Reyhan mengakhiri panggilan. Sejujurnya, ada dua rasa berbeda di hatinya saat ini. Rasa bahagia dan sedih berbaur menjadi satu. Meskipun ingin mengakhiri, tetapi penentu takdir mereka bukanlah diri mereka sendiri, melainkan Tuhan. Mobil merah itu akhirnya memasuki pusat Bandung. Kebisingan suasana kota seolah menjadi irama berbeda di saat mereka justru memilih tenggelam dalam kebisuan. Mobil itu tepat berhenti di depan rumah Chandra. Sepanjang perjalanan, terpancar jelas raut kesal di wajahnya.
"Chandra, aku ...." Windy menggenggam jemari Chandra.
"Aku percaya sama kamu!" sela Chandra sambil mengecup dahi Windy sebelum berpisah.
Chandra membiarkan Windy harus tinggal seatap dengan Reyhan, rivalnya. Mobil itu melaju gesit. Setelah mengantarkan Karina kembali ke rumahnya, mobil itu menuju rumah Reyhan yang sebenarnya tak jauh dari rumah Windy. Akan tetapi, menitipkan Windy pada Reyhan adalah keputusan terbaik mengingat kedua remaja itu memang bersahabat sejak dulu.
'Kenapa jadi gini, Tuhan? Aku berusaha jauhin dia, tapi kenapa Kau justru semakin menghapus jarak di antara kami? Jangan ciptakan lebih banyak luka di hatiku. Aku nggak mau Windy menatapku dengan rasa kasihan. Aku udah janji mau lepasin dia,' bisik batin Reyhan.
Keduanya bungkam. Windy yang biasanya selalu cerewet dan memekakkan telinga Reyhan, kini terdengar membisu. Semenjak pernyataan cinta Reyhan malam itu, hatinya terasa canggung di dekat Reyhan. Meskipun Reyhan tak berniat mengakhiri hubungan mereka, pasti Windy juga akan semakin bingung bagaimana harus bertatapan dengannya setiap hari. Rasa sayang yang membingkai selama ini seolah hilang, lenyap. Rasa cinta yang terbungkus rapi dalam perhatian persahabatan Reyhan, kini tampak terkoyak. Cinta itu kini terpampang jelas dalam pancaran sinar mata Reyhan ketika menatapnya.
'Gimana ini? Kemarin aku yang minta dia jangan bicara lagi sama aku. Sekarang aku justru nempel gini ke dia kayak parasit. b**o lo, Win!' batin Windy.
Mobil kembali membelah jalan berkabut hingga akhirnya tepat berhenti di pelataran rumah bernuansa hitam putih milik Keluarga Pramana. Reyhan segera menyambar ranselnya dan turun dari mobil. Dia tak menghiraukan Windy yang sudah cemberut dengan perlakuan dinginnya pada Windy. Windy tampak kesal sekali.
"Ck, kenapa dia jadi nyebelin gitu? Memangnya aku ini patung? Awas kamu, Alien!" geram Windy.
Baru satu malaman saja hendak berpisah, hati Windy sudah kelimpungan. Reyhan juga harus menahan segala bentuk kerinduan dan kesakitan hatinya karena harus menjaga jarak dengan wanitanya itu. Windy mengikuti langkah Reyhan masuk ke rumah indah itu. Setibanya di ruang tengah, mereka disambut oleh wanita separuh baya, masih terlihat begitu cantik. Raya Diany, begitulah namanya.
"Welcome home, calon menantuku!" ucapnya.
Windy dan Reyhan terkejut dengan panggilan usil ibunya Reyhan itu. Windy tampak keki dan tenggelam sejenak dalam pelukan wanita berkulit putih itu.
"Ma, jangan bicara ngaco gitu, ih," pinta Reyhan.
Mama Raya tersenyum, melepaskan Windy dari pelukannya. Dia segera menatap wajah dingin putranya.
"Memangnya kenapa, Rey? Bercita-cita boleh, 'kan? Hihi. Sudah, jangan cemberut. Mama minta maaf. Mama cuma bercanda. Lagipula mama tau Windy udah punya pacar. Walau mama sempat patah hati, tapi mama dan Tante Wenny nggak akan putus asa mencari cara supaya kami jadi satu keluarga."
Tak tahu apa yang dibicarakan oleh wanita berwajah ceria ini, tetapi Reyhan dan Windy tampak saling tak acuh. Mereka duduk berdampingan tanpa saling menoleh. Mungkin mereka tengah menyembunyikan keretakan hubungan mereka dari orangtua ini. Mereka duduk di sofa ruang tengah.
"Sebenarnya Mama dari tadi ngomong apa, sih?" tanya Reyhan sambil mengangkat secangkir teh yang terhidang di meja ruang keluarga.
Windy terlihat sungkan dan merasa aneh dengan pandangan Mama Raya yang sangat mencurigakan.
"Mama tau kamu nggak bisa bikin Windy jatuh cinta sama kamu, 'kan?" sergah Mama Raya.
Ucapan Mama Raya seperti sebuah tembakan yang tepat mengenai sasaran. Reyhan hampir tersedak dengan teh yang diminumnya. Ternyata mamanya tahu putra satu-satunya ini sudah jatuh cinta pada Windy, putri sahabatnya.
"Sekalipun Windy nggak bisa jadi calon istrimu, tapi mama dan Tante Wenny harus tetap jadi satu keluarga."
"Maksudnya?" Reyhan bertanya, seolah tak mendengar jelas perkataan ibunya.
Mamanya hanya tersenyum, lantas menoleh pada Windy. "Biar Windy jadi iparmu saja."
"Hah?" Refleks, Windy dan Reyhan terkejut bersamaan. Lantas, mereka menutup mulutnya karena salah berucap dengan nada tak sopan.
Mama Raya tersenyum melihat raut aneh di wajah dua remaja itu. Sepertinya ada begitu banyak rancangan masa depan yang tertata rapi di kepalanya.
"Mamamu sedang menuju Singapore, kan, Windy? Itu karena mereka ingin menjemput adikmu. Sepertinya kami putus asa tentang hubungan kalian. Mungkin takdir kalian hanya bersahabat. Jadi kami berencana menjodohkan Reyhan dengan adikmu, Windy."
Berantakan sekali hati Windy dan Reyhan saat ini, seperti terperangkap di mulut singa. Kedua orangtua ini semakin meraja dengan tindakan anehnya, merancang perjodohan yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya.
"Gimana, Windy?" tanya Mama Raya.
Windy tertegun sesaat. Dia hendak menatap Reyhan, namun Reyhan segera mengalihkan pandangannya.
"Windy nggak tau, Tan. Ini tiba-tiba banget. Windy bingung mau komentar apa."
"Memangnya kamu mau berkomentar apa? Cukup restui saja hubungan Reyhan dengan adikmu. Mulailah menata hati untuk Reyhan, iparmu!"
Reyhan enggan menanggapi pembicaraan konyol ini. Melepaskan Windy adalah niatnya di awal. Namun, dengan menjodohkan dirinya dengan adik Windy justru membuatnya semakin bingung. Reyhan beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan mereka.
"Kamu mau ke mana? Kamu setuju dengan ide mama, 'kan?" tanya beliau.
"Ga, Ma!" tegas Reyhan.
Mama Raya tersenyum, mendekati putra semata wayangnya itu. Sejenak, beliau dapat menangkap raut kegundahan di mata putranya. Beliau sadar memang ada yang aneh dengan kedua remaja ini.
"Ya sudah kalau nggak mau dengan adiknya Windy. Kamu bertunangan saja dengan Windy."
Reyhan menoleh ke arah Windy, tampak wajah Windy semakin kacau. Bahkan tersenyum saja sulit. Ucapan Mama Raya bagai suara petasan yang dari tadi meledakkan hatinya.
Mama Raya beralih menatap Windy. "Gimana menurut kamu?"
Windy sedikit gugup. Dia bahkan tak sepenuhnya bisa memandang Beliau. "Eum, itu ...."
"Sebaiknya kamu telepon Chandra dan putuskan hubungan kalian," sambung beliau, lagi.
Reyhan kebingungan setengah mati saat Windy dipaksa untuk memutuskan tali kasih akibat perjodohan konyol ini.
"Baik, Ma. Aku bakalan tunangan sama adiknya Windy. Suruh dia cepat balik ke sini atau aku berubah pikiran," pinta Reyhan.
Reyhan meninggalkan ruang tengah, menyisakan keterkejutan di hati Windy. Windy merasakan ada sayatan kecil yang terasa perih di hatinya. Entah karena apa.
*
Tinggal seatap dengan situasi kacau seperti ini tentu saja membuat Windy dan Reyhan canggung. Apalagi orangtua Reyhan memang jarang berada di rumah. Tinggal berdua dengan suasana beku hanya akan memperparah hati Windy-yang saat ini masih merasakan detak jantung tak beraturan- ketika tanpa sengaja bertatapan dengan Reyhan.
Windy keluar dari kamar. Secara bersamaan, Reyhan juga menutup pintu kamarnya. Mata tajam pria itu segera beralih, lalu dia berjalan menuruni tangga lantai dua. Kerinduan semakin meraja di hati Windy. Rasa sakit akan kehilangan mulai dinikmati hatinya.
*