15

2376 Words
Aku menatap Lily yang masih terbaring di tempat tidur. Lily sudah berkorban banyak untukku. Dia tidak bisa melakukan lebih dari ini. Dengan Karlakinan membuncah, aku menekan nomor telepon Acasa Manor, berharap ada seseorang yang akan menjawab panggilanku. Dan aku benar-benar beruntung saat Alby-lah yang menjawab telepon itu. “Kau ingin bicara dengan siapa, Lady?” “Kalau Navaro ada, aku ingin bicara dengannya.” “Navaro ada, tapi dia sedang tidak bisa menjawab panggilanmu.” “Bagaimana dengan Wren? Aku butuh mereka segera saat ini juga. Lily dan Gavriel terluka parah. Kami berada di Padure Castel saat ini.” “Akan kulihat.” Bisiknya sebelum keheningan menghampiriku. Beberapa saat aku mendengar suara-suara walaupun samar. Sepertinya Navaro memang ada disana dan Alby memberikan teleponnya pada Navaro. “Ada apa, Milady?”tanya suara itu. Entah kenapa suara malaikat angkuh itu berhasil membuat hatiku tenang, kehangatan mendadak muncul di seluruh tubuhku. Karena itulah aku berhasil menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi pada kami sebelumnya. “Aku diburu, Gavriel dan Lily terluka parah. Saat ini kami ada di Padure Castel_aku harap kau tahu tempatnya_dan aku mohon padamu bawa Wren. Aku tidak ingin Lily terlibat lebih jauh lagi dari ini.” “Sialan. Separah apa mereka?” “Sayap Lily nyaris bolong, dan Darahnya baru saja berhenti mengalir setelah aku membuatkan sedikit ramuan. Gavriel tidak bisa meminum ramuan yang kuberikan. Dia vampir.” “Dimana Nicole?” “Nicole tidak ada. Dia pergi sehari setelah aku kembali. Kau harus segera kesini bersama Wren.” “Sial, aku tahu itu. Tunggu saja disana. Padure Castel aman selama pemburu itu tidak memiliki sedikitpun darah Wren dan Aleandro. Kami akan segera kesana.” Ucapnya tegas lalu mengakhir telpon bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.   Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur saat aku mendengar suara-suara pelan disekitarku. Aku berusaha membuka mata dan menurunkan kaki, tapi aku tidak bisa melakukannya. Seingatku, aku tertidur di sofa di samping ranjang Lily, tapi sekarang aku sedang berbaring disebuah ranjang entah dimana. Dengan kesadaran yang kukumpulkan dengan paksa, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar. Ternyata kamarku adalah kamar yang berada tepat di sebelah kamar Lily, dan suara-suara yang kudengar itu berasal dari kamar Lily. Dengan sangat perlahan aku meraih gagang dan membuka pintu ganda besar itu. Di pinggir ranjang, Wren duduk sambil membelai sayap Lily yang terluka. Tidak jauh dari mereka, Navaro berdiri dengan gayanya yang angkuh sambil menatapku. Pemandangan ini, sekali lagi membuat hati kecilku iri. Lily dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya dan mencemaskannya. “Kami sudah memutuskan, Eliza.” Bisik Wren sambil mengalihkan tatapannya dari Lily padaku. “Aku akan membawa Lily dan kau ke Centre of Picasa sekarang. Disana tempat berkumpulnya semua orang kepercayaanku. Tidak mudah bisa menerobos masuk tanpa kehilangan nyawa disana. Kau akan aman disana.” “Aku juga sudah memutuskan, Wren. Aku tidak akan pergi kemanapun. Yang aku butuhkan hanya bersembunyi sampai malam bulan purnama bulan depan. Aku sudah menghitungnya, kalau Cenobia tidak mendapatkan darahku sampai saat itu, dia selamanya tidak akan pernah bisa mendapatkan kekuatannya.” Ujarku yakin setelah memikirkan keputusan ini beberapa saat setelah menelepon Navaro tadi. “Dan karena itu aku mohon padamu, Navaro, bisakah kau membantuku bersembunyi? Seperti yang kau lakukan pada rumah ini? Tersembunyi dan tak tersentuh.” Navaro terkejut dengan permintaanku yang sangat mendadak itu. Dia bahkan tidak mengucapkan apapun saat Wren bangkit dari tempat tidur Lily dan berjalan menghampiriku seolah ingin membedah kepalaku, melihat apakah ada sesuatu yang salah disana. “Aku menawarkan perlindungan, dan kau menolaknya?” “Aku menolaknya karena aku tahu itu akan membahayakan orang yang berharga dalam hidupku.” Jawabku terlalu cepat, tidak memikirkan kalau kalimatku itu bermakna ganda. “Dan kau memilih mengorbankanku karena kau membenciku, bukan?” Tanya Navaro yang akhirnya bersuara. Aku terdiam. “Entahlah. Aku hanya tahu kalau kau-lah satu-satunya yang bisa menyembunyikanku dengan baik kalau aku masih ingin hidup sampai bulan purnama bulan depan.” Bisikku pelan. Tidak ada yang berkomentar. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Wren mungkin sedang memikirkan betapa benarnya aku tentang masalah ini. Melindungiku hanya akan membahayakan Lily dan juga dirinya. Dan aku tahu dengan pasti kalau Wren akan melakukan apapun untuk menjauhkan Lily dari bahaya sekecil apapun. Sedangkan Navaro mungkin sedang memikirkan apa untungnya dia menolongku kali ini. Atau bisa saja dia sedang memikirkan apa yang akan dia minta sebagai imbalan karena sudah menolongku. Malaikat, apalagi yang seangkuh dia, pasti tidak akan bersedia menolong dengan cuma-cuma_kecuali saat dia menolong Wren tentunya. “Bawa Lily pulang, Wren. Aku akan tetap disini bersama dia.” Ujar Navaro sangat mendadak, membuatku sukses tersedak udara karena benar-benar terkejut mendengar apa yang malaikat itu ucapkan. “Dan aku akan membantumu dengan cara yang kuinginkan, Elizabeth.” Sambungnya dengan nada yang tetap angkuh. Tapi rasanya itu sudah bukan masalah lagi bagiku. Setidaknya sampai bulan depan, aku harus bisa menahan kebencianku padanya_termasuk menahan keinginanku untuk menyentuh sayap dan bagian lain dari tubuhnya yang indah. Wren menatap Navaro dan aku bergantian. Dia jelas sedang memikirkan untuk membedah otak kami bersamaan. “Pertama kali melihat kalian berdua bertemu, aku tahu kalian mirip satu sama lain. Keras kepala dan semua kegilaan itu...” Ujarnya geram. “Dengarkan aku, kalian boleh melakukan apapun yang kalian inginkan, tapi ingat, jangan memaksakan diri untuk menghadapi bahaya seorang diri. Hubungi aku kapanpun, aku akan ada untuk kalian.” Untuk pertama kalinya, aku menghampiri Wren dan memeluknya. “Terima kasih untuk segalanya. Aku tidak tahu bisa membalas semua ini atau tidak.” Wren membalas pelukanku dan sesaat aku merasa seperti di peluk oleh saudara lelaki-ku. Tangannya membelai rambutku lembut dan sesekali mengetukkan jarinya pelan dikepalaku. “Tetaplah hidup. Hanya itu yang kuminta. Lily tidak memiliki siapapun selain kau dan Sara. Dia sangat menyayangimu hingga dia bisa mengabaikanku.” Ucap Wren lembut. Vampir, adalah makhluk yang memiliki jiwa. Bahkan mereka bisa lebih peka terhadap perasaan orang lain dibandingkan manusia yang katanya manusiawi. “Bergegaslah. Lily sudah melewati masa kritisnya. Dia sedang berada dalam masa Anaktisi saat ini, tapi kita tetap tidak tahu kapan dia akan sadar. Dan kalau dia sadar saat masih berada disini, kau harus membuatnya pingsan lagi untuk bisa membawanya pergi.” Ujar Navaro serius. “Ah, aku harus mengingatkanmu satu hal, teman. Saat seorang malaikat sadar setelah melalui masa Anaktisi, dia akan bertambah kuat. Berdoalah Lily tidak mendapatkan bakat malaikat sejauh itu, karena kenyataan kalau dia menyembuhkan dirinya sendiri dengan masa Anaktisi membuatku yakin kalau dia mendapatkan lebih dari setengah gen Lucifer.” “Aku tidak ingin melihat kebodohanmu lagi, Navaro.” Ucap Wren sebelum menghampiri Lily dan membopong gadis itu dalam pelukannya. “Aku akan pergi. Jaga diri kalian.” Pamitnya sebelum keluar dari kamar. Setelah Wren dan Lily pergi, hanya ada aku dan Navaro di dalam kamar ini. Beberapa menit kemudian terdengar suara helikopter mengudara. Aku terlalu memikirkan keadaan Lily sampai aku tidak menyadari kalau Navaro kini sudah berdiri di sisiku. “Istirahatlah, kau sudah melalui hari yang sangat berat.” Bisiknya lembut. Dan kata-kata itu benar-benar seperti obat penenang bagiku. Semua ketegangan dan rasa cemas kembali hilang. Tanganku refleks menggapai tangan Navaro saat malaikat itu berjalan menjauhiku. Dia berbalik dan menatapku bingung. Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan ini. Semua ketegangan sebelum ini, semua serangan itu, dan mungkin karena jauh di dalam hatiku aku tidak benar-benar membencinya. Tidak ada manusia yang sanggup membenci malaikat seindah dia. “Aku sangat bahagia kau ada disini... Ini membuatku yakin dibalik semua ketakutan ini, betapa indahnya duniaku.” Bisikku pelan. Aku tidak tahu entah siapa yang memulainya saat aku menyadari kini bibir kami sudah bersentuhan. Navaro menciumku tanpa kelembutan sedikitpun, rasa laparnya, hasratnya, semuanya bisa kurasakan saat bibir lembut itu melumat bibirku. Kini aku mengerti kenapa banyak wanita yang sering mengatakan kakinya selalu lemas saat dicium oleh seorang pria. Itulah yang terjadi pada diriku. Kalau Navaro tidak memelukku, aku yakin pasti sudah jatuh saat ini. Lidahnya sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk membalas ciumannya. Dengan cepat lidah Navaro menerobos masuk dan menggodaku berkali-kali. Secepat apa ciuman itu terjadi, secepat itu juga Navaro menjauh dariku. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Kedua tangannya menangkup pipiku, dahi kami bersentuhan. “Pergilah ke kamarmu, Elizabeth. Aku tidak punya pengendalian lebih dari ini.” Bisik Navaro serak.   *Author POV* Eliza menatap Navaro tidak percaya. Malaikat di hadapannya ini sekarang sedang berjuang mengendalikan hasratnya pada Eliza. Dan setelah semua yang terjadi, Eliza hanya ingin menikmati waktu-waktu dimana dia bisa bersenang-senang. Tangan Eliza membelai kulit lengan Navaro dengan lembut. “Kalau begitu, jangan menahan diri, Navaro. Bantu aku melupakan semua ketakutan hari ini.” Bisiknya lembut. Sambil menggeram kesal karena rapuhnya kendali dirinya, Navaro membopong Eliza ke atas ranjang dan mencium Eliza hingga wanita itu kehabisan nafas. “Hentikan aku sekarang.” Geram Navaro sambil memasukkan tangannya kedalam blus yang dikenakan Eliza dan membelai pinggang berlekuk wanita itu. “Jangan berhenti.” Balas Eliza teBerngah dengan sentuhan Navaro yang nyaris membuatnya tidak bisa bernapas itu. Navaro membuka beberapa kancing pakaian Eliza dan dengan sedikit bantuan dari Eliza, pakaian itu berhasil di buang Navaro ke sofa terdekat. Jemari Navaro mulai membuka bra Eliza saat tangan Eliza dengan takut-takut menyentuh d**a Navaro yang masih tertutup pakaian. “Bolehkah aku membukanya?” Tanpa menjawab sedikitpun Navaro menjauhkan tangannya dari tubuh Eliza dan membiarkan wanita tanpa pengalaman itu menyentuhnya, membuka pakaiannya. Navaro dapat merasakan gemetar jari Eliza saat wanita itu berusaha membuka kancing kemeja yang Navaro kenakan. Navaro terkekeh pelan melihat usaha Eliza yang sama sekali tidak mengalami kemajuan, dan dengan satu jentikan jari, kemeja yang Navaro kenakan sudah lenyap begitu saja. “Kau bisa melakukan hal itu juga?” Tanya Eliza takjub dengan kemampuan Navaro dan dengan keindahan yang terlihat jelas di hadapannya saat ini. “Lain kali aku akan mengizinkanmu melakukannya dengan perlahan. Hanya saja saat ini hal itu seperti ingin menguji kesabaranku lebih jauh.” Gumam Navaro kembali menyentuh Eliza dengan kelembutan yang menyiksa wanita itu. Dengan cepat Navaro berhasil menanggalkan semua sisa pakaian Eliza dan menatap wanita itu kagum. “Lebih dari yang kubayangkan selama ini.” “Kau membayangkanku?” “Demi Tuhan, aku juga laki-laki, dan kau makhluk pertama yang kuizinkan tidur di sayapku. Aku sudah membayangkanmu sejak hari aku bertemu denganmu di Whiteheaven gadis berjelaga. Semua kotoran itu tidak menghalangiku menyadari apa yang ada dibaliknya.” Wajah Eliza langsung merona mendengar ucapan Navaro. Kalau Navaro jujur, maka malaikat itu sudah membayangkannya sejak 8 bulan lalu! Navaro merendahkan tubuhnya dan menyentuhkan bibirnya sekilas di bibir Eliza, sebelum mulai mencium wajah Eliza lalu turun ke lehernya dan berhenti cukup lama di ceruk kecil tulang selangka Eliza. Tangannya bermain di sekujur tubuh polos Eliza sampai menemukan gundukan lembut di d**a Eliza, berlama-lama menyentuh, menggoda, dan memijat lembut p******a Eliza. Navaro kembali menjelejahi lekuk tubuh Eliza dengan bibir dan tangannya seakan dia baru kali ini bertemu seorang wanita. Menyentuhkan jemarinya di tempat-tempat yang sensitif di tubuh Eliza sebelum kembali mencium bibir wanita itu. Tiba-tiba saja Navaro mengembangkan sayapnya, butiran halus keemasan berjatuhan dari sela-sela bulunya, menghujani tubuh Eliza. Navaro mengambil butiran halus itu dengan telunjuknya dan memasukkan jarinya ke dalam mulut Eliza. Reaksi spontan Eliza adalah menjilat butiran itu dan menghisap jari Navaro, membuat malaikat itu mengerang parau. Tapi Eliza sama sekali tidak tahu kalau butiran itu kini membuatnya semakin merasa panas dan semakin banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya, membuatnya mengerang penuh hasrat. Wajah Eliza yang nyaris o*****e itu membuat kendali terakhir Navaro hancur berantakan. Dengan sekali sentakan Navaro membuka kancing celananya dan menghujamkan dirinya ke dalam tubuh Eliza. Pekikan kesakitan meluncur mulus dari bibir wanita itu membuat Navaro sadar kalau ini adalah pengalaman pertama Eliza. Dengan lembut dipeluknya Eliza dan dikecupnya bibir wanita itu. “Sakitnya hanya sebentar.” Bisik Navaro sangat lembut yang dibalas Eliza dengan anggukan yakin. “Jangan berhenti.” Bisik wanita itu saat dia merasa Navaro tidak bergerak sama sekali. “Aku akan gila kalau melakukannya.” Balas Navaro yang langsung bergerak perlahan di dalam tubuh Eliza, membuat wanita itu mengerang nikmat berkali-kali sebelum mereka berdua mendaki puncak bersama, dan terjatuh ke dalam lembah penuh kenikmatan.   Berjam-jam kemudian Eliza dan Navaro berbaring bersama di ranjang. Keduanya sama-sama kelelahan akibat percintaan mereka yang sangat panas. Eliza sama sekali tidak menyangka kalau dirinya bisa seliar itu saat bersama Navaro, apalagi untuk yang pertama kalinya. “Kau cantik.” Bisik Navaro sambil memainkan rambut Eliza dengan jari-jarinya. “Apa gunanya menjadi cantik kalau ini hanya membawa kesialan dalam hidupmu?” Tanya Eliza pelan. “Bukan kecantikan itu yang membawa semua masalah dalam hidupmu.” “Tapi ‘dia’ juga salah satu yang menambah masalah dalam hidupku. Aku terlalu mudah dikenali sebagai bukan manusia dengan wajah ini.” Bisik Eliza. Navaro mengecup dahi Eliza lama, sebelum bersuara. “Bahkan penyihir sekalipun adalah seorang manusia. Darah penyihir dalam tubuhmu adalah bukti kau juga manusia.” “Ibuku... Dia juga mengatakan itu padaku.” “Katakan padaku. Kenapa kau_yang memiliki Darah setengah vampir_tetap menua Layaknya manusia biasa? Kecantikan dan semua keindahan fisik yang kau miliki jelas akibat kau memiliki Darah vampir, jadi seharusnya kau tidak menua secepat ini.” Tanya Navaro tanpa melepaskan tangannya dari tubuh Eliza. Dahi Eliza berkerut, berpikir apakah dia bisa menceritakan sebagian kisah hidupnya itu pada Navaro atau terus menyimpannya sendiri. Entah kenapa pilihan menceritakan kehidupannya pada Navaro menjadi pilihan yang sangat menarik bagi Eliza. “Ibuku yang mengajarkanku membuat ramuan itu. Ramuan untuk menghilangkan efek Darah vampir dalam tubuhku. Ramuan itu benar-benar kuat karena bukan hanya keabadianku yang dihilangkannya, tapi juga sedikit kekuatan vampir yang kumiliki. Ramuan itu seakan menetralkan Darah dalam tubuhku dan membuatku Layaknya manusia biasa kecuali semua keadaan fisik yang kumiliki.” “Apa kau benar-benar tidak ingin menyicipi rasanya keabadian?” Eliza hanya terdiam selama sesaat. “Ayahku pernah bilang kalau menjadi abadi bersama orang yang kau cintai itu sangat menyenangkan. Kau juga bisa melihat segala perubahan di dunia. Tapi yang paling menyakitkan dari suatu keabadian adalah saat orang-orang yang kau sayangi meninggal satu per satu, kau akan menjadi satu-satunya orang yang terus hidup dengan kenangan itu.” “Vampir yang bijak.” Gumam Navaro sambil membelai lengan Eliza lembut. “Tidurlah. Aku akan tetap disini.” Ujar malaikat itu sambil menyusupkan tangannya dibawah tubuh Eliza dan memeluk wanita itu. “Jangan memelukku. Ini hanya akan membuatku tidak bisa melepaskanmu.” “Kalau begitu jangan lepaskan aku.” Balas Navaro ringan bahkan tanpa memikirkan apa makna ucapannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD