Jackson terkesiap mendengar pengakuan Beverly. Kata-kata itu begitu dalam dan penuh makna. Ia pikir selama ini ia telah berhasil membuat Beverly takut dengannya. Nyatanya, Beverly sama sekali tidak takut dengan semua ancamannya.
Kalau aku bebas, hal pertama yang ingin kulakukan adalah membunuhmu. Dengan semua keberanian yang kumiliki.
Jackson mendengus keras, sakit di kepalanya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. "Dari mana kau belajar menembak?" tanya Jackson sarkastik.
"Brooklyn dan ayahku. Jika kau bertanya bagaimana aku bisa mengetahui seluk beluk sebuah senjata, semua itu karena kakakku yang mengajariku."
"Pelan-pelan!" ringis Jackson. "Apa kau menancapkan lagi kaca-kaca itu ke kulitku?!"
"Oh, kau ini benar-benar pemarah dan tukang menggerutu. Tentu saja tidak! Aku sedang mengobati lukamu." Beverly menjatuhkan pecahan kaca di atas sebuah wadah yang tengah dipegang Jackson. "Diamlah sebentar! Aku akan selesai jika kau bisa lebih tenang."
"Baiklah, baiklah." Kalah Jackson. Dalam posisinya sekarang, Jackson duduk di sebuah kursi dengan memegang sebuah wadah yang berisi pecahan kaca, sisa-sisa perban penuh darah dan kain bersih di sisi lain wadah itu. Wajah Jackson berada tepat di depan d**a Beverly. Sangat dekat hingga rasanya Jackson bisa mengendus aroma wanita itu. Jika ia bergerak sedikit saja, Jackson yakin bibirnya akan menabrak buah d**a Beverly yang menggantung indah di mukanya.
Jackson melirik tangan Beverly yang penuh darah. Ia masih ingat bagaimana lembut tangan itu meraba kulitnya ketika mereka berciuman di dalam kolam renang. Semua ingatan itu menimbulkan sensasi luar bisa dari dalam tubuhnya. Tiba-tiba, Beverly bergerak. Wajah Jackson bertabrakan dengan dua gundugan kembar di d**a Beverly. Mereka berdua terkesiap.
"Selesai." ujar Beverly seolah tidak terjadi apa-apa. Beverly meninggalkan Jackson, wanita itu berjalan menuju westafel, memcuci tangannya dan mengelap telapak tangan basah itu dengan tissue.
Jackson mengikuti langkah Beverly, mencuci tangan dan mengelap tangan basahnya dengan tissue. Begitu ia selesai, Jackson segera menyusul Beverly yang hendak kembali ke kamarnya. "Kau mau kemana?" tanya Jackson dari belakang.
"Mandi." Sahut Beverly singkat. Jackson meraih tangan Beverly dan memutar tubuh wanita itu. Kini, mereka berdiri berhdap-hadapan. "Aku belum mengucapkan terima kasih padamu."
"Aku tidak butuh ucapan terima kasihmu."
"Aku tetap ingin mengucapkannya. Dan aku juga akan memberimu hadiah atas kebaikanmu."
Lalu, Jackson menyatukan bibirnya dengan bibir Beverly. Bibir lembut yang entah mengapa begitu terasa manis dan memabukkan. Tiba-tiba, Beverly mendorong dadanya. Jackson bisa melihat wajah wanita itu bersemu merah.
"Aku tidak butuh hadiah seperti itu." Tolak Beverly halus. Jackson mengangkat satu alisnya. "Kupikir kau menyukainya. Kau selalu menciumku secara tiba-tiba."
Kekehan kecil muncul di bibir Beverly. "Itu karena aku senang menggodamu."
"Hanya mengodaku?" ulang Jackson. "
Beverly kembali memutar badan seraya mengedikkan bahu sekali lalu terkekeh lagi. "Ya. Hanya menggodamu." Ujarnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Dan aku senang kalau kau terpancing." Lanjutnya.
Jackson meradang. Bisa-bisannya wanita seperti Beverly mempermainkan perasaannya. "Dan kau pikir itu lucu, Nona muda?"
Beverly menutup pintu, tetapi Jackson menahan dengan kakinya. "Ya. Sangat lucu. Sekarang, minggirlah." Pinta Beverly dengan suara lembut.
Namun, Jackson enggan menuruti permintaan Beverly. Pria itu merasa harga dirinya diinjak-injak oleh tawanannya. Jadi, Jackson menyelinap masuk ke kamar Beverly, mengikuti wanita itu sampai masuk ke dalam istana mungilnya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Beverly tenang.
"Mengikutimu. Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan selain menggodaku."
"Jackson, apa pun yang akan kulakukan bukanlah urusanmu. Pergilah dang anti bajumu. Lihat, bajumu penuh darah."
"Sekarang, semua yang kau lakukan akan menjadi urusanku karena kau tinggal di rumahku."
"Kalau kau tidak mengijinkan aku tinggal di sini, buanglah aku ke laut atau ke dalam hutan. Mudah 'kan?"
"Hutan itu bagian dari pulau ini. Dan pulau ini adalah milikku. Menurutlah, Miss Montano."
Beverly menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Astaga. Kenapa kau keras kepala sekali? Aku heran, kepalamu yang keras itu bisa terluka saat terbentur kaca."
"Aku yakin kepalamu juga kan pecah jika aku mebenturkannya ke tembok."
"Maka, lakukanlah." Tantang Beverly.
Jackson mendaratkan bokongnya di atas ranjang. Sementara Beverly semakin geram melihat pria itu berada terlalu dekat dengannya. Beverly mencium bau anyir yang menguar dari baju Jackson yang terkena darah. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Jackson tiba-tiba.
"Mandi." Sahut wanita itu seraya berjalan mendekat ke arah Jackson. Beverly berhenti tepat di hadapan Jackson, menjulang tinggi di depan wajah pria manis itu. "Jangan bergerak." Titahnya. Beverly menarik kaos Jackson hingga melewati kepalanya. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati karena takut membuat luka Jackson semakin parah. Setelah itu, Beverly membuang kaos penuh darah itu ke dalam ranjang pakaian kotor. "Keluar dan mandilah."
"Tidak mau." Ucap Jackson. Harus diakui, jantung sialannya kembali melompat-lompat karena perlakuan Beverly. Astaga, penjahat macam apa dirinya?
"Terserah kau saja. Aku mau mandi."
"Tunggu." Jackson menangkap pinggang Beverly saat wanita itu mulai berbalik. Sedetik kemudian, ia menyesali tindakan bodohnya. Namun, karena semua sudah terlanjur, Jackson tidak menarik tangannya. Membiarkan kedua tangan itu di pinggang ramping Beverly. "Karena kau sudah membunuh tunanganku, kurasa tidak ada salahku jika aku menjadikanmu fantasi s*x ssebagai pengganti tunanganku."
Ya Tuhan, Jackson lagi-lagi menyesali perbuatannya. Mulut sialannya kembali berkhianat. Otaknya memerintah untuk menyiksa Beverly dengan cara apa pun. Namun hatinya justru berkata lain.
"Apa kau yakin?" tanya Beverly tenang.
"Tentu." Jawab Jackson dengan nada sedikit ragu. Jackson yakin Beverly menyadari keraguannya, tetapi ia tidak bisa mundur sekarang. Jackson ingin menyiksa wanita itu dengan cara memalukan jika tidak bisa menyiksa fisik wanita itu. "Tugasku menyiksamu. Jika kau masih ingat itu."
Tanpa diduga Jackson, Beverly justru terbahak dan menatap Jackson dengan tatapan meremehkan. "Jangan salahkan aku jika kau yang nantinya akan tersiska." Bisik Beverly tepat di telinga Jackson. Beverly meniup leher dan teinga Jackson. Pria itu menegang seketika. "Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Buka bajumu." Perintah Jackson. Jackson memandang Beverly dengan senyum meremehkan, padah sebenarnya jantungnya jungkir balik karena ucapannya sendiri.
"Dengan senang hati." Ucap Beverly. Wanita itu lalu membuka kaosnya tepat di depan wajah Jackson. "Sudah cukup?" tanyanya setelah menanggalkan baju.
Jackson tampak ragu. Lalu ia berkata, "Belum semuanya. Bagaimana dengan ini?" Jackson menarik pinggang Beverly untuk lebih dekat dengannya, hingga buah d**a Beverly menabrak wajahnya. Lalu, kedua tangannya merambat ke bagian punggung Beverly dan melepas pengait bra di sana. "Aku ingin melihat ini juga."
"Kau bahkan boleh memilikinya." Tantang Beverly. Wanita itu tersenyum melihat sorot frustasi dari mata Jackson. Beverly menunduk, menyapukan bibirnya di bibir Jackson dengan sangat hati-hati. "Aku milikmu, Jackson."
**
Beverly mungkin sudah gila dengan menawarkan tubuhnya pada pria yang terobsesi ingin membunuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Beverly yakin kalau Jackson memiliki ambisi lain selain membunuhnya. Dan yang ia takutkan adalah jika kelak Jackson mengancam nyawa kakak, kakak ipar, kepoanakan serta ayahnya. Beverly tidak akan rela melihat orang-orang yang disayanginya menderita karena ulahnya. Jika ia dibunuh, Beverly tidak keberatan karena itu sudah mejadi resikonya.
"Kau, jalang paling murahan yang pernah aku kenal. Bisa-bisanya kau menawarkan tubuhnya pada pria yang bahkan tidak kau kenal." Sindir Jackson. Sejauh ini, Beverly sadar betul kalau dialah yang selalu memenangkan pertempuran dengan Jackson. Beverly selalu berhasil menjag emosinya meskipun sebenarnya ia sangat gugup. Dan ketika Jackson melontarkan kata-kata pedas itu, Beverly berusaha tetap tenang.
"Kau boleh memanggilku jalang. Aku tidak marah." Ucapnya lirih. Beverly menyapukan jemarinya di sepanjang garis wajah Jackson. Pria itu memejamkan mata, seolah menikmati sentuhannya. "Kau bahkan boleh meniduriku jika kau mau. Biasanya, pembunuh yang baik akan memanfaatkan tubuh lawannya sebelum ia menghabisi lawannya."
Jackson membuka matanya. "Tawaran yang menarik." Pria itu lalu meraih bibir Beverly dan mengecupnya lama. Jackson membanting tubuh Beverly di atas ranjang dan menindih wanita itu. Beverly bisa merasakan gairah Jackson yang mulai bangkit. Dan wanita itu jelas sangat gugup dengan posisi mereka sekarang.
"Kau siap?" tanya Jackson dengan tatapan bak singa yang siap menerkam mangsanya.
"Aku selalu siap." Beverly menetralkan napasnya. Ia meraba d**a Jackson dan mulai menyusuri d**a bidang itu dengan jemari lentiknya. Jackson mendominasi permainan bibir mereka. Sementara Beverly mulai mengalihkan tangannya di bagian paling intim Jackson. Pria itu mengerang.
"Cukup!" Jackson bergegas meninggalkan Beverly yang masih diam di atas ranjang. Ia berdiri tegap dan memindai setiap inci kulit lembut Beverly yang menyatu dengan dirinya. "Kau boleh mandi sekarang."
Beverly tersenyum senang, lagi-lagi memasang topeng tak kasat mata di wajah cantiknya. "Terima kasih." Ucapnya seraya berdiri lalu mengecup pipi Jackson dan berjalan menuju kamar mandi.
Beverly menoleh sekilas. Dapat dilihatnya punggung Jackson yang masih tegang dan napas pria itu yang masih terengah. Beverly sadar, kelak ia akan mati di tangan pria bernama Jackson itu. Namun, ia tidak peduli. Keluarganya berhak hidup bahagia tanpa harus menanggung bebah darinya.
Setengah jam kemudian, Beverly selesai dengan ritual mandinya. Aroma lavender menyeruak dari tubuh indahnya. Sementara aroma mint menguar dari rambutnya. Beverly keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan celana dalam. Rambutnya sudah hampir kering dan ia sudah mengeringkan tubuhnya terlebih dahulu ketika masih di dalam kamar mandi.
Beverly tersentak mendapati Jackson masih duduk di ranjangnya. Pria itu tampak terlihat jauh lebih baik. Tidak ada sisa darah di tubuhnya. Jackson tidak mengenakan baju, hanya memakai celana kolor yang selalu membuat Beverly harus bersabar karena otot-otot Jackson yang selalu berhasil membuat perutnya mual.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Beverly santai. Wanita itu berjalan santai melewati Jackson. Beverly bisa merasakan tatapan panas Jackson saat pria itu memindai tubuhnya.
"Menunggumu mandi. Apa yang kau lakukan selama di kamar mandi?"
"Tidak banyak. Hanya menyapukan sabun ke seluruh tubuhku. Aku harus berusaha keras karena tanganku sering kali kesulitan mencapai punggungku." Beverly berhenti di depan lemari. Ia lupa, Jackson belum menyiapkan baju ganti untuknya. Beverly memejamkan mata, sekarang, ia merasa seperti seorang model pakaian dalam yang berdiri di depan kamera dan siap melakukan pemotretan.
"Mungkin lain kali aku bisa membantumu." Tawar Jackson.
"Ide bagus." Sahut Beverly dengan nada tenang. Wanita itu kemudian berbalik. "Apa kau masih punya pakaian layak untukku?"
"Ini." Jackson melempar sepasang pakaian dalam serta setelah celana panjang dan juga kemeja untuk Beverly. "Pakai itu. Dan siapkan sarapan untukku." Titah Jackson.
Beverly mengambil baju-baju itu dan memakainya di depan Jackson. "Apa kau sudah mandi?"
"Sudah." Jawab Jackson singkat.
"Oh, cepat sekali?"
"Cepatlah. Aku sudah lapar!" bentak Jackson lagi.
"Maaf, aku tidak bisa memasak."
"Kalau begitu, aku akan memakanmu. Kalau kau tidak mau memasak untukku. Maka kau harus siap untuk kumakan."
"Silakan. Makan aku jika itu bisa membuatmu senang."
Beverly tertawa dalam hati melihat ekspresi Jackson. Pria itu semakin lama terlihat semakin frustasi menghadapi dirinya. rasakan kau, jacskson! Kau pikir kau bisa menyiksaku? Kita lihat siapa yang menderita di sinii!