11

2416 Words
Secara keseluruhan acara pesiar kemarin cukup menyenangkan. Kami berlayar selama satu hari satu malam di Selat Channel, menikmati sunset dan sunrise sebelum kembali ke Acasa Manor keesokan sorenya. Selama berlayar Wren dan Lily berhasil membuka sisi diri Eliza yang tidak pernah ditunjukkannya padaku. Kenyataan yang kusadari adalah Eliza benar-benar jauh dari kata jelek dan kusam saat dia membersihkan riasan wajahnya yang sengaja menutupi kecantikannya. Dan momen-momen menakjubkan untuk dapat menyaksikan kecantikannya adalah saat dia akan tidur. Eliza sangat memperhatikan kulitnya hingga dia selalu tidur tanpa riasan dan itu artinya wajah cantiknya hanya dapat dilihat oleh orang terdekat yang bisa melihatnya tidur. Entah kenapa aku seperti kecanduan untuk melihat wajah asli Eliza hingga memilih menginap di Acasa Manor setelah kami kembali dari berlayar. Walau itu artinya akan ada lebih banyak pertengkaran dengan Eliza yang berujung dengan rasa frustasiku yang tidak tersalurkan. Seperti malam ini, entah apa yang membawaku masuk ke kamar hijau_kamar yang ditempati Eliza sejak pertengkaran kami malam itu_hanya untuk melihat wanita itu tertidur pulas. Wajahnya begitu damai, seolah saat tidurlah dia bisa menjadi gadis manis yang sesungguhnya tanpa dilengkapi lidah tajam. Aku berjalan menghampiri tempat tidurnya dan berlutut di sisi ranjang. Aku menjulurkan tangan untuk menyentuh pipinya. “Rapuh.” Bisikku pelan sambil menyingkirkan helai rambut yang jatuh di wajahnya. Rambutnya hitam sepekat malam, cukup panjang untuk dapat dibelai pria yang menjadi kekasihnya dengan penuh cinta. Wajahnya tirus tapi tidak terlalu kurus, dan hidungnya adalah bentuk sempurna dari maha karya Sang Pencipta. Kulitnya perpaduan antara kuning langsat dan putih pucat, yang selalu bisa merona disaat yang tepat. Tanpa sadar mataku menjelajahi tubuhnya. Tidak ada lemak yang berlebih. Segalanya pas dan sangat indah. Aku masih mengagumi kecantikan yang selalu disembunyikannya itu saat bibirnya mulai mendesah dan kemudian suara itu berubah menjadi ringisan ketakutan. Dahinya berkerut dalam, dan butir air mata menerobos keluar dari matanya yang terpejam. Dengan sangat pelan aku menyentuhkan telapak tanganku di dahinya. “Tidurlah. Aku akan mengusir semua mimpi buruk itu.” Bisikku pelan dan dengan kemampuanku, aku melenyapkan mimpi buruk yang menghantuinya.   *Eliza POV* Aku benar-benar bermimpi sangat aneh tadi malam. Sejak kemunculan Navaro aku selalu mendapatkan mimpi aneh. Terakhir kali aku bermimpi aneh, aku jatuh dalam pelukan sang malaikat di ranjangku_atau ranjangnya. Dan tadi malam aku kembali bermimpi aneh. Aku memimpikan Navaro ada di kamarku, menyentuhku dengan sangat lembut dan mengusir mimpi burukku saat tidur. Tapi itu tidak mungkin karena Navaro tidak punya alasan untuk datang ke kamarku apalagi melakukan itu semua. Pesan singkat dari Nicole di ponselku mengingatkanku akan pesanan Nicole sebelum aku berangkat kesini. Dengan cepat aku melesat ke kamar mandi untuk mandi, dan berpakaian secepat yang aku bisa. Setelah memastikan pakaian yang kukenakan sama seperti yang sebelumnya, kaos longgar lengan panjang dengan rok panjang, aku duduk di depan meja rias untuk memulai kebiasaan yang sejak lama kulakukan ini. Menutupi bukti lain dari Darah makhluk abadi dalam tubuhku. Darah vampir dan Darah malaikat terbukti merupakan gen yang bagus untuk mendapatkan keindahan fisik sempurna. Begitu selesai merapikan make up ‘kusam’ diwajahku, aku bergegas turun hanya untuk mendapati penghuni Acasa Manor lainnya masih terlelap. Lily yang dulu selalu bisa bangun lebih cepat dariku kini selalu bangun lebih siang. Aku tidak bisa menyalahkannya karena dia pasti disibukkan oleh Wren. Dan aku juga tidak bisa mendebat kebiasaan bangun penghuni lainnya karena memang tidak ada yang benar-benar ‘manusia’ disini.   “Aku harus pergi.” Ujarku begitu semua penghuni Acasa Manor sudah terbangun dari tidurnya, dan berkumpul di ruang duduk untuk bersantai. Lily langsung menatapku bingung. Kerutan muncul di dahinya. “Maksudku, Lily. Aku harus pergi keluar hari ini. Nicole memintaku membeli beberapa keperluan untuk di cottage.” “Wren, bisakah Gavriel menemani Eliza?” Tanya Lily sambil menyentuh lengan vampir yang duduk di tangan kursi di sebelah Lily itu. Mereka berdua adalah cerminan pasangan bahagia yang aku yakin akan bisa tetap bersikap mesra seratus tahun kemudian. Kulihat Wren berpikir serius. Sepertinya ada masalah. Dan benar saja. Wren menatap Lily sejenak lalu menggeleng. “Ada sedikit masalah, amour. Aku membutuhkan mereka bersamaku satu hari ini, ada rombongan besar kawanan werewolf yang ingin melintasi Inggris untuk sampai ke Wales. Mereka tidak bisa menyebrang dari Bristol, mereka ingin jalan darat dan itu artinya, aku juga akan ikut pengawalan itu. Aku tidak ingin ada kemungkinan mereka tiba-tiba memutuskan untuk menetap di Inggris dan menambah jumlah populasi werewolf disini.” Ujar Wren enggan. “Aku saja yang menemaninya. Aku juga akan ke Dragoste Hall. Aku bisa menemaninya setelah mengurus beberapa hal di Dragoste Hall. Apa kau butuh tambahan orang, Wren?” Tukas Navaro santai, sangat santai, dan itu semakin membuatku kesal padanya. Aku selalu punya kecendrungan untuk kesal saat melihat orang yang selalu bersikap santai saat yang lain serius. Dan Navaro sangat ahli membuatku kesal. “Kau yakin?” Tanya Wren entah untuk tawaran Navaro menemaniku atau untuk tawaran Navaro menambah bantuan. “Kalau dia bisa menungguku sebentar di Dragoste Hall, aku punya waktu seharian untuk menemaninya.” Sahut Navaro lalu melemparkan tatapan penuh arti padaku. Tatapan yang sama yang diberikannya saat aku menolak kembali tidur di dalam kehangatan sayapnya beberapa waktu lalu. Aku tidak akan pernah bersedia naik ke ranjangmu. Sangat disayangkan. Oh tidak! Aku hanya memikirkan ucapan itu dan suara Navaro menggema di kepalaku saat ini. Dia bukan hanya bisa membaca pikiran. Dia bisa masuk ke dalam pikiranku! Aku semakin tidak suka dengannya. Tidak saat aku tahu kalau ada orang yang bisa mencuri privasiku. Aku langsung melemparkan tatapan menusuk padanya, tapi bukan Navaro namanya kalau dia tidak penuh percaya diri. Dengan tenangnya dia membalas tatapanku dengan senyum yang aku yakin sanggup membuat wanita manapun bunuh diri di hadapannya hanya untuk memiliki senyum itu sebagai bekal ke alam baka. “Aku bisa pergi sendiri, Lily.” Ucapku begitu saja, mengacuhkan Navaro. Entah kenapa pilihan antara pergi sendiri dan pergi bersama Navaro malah membuatku memilih untuk pergi sendiri. Setelah menghabiskan satu hari satu malam bersamanya selama pesiar kemarin, aku semakin sadar kalau berada di dekat Navaro tidak baik untuk kesehatan jantung dan pikiranku. Kehadirannya membuatku mau tidak mau harus memikirkannya, dan senyumannya, tingkahnya, apapun tentangnya membuat jantungku berdebar kencang, bercampur dengan rasa kesal setiap kali aku melihat keangkuhan murni dalam setiap gerakannya yang anggun. Lily membelalakkan matanya saat melihatku. “Oh tidak! Yang benar saja. Aku bisa dikuliti hidup-hidup oleh Mrs. Nicole kalau membiarkanmu pergi sendiri.” Sembur Lily. “Wren pasti tidak akan membiarkan seorangpun menyentuhmu, Lily.” “Oh, kau pasti tahu apa maksudku, Eliza. Mrs. Nicole tidak akan memaafkanku.” Tukas Lily sambil menggoyangkan tangannya berkali-kali. “Dia tidak akan tahu.” Sahutku cepat. “Apa pilihan pergi bersamaku begitu buruk? Aku cukup pandai menyetir untuk menghindari kecelakaan kalau itu yang kau takutkan.” Tukas Navaro. “Pilihan itu sangat buruk.” Gumamku pelan, berusaha untuk tidak dapat di dengar siapapun, tapi aku melupakan kalau semua yang ada disana memiliki pendengaran yang sangat peka. Lily menatapku seolah gadis ini sudah memutuskan untuk hidup atau mati. “Kau akan tetap pergi dengan Navaro, Eliza. Aku tidak tahu kenapa hubungan kalian begitu buruk. Aku sadar kalau sikap Navaro terkadang memang menyebalkan, tapi dia cukup baik. Dan sebagai pelindung, dia lebih dari yang bisa kau pikirkan. Aku jamin itu.” Putus Lily seakan aku tidak pernah mengutarakan apa yang kuinginkan. “Begitukah pendapatmu tentang orang yang sudah mengajarimu cara terbang dan bertarung, Milady?” Ledek Navaro. Lily melemparkan tatapan menyuruh diam pada Navaro_seakan Navaro bukanlah seorang malaikat_yang disambut gelak tawa oleh Wren. “Kau memanjakannya, Wren. Sekarang dia terlalu berani padaku.” Gerutu Navaro walau dia sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal. “Oh, aku tidak memanjakannya. Hanya saja selama ini Lily selalu menahan diri untuk menjadi wanita yang lembut dan sangat baik hati. Aku sudah lama berpikir sampai kapan dia bisa menjadi wanita penurut.” Sahut Wren sambil terkekeh pelan. “Aku masih takut padamu, My Lord. Tapi terkadang tingkahmu membuatku tidak bisa menghormatimu. Bersikaplah Layaknya malaikat agung agar aku benar-benar tunduk padamu.” Ujar Lily membela diri. “Dan aku minta tolong padamu, Milord, untuk menjaga sahabatku ini. Dia mungkin agak keras kepala, dan berlidah tajam. Tapi aku tahu kalau kau pasti bisa mengatasinya.” “Lily...” Sekali lagi Lily melambaikan tangannya menyuruhku melupakan protesku itu karena dia tidak akan memikirkannya. “Eliza, pergilah bersama Navaro. Siapa yang tahu setelah hari ini hubungan kalian sedikit lebih baik. Dia tidak seburuk yang kau kira.” Ujarnya ringan. Tiba-tiba Wren berdiri. “Geofrey sudah datang, amour. Aku harus pergi.” Bisik Wren lembut sambil membungkukkan tubuhnya dan mencium Lily penuh kasih. “Dan aku harap kalian tidak bertengkar lagi. Jangan menambah pikiran istriku, Navaro. Dia tidak boleh memikirkan yang lain selain aku.” Lanjut Wren pada Navaro. “Dan kau, Wren. Jangan pernah menantang bahaya. Karena kalau kau begitu ingin mati, aku sendiri yang akan membunuhmu.” Bisik Lily sambil mengedipkan sebelah matanya dan mengamati kepergian suaminya itu Tawa Navaro menyembur keluar. “Kau, Milady, benar-benar berhasil menaklukan sang penghisap Darah. Aku jadi penasaran berapa lama aku harus menunggu untuk dapat melihat kejadian itu. Kau membunuh Wren hanya untuk menjauhkannya dari bahaya.” Ujar Navaro di sela-sela tawanya pada Lily. Lily menatap Navaro dan tersenyum. “Oh, kau tidak akan pernah mendapatkannya. Ini bukan tentang penaklukan, Milord. Ini tentang cinta dan kepercayaan. Suatu hari nanti kau pasti akan menemukan orang yang kau cintai hingga kau bisa mempercayakan apapun padanya, bahkan nyawamu.” “Aku sudah melewati masa dimana aku bisa menyayangi seseorang, Milady.” Bisik Navaro getir. “Jadi, apa kau akan pergi bersamaku?” Tanya Navaro yang kini ditujukan padaku. Aku mengamati Navaro. Aku percaya dia bisa melindungiku dari bahaya. Tapi apa dia bisa melindungiku dari keinginanku menyentuhnya lagi? Entah kenapa rasanya salah kalau aku berdekatan dengannya. “Ayolah, Eliza. Demi ketenangan pikiranku. Aku bisa saja menawarkan diri menemanimu, tapi setelah itu aku akan diseret pulang oleh Wren tidak peduli ada berapa banyak orang yang melihatnya dan dia pasti akan mengurungku di ruang bawah tanah tidak peduli aku menangis atau tidak. Wren masih tidak percaya kalau aku sudah tidak diburu lagi.” Ujar Lily sambil mencuri pandang ke arah Navaro. “Aku tidak bisa menjanjikan apapun, Lily. Tapi aku bisa berjanji kalau Icarus pasti akan menepati janjinya.” Bisik Navaro pelan. “Dan Wren tidak akan melakukan semua yang kau katakan itu. Aku bertaruh dia akan memotong tangannya sendiri daripada harus menyakitimu dalam bentuk apapun.” Aku iri dengan hubungan mereka. Aku tahu kalau Navaro dan Wren sudah bersama bahkan sebelum aku dilahirkan. Tapi Lily? Aku tahu kalau mereka bertiga baru mulai mengenal tidak lama. Tapi kalau siapapun yang melihat cara mereka bertiga bersikap satu sama lain hari ini pasti akan berpikir kalau mereka bertiga mungkin sudah berteman sejak mereka dilahirkan. Aku iri dengan Lily karena dia mudah membawa dirinya untuk dekat dengan siapapun. Aku iri dengan Navaro karena dia aku jadi merasa kalau Lily direnggut dariku setelah Wren melakukan hal itu berbulan-bulan yang lalu. Aku iri dengan semua kehangatan yang ada di rumah ini. “Baiklah... Aku akan bersiap. 10 menit.” Putusku sambil beranjak dari ruang duduk.   “Aku akan berhenti di World Market, kau bisa pergi menyelesaikan urusanmu.” Ujarku begitu kami sudah melAdamu di jalanan London dengan menggunakan salah satu mobil Wren yang disebut Lily dengan Alfa Romeo Spider. Navaro menoleh ke arahku sebelum kembali berkonsentrasi pada jalan. “Aku tidak bisa meninggalkanmu.” Ujarnya datar. “Kau bisa. Lily tidak akan tahu.” “Lily akan menggantungku di tengah sarang buaya kalau dia tahu aku melakukan ini.” Aku menggeleng. “Kalau Lily tahu, dia tidak akan tahu dari mulutku. Aku tidak akan mengatakannya kecuali nyawaku benar-benar terancam bahaya. Dan kalau saat itu tiba, aku tetap akan berkeras kalau aku yang memintamu.” Ujarku cepat. Navaro kembali diam. Sebelum akhirnya mengangguk. “Aku tidak yakin perempuan itu akan percaya. Aku akan pergi paling lama satu jam. Sampai aku kembali jangan pergi kemanapun. Aku akan kembali.” Ucapnya pelan. Beberapa menit kemudian, Navaro sudah melaju sendirian di lalu lintas London, meninggalkanku di depan World Market sendirian. Entah kenapa rasanya siang ini jalanan London tidak terlalu ramai dan membuatku sedikit cemas. “Beranilah, Eliza. Tidak ada hal aneh belakangan ini. Jadi hari inipun kau pasti beruntung.” Bisikku yang kutujukan pada diriku sendiri. Aku benar-benar tidak tahu apakah hari ini hari kesialanku atau hanya aku yang benar-benar ceroboh. Teriakan seorang wanita menarik perhatianku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada seorang wanita yang dirampok. Aku sama sekali tidak berniat menghentikan pria besar itu saat dia berlari tepat ke tempatku berdiri. Dia menabrakku hingga aku terjatuh. Beberapa orang mengejar pria itu tanpa memperdulikanku. Dan sepertinya memang tidak akan ada yang menolongku. Aku berusaha bangkit saat menyadari rasa perih di sisi perut bagian kiriku. Refleks aku menyentuh sumber nyeri itu dan apa yang kulihat tidak membuatku bertambah baik. Darah mulai merembes ke floral blus yang kukenakan hingga kini kelopak bunga putih di bajuku berubah menjadi merah darah. Ya Tuhan! Aku tidak boleh berdarah! Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel dan menekan sebuah tombol untuk panggilan cepat. Sambil menunggu teleponku dijawab, aku berjalan mencari tempat untuk bersembunyi walau aku tidak yakin bisakah aku bersembunyi dari apa yang mungkin akan mengincarku. Tempat terdekat yang kutemukan adalah gang antara gedung World Market dan gedung lainnya. Aku duduk sambil memeluk lututku dibalik tempat sampah besar yang ada disana. Aku hampir menyerah saat sebuah suara menjawab panggilanku. “Lily Russell.” “Lily...” Bisikku pelan dengan suara gemetar. Sialan. Aku tidak ingin terdengar ketakutan, tapi aku memang takut! “Eliza? Ada apa? Kau terdengar ketakutan.” “Aku butuh bantuan. Sekarang. Aku terluka.” Hening. Sepertinya Lily berusaha mencerna apa yang kukatakan. Tapi itu tidak lama. “Dimana kau sekarang? Dimana Navaro? Apa yang terjadi?” Tanya sahabatku itu tanpa jeda sedikitpun. Khas Lily. Bertanya tanpa jeda. “Aku masih di World Market. Navaro pergi. Aku tidak punya banyak waktu.” “Tetaplah di tempatmu. Aku akan menghubungi Navaro.” “Cepatlah.” Bisikku penuh harapan sebelum memutuskan sambungan. Aku tahu ini sudah terlambat. Darahku sudah terlanjur keluar. Aku hanya bisa berharap tidak seorangpun dari bawahan Cenobia yang ada di sini saat ini karena istana Cenobia berada jauh di Asia. Seluruh bawahan Cenobia memiliki kemampuan mengenali bau darahku. Darahku, dulu sekali sudah di segel oleh sang Avnas agar siapapun anggota legionnya bisa mengetahui keberadaanku bahkan dalam jarak berpuluh-puluh mil jika aku mengeluarkan Darah sedikit saja. Dan kini aku bukan hanya berDarah tapi aku nyaris mengucurkan Darahku. Aku bahkan sama sekali tidak mencemaskan kemungkinan di serang vampir haus Darah yang sedang berkeliaran. Ketakutanku sepenuhnya tertuju pada Cenobia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD