9. Perjodohan Reyhan - 4

1139 Words
Rasa bersalah menyelimuti hati Windy ketika mengucapkan itu namun hatinya galau. Ya, bukan hanya Chandra yang saat ini berada di hatinya, tetapi nama Reyhan mulai menjelma dan berakar kuat di sana. Windy menatap layar ponsel saat menangkap moment indah bersama Reyhan yang terabadikan di galeri. Persahabatannya dengan Reyhan kini diuji di tiga persimpangan. Meneruskan persahabatan dan mengabaikan cinta Reyhan, menerima hati sahabatnya itu, atau justru meninggalkan kedua status itu. Kriikk, terdengar pintu membuka. Windy segera meletakkan ponsel dan menutup mata. Jantungnya mulai berdetak kencang saat dia yakin itu adalah langkah kaki Reyhan. Windy berusaha tampak tertidur pulas walau hatinya terbanting-banting. Reyhan menatap sendu, menghapus sejenak air mata yang hendak menetes. "Gimana bisa aku hidup tanpa kamu, Barbie? Apa kamu sadar sebutan Barbie itu sebutan manis dariku untuk kamu? Itu panggilan dariku sejak kita kecil. Kenapa kamu biarin Chandra manggil kamu dengan sebutan itu juga? Kamu itu barbie girl-ku, tapi kenapa kamu milih Chandra untuk jadi Ken-mu? Kenapa bukan aku?" lirih Reyhan. Reyhan menghela rasa sakit itu. Dia menarik selimut dan menutupi tubuh Windy di malam yang dingin, mengusap rambut legamnya sejenak. "Kumohon, jangan egois. Kalau kamu milih Chandra, tolong jangan dekati aku lagi. Kalau cuma jadiin aku sandaran di saat kamu lelah, jangan lakukan itu. Aku juga pengen bahagia. Aku juga punya sisi egois. Sebelum aku egois dan maksain kehendakku atas hatimu, sebaiknya memang kita harus berakhir. Kamu ngerti? Ini pertama kalinya aku minta sesuatu ke kamu. Selama ini aku nggak pernah bilang 'nggak' ke kamu, 'kan?" Sakit rasanya mendengar suara Reyhan dengan mata terpejam. Windy harus menahan diri. Sedikit saja ekspresi berubah, Reyhan akan sadar Windy mendengar semuanya. Windy merasakan kecupan manis singgah di dahinya. Sebenarnya ini bukan perlakuan manis pertama yang dilakukan Reyhan. Namun, setelah Windy tahu Reyhan mencintainya, Windy menanggapi dengan rasa berbeda. Jantung mereka berdetak sama kencangnya di tengah hari yang mulai kelam dan dingin. Reyhan segera pergi meninggalkan kamar Windy. Tak lama, Windy membuka mata dan merasakan air mata yang menggenang di sana. Ucapan pedih Reyhan sungguh menusuk jantungnya. "Maafin aku yang terlalu egois, Rey. Aku juga nggak mau kamu sedih. Aku mau kamu bahagia. Aku akan kasih kamu kesempatan, Rey. Berjuanglah bersama Chandra untuk dapetin hatiku. Sebelum aku tau jawabannya, aku nggak akan lepasin kamu." Hati Windy memberi kesempatan bagi Reyhan untuk mencintai. Karena selama ini, Windy tak tahu seberapa sakitnya hati Reyhan menahan kecemburuan di saat hatinya memiliki cinta yang sama seperti yang diberikan Chandra padanya. Jika Chandra mengetahui Windy mulai membuka hati untuk Reyhan, maka Chandra akan patah hati dan terluka luar biasa. * Pagi yang cerah mengawali hari ini. Windy dan Reyhan tampak bersiap di kamarnya masing-masing. Windy tengah tersenyum merapikan diri di depan cermin, menyisir rambut legamnya yang dihiasi bandana putih. Di sisi lain, Reyhan memperbaiki style rambut pirangnya dengan jarinya. Dia bersiap memulai hari ini. Keduanya keluar dari kamar. Tak ada senyuman di bibir mungil Reyhan. Windy pun tampak cuek dan pergi begitu saja. Mereka menemui Mama Raya yang sedang sarapan pagi di meja makan. "Wah, udah bersiap, ya? Cepat sekali! Ayo, mama udah masakin menu spesial hari ini," sahut Mama Raya. Reyhan dan Windy duduk berdampingan. "Eh, gado-gado? Tumben, Ma. Pagi-pagi gini bikin gado-gado buatku," seru Reyhan saat mendapati menu itu di atas meja. "Spesial untuk kamu," sahut beliau. Setelah itu, suasana sarapan pagi terasa kaku. Sebenarnya Mama Raya menyadari kerenggangan hubungan kedua remaja itu. Akan tetapi, beliau enggan mencampuri. Mereka cukup dewasa untuk menentukan sikap. "Mama keluar sebentar, ya." Mama Raya keluar rumah. Sepertinya dia punya rencana baru. Pandangannya tampak liar menunggu seseorang yang datang memasuki pelataran. Tepat dugaannya. Sepeda motor biru Chandra memasuki pekarangan. Mama Raya segera masuk ke rumah dan terkejut melihat Reyhan dan Windy sudah beranjak dari kursinya dan hendak keluar rumah. "Kalian mau apa? Masuk sebentar!" seru Mama Raya sambil mendorong bahu Windy dan Reyhan. "Ma, kenapa?" tanya Reyhan. "Iya, Tante, kenapa? Ada masalah?" sambung Windy. "Aa, itu. Ada debt collector. Cepat kalian masuk dulu," seru wanita cantik itu. Windy dan Reyhan membolakan matanya. Raut wajah Mama Raya begitu gugup dan tetap kekeuh meminta kedua remaja ini meninggalkan ruang tamu. "Mama bicara apa? Jangan bercanda," keluh Reyhan. "Sudah, kalian turuti saja. Cepat masuk ke dalam. Awas aja kalau kalian keluar!" Tak mau Mama Raya bertambah garang, Reyhan dan Windy menurut saja. Tinggallah kini wanita itu tersenyum, berjalan santai menuju teras dan menyambut kedatangan Chandra, kekasih Windy. Sepertinya beliau hendak menyabotase hubungan baik sepasang kekasih itu. "Ada apa, Chandra?" tanya Mama Raya. "Ah, Tante Raya. Eum ... Windy-nya ada?" tanya Chandra, sungkan. "Windy? Sudah pergi, tadi diantar sama supir. Kebetulan mereka bangun cepat, supaya terhindar dari macet." "Tapi Windy nggak ada bilang kalau dia-" "Mungkin aja dia lupa. Ya udah, cepat pergi ke sekolah. Nanti terlambat. Oke?" Chandra percaya begitu saja dengan ucapan Mama Raya ini. Dia tak tahu wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir 40 tahun ini sudah membohonginya mentah-mentah. "Ya udah, Tan. Saya pergi dulu." Sepeda motor itu meraung meninggalkan pelataran rumah hitam putih Reyhan. Senyuman bahagia tampak mengembang di bibir Mama Raya. Tak lama setelah itu, Reyhan dan Windy keluar rumah dengan raut heran. "Mana debt collector-nya, Tan?" tanya Windy, polos. Mama Raya tersenyum. "Sudah pergi. Ya sudah, kalian berangkat, ya! Rey, mana kunci mobil kamu?" Reyhan mengernyitkan alis, menunjukkan pada mamanya sebuah kunci mobil yang berada di telapak tangannya. Dengan sigap, Mama Raya mengambil benda itu dan menggantinya dengan kunci lain. "Kalian naik sepeda motor aja, ya!" "Hah?" Mama Raya melirik sepeda motor putih yang bertengger di pelataran. Windy tampak kikuk. Reyhan terlihat menggerutu. Entah tindakan apa yang dilakukan mama Reyhan ini. 'Please, Ma. Kenapa bikin aku jadi canggung gini, sih?' batin Reyhan. Tak mau membantah, Reyhan mencium pipi mamanya dan mengajak Windy pergi ke sekolah dengan sepeda motor putih itu. Pelukan erat Windy dari jok belakang membuat Reyhan semakin kacau. Sepeda motor itu meninggalkan pelataran dan melaju gesit menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, raungan sepeda motor seolah tak terdengar karena kalah dengan detak jantung mereka. 'Ya Tuhan, kapan perasaanku ke Windy bisa hilang?' batinnya. Windy merasa gugup memeluk Reyhan dari belakang. Dia tak bisa mengendalikan detak hebat di hatinya. 'Oh God. Aku harus jujur, aku mulai kikuk di dekat dia. Apa benar aku punya perasaan juga ke Rey?' bisik batin Windy. Jalanan terasa begitu panjang dengan suasana hening seperti ini. Windy jadi rindu akan moment bahagianya dulu. Jika sedang ada di boncengan Reyhan, dia terus saja mengoceh sampai telinga Reyhan merasa panas. Pria itu akan menegurnya untuk berhenti bicara karena merusak konsentrasi menyetirnya. Akan tetapi, kini sekalipun memang ada rasa yang terselip di batin keduanya, mungkin akan sangat sulit untuk kembali seperti dulu. Windy mulai merasa segan. Perlahan, dia hendak melepaskan pelukan eratnya di pinggang Reyhan. Mungkin Reyhan bisa merasakannya. Sekejap saja, Windy terkejut saat Reyhan menahan lengannya agar si Barbie Girl ini mengurungkan niat melepaskan dekapannya. "Jangan dilepas! Kalau kamu jatuh, gimana, hah?" bentak Reyhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD