CHAPTER-5. Kill You!

1561 Words
Beverly meninggalkan Jackson yang masih menganga karena ciuman mereka. Kaki jejangnya melangkahkah menuju dapur. Di atas meja makan, tersedia berbagai macam makanan yang pasti dimasak oleh Jackson. Beverly mendaratkan pantatnya di atas kursi, meneguk segelas air putih dan menyomot beberapa makanan di atas meja. "Siapa yang menyuruhmu makan?" tanya Jackson ketus. "Tidak ada. Aku lapar. Salahkah jika aku ikut makan?" "Tidak. Hari ini kau boleh makan bersamaku. Hanya hari ini saja." "Kau baik sekali." Sindir Beverly. "Aku memang baik?" "Aku percaya itu." Guman Beverly seraya mengunyah makanannya. Jackson menyerngit mendengar ucapan Beverly. "Mungkin aku juga tidak sebaik yang kau bayangkan." "Aku juga percaya itu." Sahut Beverly cepat. "Apa kau yang memasak semua ini?" "Aku membelinya." "Benarkan?" Beverly mengalihkan pandangannya pada Jackson. Wanita itu menunggu konfirmasi dari Jackson. "Tidak. Memangnya di mana kita bisa menemukan restoran? Kau tahu 'kan posisi kita di sebuah pulau terpencil?" "Aku tahu." Beverly mengambil air di dalam gelas dan meneguknya lagi. "Kau pandai memasak." "Apa kau bisa memasak?" "Tidak. Aku sama sekali tidak menyukai masak-memasak." "Sudah kuduga." Jackson mengambil pisau dan memotong steak. Tatapannya masih tertuju pada bibir Beverly yang memerah karena merasakan sensasi pedas di mulutnya. "Jangan menduga-duga. Kau tidak berhak menilai siapa aku." "Apa aku boleh mengatakan kalau kau wanita pemberani." "Tidak. Karena itu bukan aku." Sekali lagi, Jackson memotong steak, mencelupkannya pada saus kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. "Kau berani melawan king kobra sendirian. Apa namanya kalau bukan pemberani?" Sudut bibir Beverly melengkung. "Aku sangat takut waktu itu." Aku Beverly. "Kau takut?' Jackson tersedak. "Aku tidak percaya itu... uhuk!" "Hati-hati," peringat Beverly seraya menyodorkan air putih ke mulut Jackson, pria itu menerimanya. "Aku takut ular itu membunuhku sebelum aku berhasil membunuhnya. Bagaimana pun juga, king kobra memiliki bisa yang sangat berbahaya, bukan?" "Kau berani menghadapinya, itu berarti kau tidak takut." "Terkadang, ketakutan tidak harus diperlihatkan pada lawan kita. Siapa saja yang mampu menyembunyikan rasa takut mereka di hadapan musuh akan memenangkan pertempuran dengan sangat baik. Aku percaya itu." "Dan kau melakukannya dengan sangat sempurna. Dari mana kau belajar semua itu?" "Daddy dan Brooklyn. Mereka panutanku." Beverly meneguk air putih dan menyelesaikan ritual makan siangnya. "Apa kau yang mengajari Maria menembak?" Tatapan Jackson mengisyaratkan kepedihan. Pria itu meletakkan peralatan makannya. Suaranya rendah, penuh rasa sakit yang tak bisa disembunyikan. "Tidak. Maria tidak bisa menembak. Dia bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakan senjata." Gumam Jackson lirih. Beverly hanya bisa mendesah pelan mendengar penuturan itu. Ia pikir selama ini ia telah melakukan hal yang benar dengan menembak Maria. Beverly hanya ingin melindungi kakak iparnya serta bayi dalam kandungan Kayla. Bahkan sampai sekarang, ia tidak menyesal. Nyatanya, Maria hanyalah gadis polos yang bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakan senjata. Makan siang itu berakhir dalam keheningan. Jackson meninggalkan meja makan sesaat setelah ia berbicara dengan Beverly. Pria itu tampak murung setiap saat mereka membicarakan Maria. Hingga malam datang, Beverly tidak melihat Jackson keluar dari kamar. Malam itu, semuanya tampak sangat sunyi. Beverly menghabiskan sepanjang siang untuk tidur. Bangun di sore hari untuk mandi dan menikmati matahari tenggelam di bibir pantai. Tempat itu terasa sangat sunyi baginya. Biasanya, Beverly akan menghabiskan sepanjang siang dengan berkutat di pabrik pembuatan senjata milik ayahnya. Dan malam hari di klub malam bersama teman-temannya. Namun, hidupnya kini berubah drastic. Usai makan malam, Beverly kembali ke kamar. Wanita itu sempat melihat Jackson sekali, saat mereka tidak sengaja mengambil makanan di kulkas. Beverly tahu, Jackson menghindarinya. Jackson juga tidak menghukumnya. Belum genap 24 jam Beverly berada di pulau terpencil itu, ia sudah merasa sangat menderita karena kesepian. Namun, instingnya selalu memperingatkan agar menyembunyikan penderitaan yang ia rasakan dari semua musuhnya. Termasuk Jackson. Lelah bergulung di atas kasur selama berjam-jam, Beverly akhirnya memutuskan keluar dari kamar tepat tengah malam. Beverly melihat pintu kamar Jackson yang tertutup rapat dan sudah gelap. Wanita itu menduga, Jackson pasti sudah tidur. Awalnya, Beverly hanya ingin mencuri beberapa botol wine milik Jackson dan menyimpannya di kamar, agar sewaktu-waktu ia ingin minum, Beverly tidak perlu mengemis pada Jackson. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melewati sebuah ruangan yang tampaknya sangat rahasia. Beverly mencoba membuka pintu kamar itu, terkunci. Bola matanya memindai dapur, ia menemukan beberapa kunci tergantung di dekat rak piring. Beverly berjalan menghampiri kunci-kunci tersebut dan mengambilnya. Lalu, ia kembali ke pintu dan mencoba memasukkan salah satu kunci ke dalam lubang pintu. Terbuka. Beverly mendengus lega. Ia menngayunkan kakinya lebih dalam ke dalam ruangan gelap itu. Dalam gelap, tangannya meraba dinding. Beverly menemukan saklar lampu dan menekannya. Sudut bibirnya melengkung melihat ruangan tersebut ternyata adalah ruang baca sederhana dan minimalis. Beverly menghampiri salah satu rak buku, mengamati beberapa buku tebal yang tertata rapi di sana. Rumah besar milik ayahnya memiliki perpustakaan seluas satu gedung sekolah. Terkadang, Beverly heran kenapa ayahnya membangun perpustakaan sebesar itu, tetapi bekalang ia tahu, mendiang ibunya suka membaca, dan ayahnya mendedikasikan perpustakaan besar itu untuk ibunya. "Hellions Of The Halstead Hall." Gumam Beverly pada dirinya. "Anak-anak nakal dari Halstead Hall" katanya lagi. Beverly mengambil keenam buku yang sengaja disatukan itu. Pandangannya tertuju pada judul-judul yang tertera di n****+ tebal itu. "Historical Romance?" tanyanya pada diri sendiri. Kalau boleh jujur, Beverly lebih menyukai buku berbau senjata di banding n****+ tentang percintaan, tetapi karena terlanjur mengambil semua seri n****+ itu, Beverly akan membacanya. "The Truth About Lord Stoneville, Di Balik Topeng Lord Stoneville? Sepertinya menarik." Ujar Beverly lagi. Ia lalu mengembalikan lima buku lainnya ke dalam rak buku. Buku yang dipegangnya adalah buku pertama dari seri tersebut. Total ada enam seri, dan keenamnya menarik perhatian Beverly. "Dear Maria,aku akhirnya menemukan buku ini di salah satu toko buku di dekat kampus. Semoga kau suka. Aku akan mengirim seri berikutnya setelah aku berhasil menemukannya. Salam sayang, Jackson." Helaan napas keluar dari kerongkongan Beverly. Entah mengapa, membayangkan kedekatan Jackson dengan Maria membuat hatinya terasa nyeri. Beverly mendengus pelan. Sepertinya, Jackson sangat mecintai Maria. Beverly menangkap nama Maria di sana. Ya, bab pertama memang menggambarkan siapa Maria yang sebenarnya. Itukah alasan Jackson membeli buku ini untuk Maria? Karena nama Maria tercetak jelas di buku ini? Lagi-lagi, benak Beverly dipenuhi pertanyaan-pertanyaan mengenai Maria dan Jackson. Dan ia mulai kesal dengan dirinya sendiri. Beverly mengabaikan kenyataan Jackson dulu pernah bertunangan dangan Maria dan mulai membaca buku itu. Lama kelamaan, n****+ percintaan itu menjadi candu baginya. Beverly seolah terseret ke dalam pusaran gelombang menyenangkan yang selalu ia rasakan ketika meminum alcohol. Ia menyukai bagaimana si penulis menceritakan siapa Maria dan Oliver, tokoh utama dalam n****+ tersebut. Bahasa yang digunakan si penulis menyenangkan. Beverly tidak bosan dengan kiasan dan majas yang tertata rapi dalam n****+ itu. Ia justru sangat senang bisa bertemu dengan n****+ itu. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari ketika mata Beverly akhirnya menyerah. Kepala Beverly terjatuh di meja baca. Dan ia pun terlelap. Beralih ke dunia mimpi bersama dongeng sebelum tidur yang ia baca sendiri. ** Jackson menyeret kakinya dengan malas menuju kamar mandi. Semalam, ia mabuk berat. Sejak sore hari, setelah pertemuannya dengan Beverly di dapur, Jackson kembali didera perasaan bersalah yang sangat hebat menyerangnya. Jackson kehilagan semangatnya untuk hidup lagi. Rasa bersalah yang menggerogoti relung hatinya kembali mengoyak pertahanan yang selama ini ia bangun mati-matian. Jika kau tidak mengajaknya, mungkin Maria masih hidup! Kau pembunuh! Kau membunuh Maria dan darah dagingmu! Kau tidak pantas hidup, seharusnya kau yang mati! Seruan-seruan memuakkan itu memenuhi benak Jackson lagi. Jackson menunduk di atas westafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Pening di kepalanya membuat Jackson tidak bisa berdiri dengan tegak. Pria itu terhuyung, kepalanya membentur kaca dan seketika berdarah. Beverly tersentak mendengar suara pecahan kaca. Matanya membuka sempurna, ia menyadari posisinya sekarang, di perpustakaan. Beverly segera menutup buku yang semalam dibacanya, kemudian berjalan tergesa menghampiri pintu, menutup pintu itu lalu menguncinya dan mengembalikan kunci pada tempatnya. Fyuh! Syukurlah. Si pemarah itu pasti akan memakiku jika aku menggunakan perpustakaannya. Katanya dalam hati. Beverly berbalik dan menemukan Jackson yang baru saja keluar dari kamarnya. Tangan pria itu penuh dengan darah, Jackson memegangi kepalanya. Pria itu berjalan tergesa menuju ke arahnya. "Apa yang kaulihat!" bentak Jackson. Beverly tersenyum miring seraya mengedikkan bahu. "Tidak ada. Syukurkah kepalamu berdarah. Kau termakan dendammu sendiri." sindir Beverly yang langsung sukses menyita perhatian Jackson. Beverly hendak melangkah menuju kamarnya. Namun Jackson menahan tangannya dan berkata, "Kau mau kemana!" "Kamar." Sahutnya singkat. "Jangan pergi. Kau harus membantuku," "Oh, maaf. Kita bukan teman. Aku tidak berniat membantu musuhku." "Tetap di sini atau aku akan-" "Apa?! Aku tidak takut dengan ancamanmu! Bukankah sudah kubilang kau boleh membunuhku dengan cara yang kau mau!" cecar Beverly. Jackson bersikukuh memegang pergelangan tangan Beverly. "Obati lukaku! Aku akan membebaskanmu dari hukuman hari ini." "Tidak mau. Kau bebas menghukumku." "Beverly." Suara Jackson berubah lembut. Beverly menghela napas sekali kemudian mengangguk. "Baiklah. Kau juga harus mengijinkanku makan sesuka hatiku. Bagaimana?" "Setuju." Sahut Jackson cepat. "Uh, kau menodai lengan dan bajuku." Gerutu Beverly. Jackson duduk di kursi sementara Beverly mengambil air dan membasuh kepala Jackson yang berlumuran darah dengan handuk basah. Beverly dengan telaten membersihkan pecahan kaca yang menempel di kulit Jackson. Sesekali Jackson meringis dan mengaduh karena kaca-kaca itu merobek kulitnya. "Sebenarnya, kenapa kau bisa seperti ini?" Beverly membuka suara. "Kepalaku terbentur kaca saat aku bangun." "Lain kali kau harus lebih berhati-hati. Aku tidak suka melihatmu berdarah dan kesakitan." Ucap Beverly jujur. Jackson menyerngit mendengar penuturan itu. "Benarkah?" tanya pria itu. "Tentu saja. Aku lebih suka melihatmu mati di tanganku. Kalau aku masih menjadi tawananmu, aku tidak bisa membunuhmu sesuka hatiku. Kalau aku bebas, hal pertama yang ingin kulakukan adalah membunuhmu. Dengan semua keberanian yang kumiliki."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD