Damar bersama-sama.
“Mas Damar.” Silvi memanggil. Entah apa yang Pak Damar pikirkan hingga tidak sadar bahwa ada banyak orang tengah berdiri di depannya. Untung cuma cukup satu panggilan itu Pak Damar langsung sadar bahwa dia tidak sendirian lagi sekarang. Beliau mengangkat kepalanya dan wajahnya terlihat murung sekali.
“Masuk saja.” Kata Pak Damar tanpa mau diwawancari lebih jauh. Oh ayolah, kepalanya terasa ingin meledak sekarang. Jangan ada yang mengajak bicaranya sekarang atau dia akan sanagt emosi sekali.
Karena mendapat instruksi semacam itu, tentu saja Silvi langsung mendorong tubuh Kirana untuk masuk ke dalam ruangan yang Pak Damar maksud. Hanya saja, Kirana tidak sebenarni itu. Dia hanya takut kalau kehadirannya sekali lagi malah membuat Anggi marah. Kirana tidak mau memperparah keadaan.
“Ayo, Mbak?”
“Kalian saja. Aku tunggu di sini.”
“Ya nggak bisa, Ki. Datang bareng-bareng, masuk bareng-bareng.” Kata Simmi menolak perkataan Kirana mentah-mentah.
“Aku mau lihat.” Kata Kirana lirih, lantas berjalan menuju jendela dan terlihat benar Anggi tengah menangis, ditenangkan oleh Bu Ghina juga mamanya sendiri. Pantas saja ibunya itu tidak kembali. Ternyata memang Anggi yang lebih parah keadaannya.
“Ya udah kita masuk dulu yah, Mbak. Ayok Mbak.” Silvi langsung menarik Nisa dan juga Simmi bersama-sama ke dalam ruangan Anggi. Ruangan Anggi ini besar, jadi tidak khawatir kemana mereka akan minggir nanti jika tidak dibutuhkan.
Sementara di luar, Kirana yang sudah pening memikirkan semua yang terjadi langsung memilih duduk yang begitu berjarak dari Pak Damar. Dia tidak ingin terjadi suatu fitnah. Mungkin Kirana masih setengah sadar atau tidak dengan semua yang dia dengar tadi, hanya saja ini rasanya seperti mimpi. Kanker? Pikirnya. Bagaimana mungkin seoarang Anggi yang terlihat ceria, yang begitu ambisius dan tidak pernah terlihat jatuh sakit?
Di sisi lain, Pak Damar yang duduk satu deret dengan Kirana hanya memandang gadis itu dalam keterdiaman. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi coba ditahan-tahan. Sampai akhirnya, tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Damar dengan begitu tegas berkata sesuatu kepada Kirana dan beliau yakin Kirana mendengarnya.
“Kirana?”
Gadis yang matanya berkaca-kaca itu menoleh, menatap kening lawab bicaranya dalam diam, seakan menunggu lebih dulu Pak Damar sebenarnya ingin mengatakan apa.
“Menikahlah dengan saya. Sekarang.”
Ada yang tahu, apa yang Kirana lakukan? Gadis itu tersenyum dengan ringisan tidak enak. "Maaf, Pak. Saya tidak dengar, Bapak bicara apa, ya?"
Awalnya, Pak Damar menatap Kirana tidak percaya karena beliau yakin bahwasannya Kirana bukannya tidak mendengar, tapi perempuan itu tidak mau. Karena itu sebagai penolakan secara halus, Kirana bertanya akan maksud Pak Damar sekali lagi. Dan walaupun Pak Damar mengulangnya sampai seratus kali sekalipun, Kirana akan kembali bertanya apa maksudnya.
Ada senyum miris yang Pak Damar keluarkan di sudut bibirnya. Wajahnya kembali berpaling menatap dinding yang jauh dari jangkauannya dan berkata, "untuk apa pertanyaan itu, Kirana?"
Kirana menunduk dalam dengan keadaan tangannya gemetar parah, tapi ditahan-tahan agar tidak terlalu kentara. Namun, Kirana juga tidak memiliki kekuatan untuk menjawab secara langsung pertanyaan Pak Damar barusan. Dia hanya bisa menjawabnya dalam hati dan Pak Damar tanpa bersuara pun, sudah sangat mengerti.
'Saya minta maaf, Bapak.'