14- Nasabah Tak Diharapkan

1168 Words
Tari sedang mengeringkan rambutnya saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu masuk beberapa kali, membuat bunyi notifikasi di ponsel Tari tak henti-henti. Tari penasaran dengan pengirim pesan itu. Dengan cepat ia membuka ponselnya dan memeriksa pesan itu. Dan ternyata pengirim pesan tersebut adalah sosok yang sejak tadi dipikirkannya. Tari tersenyum membaca satu per satu pesan dari orang itu. Tari sengaja membiarkan ponselnya menyala dan menampilkan tampilan pesan dari orang itu, ia juga sengaja seolah hanya membacanya. Ia menunggu apakah orang itu adalah sosok penyabar seperti dugaannya. Karena memang orang tersebut masih online dan tak kunjung pindah dari screen pesan mereka.   Raditya Hermanto: Tari. Raditya Hermanto: Maaf ya tadi gak sempat ketemu. Saya baru pulang malah ini. Raditya Hermanto: Tadi kliennya minta survei tempat di pameran yang mau diadain minggu depan. Jadinya tadi telat pulang. Raditya Hermanto: Kamu sudah pulang, kan?   Tari tersenyum lebar. Tangannya terangkat ke dagunya. Ia menatap layar ponselnya di mana masih menampilkan pesan dari Radit. Masih belum berniat untuk mengetikkan balasan. Ia sengaja mengerjai dan mengetes kesabaran Radit. Tampilan kontak Radit masih memunculkan kalimat 'Online' dan artinya mungkin pemuda itu menunggu balasan dari Tari.   Raditya Hermanto: Tari? Raditya Hermanto: Kamu tidur? Raditya Hermanto: Eh tapi kok masih online?   Tari terkekeh kecil. Radit memang sepertinya untuk urusan bertukar pesan itu setipe dengannya. Paling anti yang namanya telat membalas. Tari pun seperti itu, ia membenci orang yang sedang chatting-an dengannya lalu tiba-tiba menghilang.   Tari tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya mengetikkan balasan padanya.   Lestari Ayu: Iya, Mas. Aku sudah pulang ke rumah. Gak pa-pa, kok. Kita bisa ketemu lagi besok.   Tari terkekeh melihat pesannya langsung memunculkan centang biru  yang artinya Radit memang benar-benar tengah menunggunya. Tidak sampai di situ saja, Radit juga dengan cepat membalasnya. Terlihat kontaknya tengah mengetikkan sesuatu untuk Tari.   Raditya Hermanto: Oke. Raditya Hermanto: Minggu depan kamu mau datang ke pameran? Mumpung libur kan? Raditya Hermanto: Sebenarnya bukan pameran sih, lebih ke Festival Eksyarpreneur gitu.   "Ngerti banget kalau besok aku masih libur." Tari terkekeh. Kemudian ia membaca kelanjutan pesan Radit. "Eksyarpeneur?" Tari mengangkat alisnya. Ia baru mendengar adanya pameran itu. Dengan antusias ia membalasnya.   Lestari Ayu: Festival Eksyarpreneur? Minggu depan banget? Wkwk Raditya Hermanto: Iya. Eksyarpreneur. Alias pameran untuk pengusaha-pengusaha muslim. Jadi semua pengusaha muslim yang punya produk bagus, bisa memamerkan produk mereka, sekaligus ajang pemasaran. Raditya Hermanto: Kalau mau, minggu depan kamu datang aja. Saya kirim alamatnya.   Radit ini benar-benar tipe datar yang sepertinya memang jarang menggunakan emoticon. Tari bertaruh jika emoticon kemarin adalah emoticon termewah yang didapatnya dari Radit, karena dari seluruh pesannya, memang selalu datar bagai berkirim pesan dengan rekan kerja. Radit juga mengirim pesan satu per satu. Tidak mengirim pesan panjang sekaligus. Benar-benar sosok yang unik.   Tari menyampirkan handuknya yang basah ke kursi di depan meja riasnya. Kini ia merebahkan dirinya dan tengkurap membelakangi pintu. Ia masih mempertimbangkan untuk datang ke pameran yang dimaksud Radit itu. Ia mengingat-ingat agendanya minggu depan, dan memang ia tidak memiliki acara apapun. Sepertinya asik juga datang ke pameran begitu. Ia bisa cuci mata dengan berbagai macam produk yang dipajang. Barangkali ia juga tertarik untuk membeli beberapa barang di sana. Sepertinya menarik. Tidak ada salahnya ia datang ke pameran itu.   Tari dengan cepat membalas pesan Radit. "Oke."   Lestari Ayu: Oke.     °°°°     "Assalamualaikum. Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?"   Bank lengang. Hanya ada beberapa nasabah yang datang. Itu pun yang datang sebagian besar berurusan dengan Teller. Tari bahkan sejak tadi baru satu kali melayani nasabahnya. Sedangkan Gita belum sama sekali. Saking sepinya. Tari memanfaatkan waktu dengan menyalin data-data nasabah yang belum sempat ia salin kemarin ke dalam buku besar. Untuk Customer Service di banknya akan mengurusi pembuatan rekening, pemindahan buku tabungan, data-data haji, dan juga berbagai keperluan nasabah yang lain. Lalu ia juga memindah beberapa data juga ke dalam database di komputernya. Selain itu ia juga berhubungan baik dengan nasabahnya lewat pesan, sesekali menanyakan problem yang dialami, atau bahkan menawarkan produk tabungan terbaru. Terkadang ia akan sekaligus merangkap menjadi marketing. Begitu seterusnya, setiap hari.   "Mbak Tari, ada nasabah yang inginnya sama mbak Tari aja." Pak Dirman, salah satu satpam bank, mendekati meja Tari. Laki-laki berlogat jawa itu mengatakan itu dengan raut ramah. Tari mendongak. Ia mengerut dahi. Padahal bilik yang lain kosong. Ya meskipun biliknya pun kosong, sih, namun kan CS lain masih ada yang belum melayani nasabah sekalipun. Namun tentu saja Tari tidak bisa menolak. "Suruh langsung ke sini aja, Pak. Mumpung sepi."   Pak Dirman mengangguk lalu berbalik ke arahnya tadi. Ia mendekati nasabah itu. Dengan ramah ia menyampaikan balasan Tari. Menyuruh nasabah itu untuk langsung maju tanpa dipanggil. Nasabah itu mengangguk, dan mengikuti intruksi Pak Dirman. Bergegas ia melangkah maju dan mendekati bilik Customer Service bernomor dua.   Tari mendengar langkah kaki orang yang mendekat ke biliknya. Ia mempercepat tulisan tangannya dan menyelesaikannya. Lalu dengan cepat ia menyimpan buku besar itu ke bawah tangannya saat mendengar kursi di depannya ditarik. Nasabah itu sudah menduduki kursi. Dengan cepat Tari mendongak dan langsung bersiap memasang wajah ramah. Senyum lebar ia siapkan saat menyapa nasabah itu.   "Assalamualaikum. Selamat pagi. Ada yang bisa saya-"   Ucapan Tari terputus begitu saja. Senyumnya luntur seketika. Tari terkejut mendapati siapa sosok nasabah yang duduk di kursi depannya. Dengan enggan ia meneruskan kalimatnya.   "-bantu?" Akhirnya ia berhasil melanjutkan kalimat itu dengan susah payah.   Orang di depannya itu terkekeh, kemudian tersenyum miring memandang Tari di depannya. Orang itu adalah orang yang paling ingin Tari hindari. Dan sekarang dengan seenaknya muncul di hadapannya. Sudah ia duga sebelumnya bahwa orang itu akan menemuinya lagi.   "Apa kabar Tari?" sapanya dengan nada ceria. Namun Tari mendengarnya seperti tengah mengejeknya.   Sapaan itu membuat Gita yang ada di bilik sebelahnya bahkan sempat menoleh ke arah mereka. Namun akhirnya teralihkan perhatiannya saat ia juga kembali melayani nasabah yang baru datang. Tari tidak peduli dengan tolehan Gita. Ia akan menjelaskan nanti. Yang ia pedulikan saat ini adalah ... mengapa orang ini masih dengan seenaknya pergi lalu datang ke kehidupannya?   "Baik. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Tari pada akhirnya. Ia tetap harus bersikap profesional, bukan?   "Aku pernah bayangin kerja dan melayani nasabahku yang ternyata mantanku deh. Akhirnya kejadian beneran." Tari membatin dengan matanya yang menyipit menatap orang itu. Benar, orang itu adalah mantan Tari, Akbar.   Akbar menunduk sambil tertawa. Tawanya mengundang perhatian beberapa orang. Mereka melirik ke bilik Tari. Termasuk Pak Fero yang melintas ke mejanya. Ia kini mengangkat kepalanya menatap Tari. "Aku baru tahu kamu bisa profesional juga. Kukira kamu bakal ngusir aku langsung."   Tari memutar bola matanya jengah. Dalam hati ia membenarkan ucapan Akbar. Ingin sekali rasanya ia berlari dan menghindar lagi dari Akbar atau bahkan menyuruh Pak Dirman untuk mengusir Akbar. Namun tentu saja tidak bisa ia lakukan. Tari tidak mungkin bersikap seperti itu. Tugasnya yang sebagai garda depan pelayanan, harus selalu bersikap profesional, tidak membeda-bedakan nasabahnya. Sekalipun itu adalah mantannya. Garis bawahi ya. Mantannya.   Tari tersenyum tipis. "Ada yang bisa dibantu?" Ia mengulangi pertanyaan itu. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Akbar. Jika pemuda itu dengan cepat menyebutkan keperluannya, artinya cepat juga tugasnya berakhir.   "Kalau bantu mendirikan rumah tangga berdua bisa gak, mbak?" Akbar tertawa lebar setelah mengucapkan kalimat pertanyaan candaan itu.   Orang-orang di sekitar bilik Tari dapat mendengar dengan jelas pertanyaan konyol Akbar itu. Sungguh membuatnya malu. Tari memelototinya.   "Sinting!"       °°°°            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD