12

2331 Words
*Author POV* Keberuntungan mungkin sedang berpihak pada V.I yang saat itu mendapatkan hari liburnya setelah bertahun-tahun meWrenani Cenobia de Avnas. Bau Darah itu mengingatkannya akan seseorang yang dulu sekali pernah diburunya. Dan memang hanya gadis itulah yang memiliki bau Darah seperti ini karena Cenobia hanya pernah menyegel Darah satu orang. Aku menemukannya, Ratuku. Bisik V.I dalam pikirannya, tidak terlalu yakin kalau sang Avnas mendengar panggilannya. Dimana dia, V.I? Sahut sebuah suara di dalam pikiran V.I London. Awasi dia terus. Manusia itu sudah terlalu lama mendapatkan kebebasannya. Dan kalau saatnya tiba, bawa dia kehadapanku. Tentu, Milady. V.I berhasil mengontak sang ratu melalui pikirannya, dan dia sudah berniat akan mendekati Eliza saat sebuah aura menutupi keberadaan Eliza. Aura yang sangat kuat bahkan bisa menutupi bau darah yang V.I rasakan sebelumnya. Dan V.I belum pernah merasakan atau bertemu dengan makhluk apapun yang memiliki aura sekuat ini kecuali Her Grace, Cenobia de Avnas.   Dan jauh di benua lain, seorang wanita bangkit dari ranjangnya yang mewah. Berjalan pelan ke jendela dan menatap hutan yang terbentang luas disana. Tubuhnya yang semakin lemah membuatnya tidak bisa pergi jauh dari curianya. Dan untuk mengembalikan kekuatannya, harus ada yang dikorbankan. “Elizabeth Wilkinson. Jangan salahkan aku karena menginginkanmu. Salahkan kedua orang tuamu yang mewariskan Darah itu di tubuhmu. Aku membutuhkan kekuatanku untuk membalas mereka semua.” Bisiknya pelan. Dengan tangan-tangannya yang pucat dan kurus, wanita itu menyentuh kaca jendela. Sedetik kemudian, kaca jendela pecah berkeping-keping dan api berkobar membakar hutan. Cenobia de Avnas siap memulai kembali apa yang sempat tertunda selama 20 tahun untuk membuatnya kembali memiliki kekuatan tak terkalahkan, membalas mereka yang membuangnya dari kemewahan yang dulu dimilikinya.   Sementara itu di Acasa Manor, Lily mondar mandir di hadapan Eliza yang sedang berbaring di tempat tidurnya setelah diperiksa dokter_yang menyatakan kalau Eliza hanya butuh istirahat karena untungnya tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Wajah wanita itu jelas menunjukkan kekesalannya. Dan Eliza cukup pintar untuk tidak mulai memancing kekesalan sahabatnya itu. Sesekali Lily berhenti, menatap Eliza tAdamam, dan kemudian kembali berjalan mondar-mandir. “Kau...” Geram Lily tiba-tiba. Tapi wanita itu tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya mengibaskan tangan dan kembali mondar-mandir. “Aku tidak percaya kau merahasiakan hal ini dariku, Eliza.” “Kalau bisa, aku ingin merahasiakannya dari setiap orang di muka bumi ini.” Sahut Eliza datar. Lily berhenti mendadak dan menghampiri Eliza, duduk di sisi ranjang yang kosong. “Kau kejam sekali merahasiakan ini dariku. Kau sudah seperti kakakku. Katakan padaku. Siapa saja yang mengetahuinya?” “Hanya tiga orang sebelum kau mengetahuinya.” “Siapa mereka?” “Nicole, suamimu dan teman malaikatnya.” Lily melompat gusar. “Demi Tuhan! Bahkan Wren juga tahu? Dan dia sama sekali tidak memberitahukan masalah ini padaku?” “Aku akan merasa sangat aneh kalau Wren memberitahukannya padamu. Apa yang memburuku bukan sekedar hunter, Lily. Ini akan membahayakan siapapun yang terlibat denganku. wajar kalau Wren tidak memberitahukannya padamu.” “Baiklah. Anggap saja aku memaafkanmu tentang yang satu itu. Jadi, inikah alasan kenapa kau selalu harus ditemani oleh seseorang saat keluar dari Whiteheaven?” Eliza mengangguk pasrah. “Ya. Aku sangat egois bukan? Dengan membawa orang lain bersamaku, aku mungkin akan menyebabkan kematian orang itu. Padahal kalau aku bersedia menyerahkan diriku sendiri, mungkin tidak akan ada yang terluka.” “Jangan bodoh!” Sergah Lily. “Aku pernah melakukan tindakan yang jauh lebih egois daripada itu yang pada akhirnya nyaris membuat kami semua tewas. Jangan harap aku akan membiarkanmu berbuat hal bodoh yang sama. Dengarkan aku... Wren memiliki lebih dari cukup vampir yang sangat kuat. Kita mungkin bisa meminta bantuan Zac ataupun Aleandro kalau masih tidak aman. Mereka pasti tidak akan keberatan.” “Mereka mungkin tidak akan keberatan, apalagi kalau suamimu yang memintanya. Tapi sampai kapan, Lily? Sampai kapan aku harus menyusahkan mereka untuk menjagaku sementara aku tahu kalau mereka juga punya urusan yang jauh lebih penting daripada sekedar menjaga makhluk berdarah kotor sepertiku? Lebih baik aku kembali ke Whiteheaven. Disana, tidak akan ada yang menyentuhku.” Lily terdiam sejenak. Dia menatap Eliza, berusaha mencari ketakutan pada wajah sahabatnya itu. Tapi Eliza, sudah berhasil mengatasi ketakutannya sejak sebelum memasuki Acasa Manor agar Lily tidak cemas. “Benarkah kau ingin kembali ke Whiteheaven?” Tanya Lily tiba-tiba. Eliza bangkit dari ranjangnya, menahan nyeri di perutnya dan menghampiri Lily. “Aku senang berada disini. Tapi faktanya, aku hanya akan membuat kalian berada dalam bahaya, selain itu selama aku di Whiteheaven, tidak akan ada yang menyentuhku disana.” “Baiklah. Tapi berjanjilah kalau kau akan segera memberitahuku kalau terjadi sesuatu.” Bisik Lily sambil memeluk Eliza. “Aku akan minta tolong pada Navaro untuk mengantarmu ke cottage.” “Aku pasti akan merindukanmu.” “Aku yang akan mengunjungimu. Sampaikan salam dan permintaan maafku pada Nicole karena tidak bisa melindungimu.” Ucap Lily lirih. Eliza memukul kepala Lily pelan. “Jangan bodoh, anak manja.”ujar Eliza. “Kau sudah melakukan yang terbaik. Terkadang takdir selalu suka bermain dengan makhluknya.”   Dua jam kemudian Eliza sudah berada di dalam helikopter bersama Navaro. Tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. “Elizabeth.” Panggil Navaro cukup pelan tapi reaksi yang diberikan Eliza adalah tersentak dari tempat duduknya. Dan kalau dia tidak mengenakan sabuk pengaman, Eliza pasti sudah benar-benar melompat ke depan. “Kenapa kau kaget seperti itu?” Tanya Navaro bingung. “Oh.” “Hanya ‘oh’? Tidak bisakah kau menjawab sedikit lebih panjang daripada ‘oh’?” Tanya Navaro lagi, dan kali ini cukup kesal melihat reaksi Eliza Eliza menggeleng cepat, sesaat sempat membuat Navaro takut kalau-kalau kepalanya lepas dari lehernya. “Bukan... Bukan... Begini, coba kau pikir. Kapan kau pernah menyebut namaku? Jawabannya tidak pernah. Wajar saja kalau aku bereaksi seperti itu. Kau selalu memanggilku ‘perempuan’ dan ‘milady’. Ini kejutan untukku.” Ujar Eliza sudah kembali tenang. “Lupakan. Sekarang katakan padaku, apa yang memburumu sebenarnya? Tadi siang saat aku menjemputmu, aku bisa merasakan aura vampir yang cukup kuat di sekitarmu, dan vampir itu bukan dari klan Libra. Dan kau jelas tidak diburu vampir saat vampire hunter sendiri yang melindungimu, setidaknya tidak di Inggris.” Eliza terkesiap. Dia tidak menyangka kalau Navaro akan menanyakan hal ini padanya. “Bagaimana bisa kau membedakan dia klan Libra atau bukan hanya dengan auranya? Bisa saja kau salah mengenalinya.” Tanya Eliza berusaha mengelak menjawab pertanyaan Navaro. “5 abad aku bersama Wren. Dan selama itu juga tidak ada satupun klan Libra yang berusaha mendekatiku saat merasakan auraku. Lagipula, kalau kau sudah hidup selama itu bersama klan Libra, kau bisa membedakan mereka dengan sangat mudah. Aku memiliki banyak waktu untuk mengenali mereka satu persatu.” “Bisa saja dia anggota baru.” Navaro tersenyum dingin. “Tetap tidak mungkin. Keberadaanku disini mungkin bukan sebagai bagian klan Libra, tapi aku berani menjamin, walaupun dia anggota baru, dia pasti sudah mendapatkan ultimatum dari vampir lainnya untuk tidak mendekatiku. Jadi, jangan mengelak lagi. Jawab pertanyaanku.” Eliza terdiam. Memberitahu Navaro sama saja menceritakan salah satu rahasia terbesarnya. Dan Eliza tidak ingin malaikat angkuh ini yang mengetahuinya. Tapi sepertinya Eliza tidak punya pilihan lain. Selain angkuh, Navaro juga seorang malaikat yang sangat keras kepala. Dia akan memburu jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan. “Cenobia de Avnas.” Bisik Eliza sangat pelan dan tiba-tiba. “Apa?” “Kau bertanya siapa yang sebenarnya memburuku bukan? Dan aku menjawabnya.” Sembur Eliza kesal. “Aku mendengarnya. Hanya saja... De Avnas? Rasanya sulit kupercaya.” “Kenapa sulit?” “Karena kalau kau memang benar, Whiteheaven tetap tidak akan bisa melindungimu.” Eliza menatap Navaro kesal. “Apa maksudmu dengan ‘kalau aku memang benar’, ha?” “Avnas adalah salah satu The Fallen Angel yang ikut dibuang bersama Lucifer ke bumi. Dia sudah lama tidak muncul di dunia. Dia tidak terikat perjanjian manapun. Whiteheaven tidak bisa melindungimu dari apapun yang tidak disebutkan dalam perjanjian. Dan The Fallen Angel tidak disebutkan dalam perjanjian manapun.” “Aku tahu. Tapi dia tidak pernah bertemu denganku selama 20 tahun terakhir. Satu-satunya yang bisa membuatnya sampai padaku adalah kalau aku terluka dan mengeluarkan darah seperti hari ini.” Navaro menyipitkan matanya menatap Eliza. “Apa yang dilakukannya pada darahmu?” “Dia menyegel darahku agar setiap kali aku terluka, maka seluruh pengikutnya dapat melacak dimana keberadaanku.” “Kau dalam masalah besar.” “Aku sudah tahu itu sejak aku mengerti kata pertama dalam hidupku.” “Keras kepala.” Gumam Navaro. “Itu kalimat pertama yang kutahu sejak aku pandai bicara.” Navaro menatap Eliza dengan kekesalam memuncak. Banyak sekali orang yang bisa membuat Navaro kesal dengan perbuatan mereka, tapi sedikit sekali orang yang bisa membuat Navaro kesal hanya dengan kata-kata. Dan Eliza selalu berhasil membuat Navaro frustasi hanya dengan jawaban-jawabannya yang sinis. “Tutup mulutmu.” Eliza mengangguk sambil menirukan gerakan mengunci mulut dan membuat Navaro menggeram kesal. Dan tidak ada lagi diantara mereka berdua yang berusaha mencairkan ketegangan yang terjadi di dalam kabin helikopter itu sampai mereka mendarat di tanah kosong tidak jauh dari Whiteheaven. *** *Navaro POV* Beberapa hari yang lalu aku mengantarkan Eliza ke Whiteheaven sebelum kembali ke Windsor. Saat itulah aku mendapati dua orang malaikat muda menunggu di depan pintu Dragoste Hall. Mereka membawakan hadiah dari Zachariel. Hadiah itu adalah dua helai bulu berbeda warna, yang satu berwarna kuning lembut sedikit corak emas, dan yang satu berwarna putih polos. Bulu dari sayap Gabriela dan Zachariel. Mereka mendukungku. Bagus. Aku menyimpan kedua bulu itu di dalam kamarku, di dalam lemari khusus tempat aku menyimpan beberapa senjata malaikat. Dalam kebiasaan para malaikat, saat kau memberikan bulumu pada seseorang, itu artinya kau bersedia memberikan sebuah bantuan pada orang itu kapanpun mereka membutuhkannya. Para anggota Cadre 7 juga sudah memilih wilayah masing-masih. Aku memilih mengawasi London dan sekitarnya, Kieran akan mengawasi Birmingham, Kairav di Manchester, Adam di Liverpool, Javas di Newcastle, Adishree di Norwich, Iksha di Bristol, dan Leela di Plymouth. Sekarang Inggris Raya sepenuhnya dibawah kekuasaanku. Sepertinya Inggris akan menjadi satu-satunya wilayah stabil di dunia selain Amerika Utara. Tidak banyak malaikat yang bersedia bekerja sama dengan makhluk lainnya. Ego kami terlalu tinggi untuk meminta bantuan pada makhluk lain. Satu-satunya alasan kenapa Inggris dan Amerika Utara akan menjadi daerah stabil adalah kenyataan kalau aku dan Jade menjalin hubungan baik dengan makhluk lain yang ada didaerah itu. Aku baru akan bersiap untuk mandi saat aku merasakan aura seseorang. “Tidak bisakah dia memilih waktu yang lebih baik?” Gumamku sambil mengancingkan kembali kemejaku dan berjalan menuju pintu untuk membuka pintu. Lily berdiri di teras rumahku bersama Gavriel_yang kini sudah hampir seperti pengawal pribadinya_sambil tersenyum. “Aku membawakan makanan untukmu.” Ujarnya sambil menyodorkan sebuah keranjang penuh makanan. “Aku curiga.” Gumamku tapi tetap mengambil keranjang itu dari tangan Lily. “Masuklah.” “Tidak perlu. Aku hanya mampir sebentar. Aku akan ke Whiteheaven mengunjungi Eliza.” Sahutnya cepat. “Whiteheaven?” Tanyaku cepat. “Yeah. Dengar... Aku ingin minta tolong sesuatu. Wren sama sekali tidak tahu kalau aku pergi. Dia sedang sibuk di Centre of Picasa dan beberapa syuting yang harus diproduserinya. Jad...” Aku melirik Gavriel cepat. “Dia tidak akan mengatakan apapun. Aku butuh bantuanmu. Kalau Wren mulai membuat keributan, tolong tenangkan dia, katakan saja padanya kalau aku pasti akan kembali seminggu lagi.” Lanjut Lily tanpa melirik Gavriel sedikitpun. “Seminggu? Kau benar-benar ingin membuat Wren membunuhku? Terakhir kali aku membantumu melarikan diri, Wren menghancurkan rumah Aleandro. Aku tidak ingin dia menghancurkan tempat ini juga. Aku menyukai tempat ini.” “Baiklah, kalau begitu katakan saja sesukamu. Toh dia pasti akan menyusulku. Hanya saja kau harus memastikan kalau aku ingin dia membiarkanku bersama Eliza setidaknya sehari saja.” “Apa yang membuatmu meninggalkan Wren seperti ini? Hubungan kalian baik-baik saja kan?” Lily memukul lenganku pelan. “Tentu saja. Aku hanya ingin tahu apa yang membuat Eliza selalu menyembunyikan dirinya dari dunia. Dia berhak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan manusia pada umumnya.” “Lebih baik kau tidak tahu.” Mata Lily menyipit, menyelidikiku. “Kau pasti tahu sesuatu.” “Kalaupun aku mengetahuinya, aku tidak berhak memberitahukan apapun pada siapapun saat Eliza tidak ingin seorangpun tahu, Milady.” “Baiklah. Aku akan ke Whiteheaven dan menanyakannya langsung.” Putus wanita itu keras kepala. “Sampai jumpa, Angel.” Aku hanya memperhatikan kepergian Lily bersama Gavriel. Terkadang Lily bisa sangat keras kepala. Kalau saja dia bukan pasangan Wren dan bukan kesayangan Lucifer, aku ingin sekali mencekik lehernya karena sudah membuatku pusing dengan segala perbuatannya yang selalu membuatku harus berhadapan dengan Wren dan menerima kemarahan vampir itu. Kembali ke kamar dan menikmati hangatnya air di bathtub malah membuatku memikirkan Eliza. Wanita itu sangat kompleks. Terkadang dia bisa bersikap sangat berani saat ingin melindungi seseorang yang dia sayangi seperti saat kami menjemput Lily di Whiteheaven. Dia nyaris menantangku. Begitu juga saat aku menyentuhnya di kamar biru. Tapi terkadang dia terlihat sangat rapuh, seolah sentuhan ringan saja bisa membuatnya hancur. Dia juga memiliki sisi diri yang tidak bisa ditebak. Dan beberapa hari yang lalu adalah puncak kerapuhan Eliza yang pernah kulihat. Duduk sambil memeluk kedua lututnya di sudut gang terdalam diantara bangunan pertokoan, gemetar tubuhnya, tatapan ketakutan di wajahnya, semua itu membuatku benar-benar ingin meremukkan siapa saja yang membuatnya seperti itu. Satu jam kemudian aku kembali mendapatkan tamu. Tapi kali ini tamu tersebut sepertinya tidak memiliki niat baik untuk berkunjung karena begitu aku menyadari kehadirannya, bagian depan rumahku sudah meledak. Siapapun dia, jelas dia tidak pernah memikirkan apa akibatnya menyerang rumah orang lain saat hari masih bisa dianggap terang ini. Bersyukur karena aku setidaknya sudah mengenakan celana, aku langsung melesat terbang melalui halaman belakang. Segerombolan malaikat terbang Rendah di depan Dragoste Hall. Dan diantara para malaikat yang berkumpul di depan rumahku itu, aku bisa merasakan aura Winola, kekasih Uriel selama beberapa abad terakhir. Sepertinya ini bukan serangan untuk merebut wilayah, tapi serangan balas dendam. Dan sialnya, yang turun tangan adalah salah satu malaikat yang dijuluki ratu Mesir, karena kekuatannya yang sama sekali tidak bisa diperkirakan itu. Kieran, Iksha. Tidak ada jawaban. Sial. Dimana mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD