CSLY 6

2769 Words
Kurang lebih ada sekitar 7 Regional Operation Manager dan 14 Manager Area terpilih untuk mengikuti program pelatihan leadership for managers selama 2 hari mendatang. Mereka semua sudah terlihat berkumpul untuk menunggu panggilan boarding akan membawa mereka menuju salah satu hotel di Kuta, Bali, yang merupakan tempat pelatihan tersebut. Meski masih hari kerja, mereka lebih tampak santai bercengkrama satu sama lain. "Mbak Natya, lesu banget dari tadi," ucap Sarah ketika menemukan keadaan Natya yang terlihat kurang bersemangat. "Kurang tidur aja," jawab Natya singkat. Beberapa hari lembur tentu saja membuatnya kurang istirahat. Jika saja ia tidak mengikuti training ini pasti Natya sudah bisa sedikit istirahat. "Memang kemarin jadi balik jam berapa, mbak?" Sarah memandang Natya tidak tega. "Kisaran jam sepuluh." Natya mengerjap pelan. "Sampai rumah niatnya istirahat tapi malah sibuk packing." "Schedule untuk training besok udah keluar loh, mbak. Nanti malam jangan sampai kurang tidur lagi." Sarah ikut prihatin memandang Natya yang semakin diam. Natya menghela napas lalu mengangguk singkat. "Aku belum cek jadwalnya." "Lumayan padat dari yang biasanya, tapi cuma sampai jam lima sore." Sarah yang melihat mata Natya berair lalu menguap kecil menyiratkan kekhawatiran. "Nanti di pesawat tidur aja. Kasian matanya kalau terus-terusan dipaksa buat fokus." Suara dering handphone membangunkan Natya dari tidurnya. Melihat jam pada nakas kamar hotel menunjukkan pukul delapan malam waktu Bali. Ternyata Natya tertidur cukup lama. Pantas saja pandangan matanya yang semula berat kini terasa jauh lebih ringan dan terang. Lalu tanpa menunggu lama, Natya lantas menerima panggilan tersebut. "Halo, pak Ilham," ucap Natya sedikit serak. "Saya ganggu, yah?" "Oh, nggak, pak. Kebetulan saya baru mau mandi." "Ya sudah. Oh ya, untuk besok pagi saya tunggu kamu di lobby setengah jam sebelum acara dimulai. Karena seatnya sudah ditentukan." "Baik, pak. Ada informasi yang mau disampaikan lagi?" "Sudah itu saja, sampai jumpa besok ya, Natya." "Iya, pak." Natya lantas mengakhiri panggilan telepon dari Ilham. Ia menggeliat di atas bednya masih merasakan kantuk. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, disusul dengan munculnya sosok Sarah. "Mbak Natya, udah bangun?" "Baru bangun." Natya mencoba untuk memejamkan mata kembali. "Kamu mau lanjut tidur lagi? Tidurnya 'kan udah terlalu lama." Natya lalu membuka mata. "Rencananya mau mandi sih. Kamu dari mana?" Memandang Sarah yang sudah ikut berbaring di sebelah Natya sambil menyalakan televisi. "Aku sama Anna cari cemilan. Tuh, aku beli roti sobek sama s**u UHT buat mbak Natya," jawab Sarah menunjuk kantung tas berlogo mini market yang cukup terkenal. "Terima kasih banyak, Sarah," ucap Natya tulus. "Padahal Aku baru aja mau ke bawah selesai mandi nanti. Eh, ternyata kamu udah duluan beli cemilan." "Yaelah, mbak, kamu masih kaku aja. Aku tahu kamu nggak biasa makan malam di atas jam delapan." Natya tersenyum tipis menahan haru. Memikirkan berapa beruntungnya dia memiliki rekan seperti Sarah. Dia selalu memahami tentang hal apa saja yang biasa Natya biasa lakukan. * Sesuai dengan arahan dari Ilham semalam, setengah jam sebelum jam training untuk para manager dimulai, ia sudah siap. Dengan mengenakan jas hitam serta dasi bercorak hitam putih, membuat penampilannya tampak makin mempesona. Kini Ilham bersandar pada sofa lobby hotel menunggu Natya turun. Senyum Ilham merekah kala sosok yang dinantinya sudah menghampiri. Natya hari ini mengenakan midi dress a-line berwarna merah marun dipadukan blazer dan stiletto hitam setinggi duabelas centimeter. Membuat Ilham diam-diam mengagumi ketika mengamati penampilan Natya yang seakan begitu pas membalut tubuhnya. "Sudah lama menunggu, ya?" ucap Natya sedikit meringis menahan sungkan. "Nggak, Nat, saya juga baru aja turun." Sudah saatnya Ilham mengalihkan pandangan dari Natya. "Pak Ilham perlu kopi?" Natya menawarkan. Seandainya Ilham menginginkan sejenis kopi, ia jadi bisa ikut membeli. "Saya nggak harus ngopi pagi, Nat." Natya mengangguk cepat. Tanggapannya begitu ringan tanpa makna, tetapi dalam diam mencoba untuk terus mengingat hal tersebut. "Ayo, Nat, sudah banyak yang hadir," ajak Ilham kepada Natya menuju function room hotel tempat untuk mereka training beberapa jam mendatang. "Baik, pak." Lagi-lagi Natya mengangguk sopan. Kemudian mereka berjalan beriringan. "Selesai ini kamu mau jalan-jalan sebentar?" "Ada rencana, tapi belum tahu. Saya ikut Sarah aja." "Kalau Sarah nggak bisa atau kalian nggak jadi, kamu sama saya aja, Nat." Natya yang tidak menduga Ilham menawarkan sebuah ajakan, beberapa kali mengerjap seraya memastikan. "Nanti kasih kabar aja, ya?" Ilham kembali berucap. "Iya, pak." Bahkan Natya masih tidak percaya. Sebelum Ilham menawarkan sebuah ajakan wangi tubuh darinya pun sudah memenuhi rongga penciuman Natya. Justru semakin memikat secara tidak langsung membuat begitu menikmati. Selama acara berlangsung tidak ada satu obrolan pun yang Natya dan Ilham lontarkan. Namun seolah tidak menutupi kerlingan binar di mata Natya saat Ilham benar-benar duduk di sampingnya. Tak jarang pula ia mencuri tatap ke arah Ilham. Buncahan kegembiraan Natya sangat sesederhana ini. Sebelum penutupan training for managers selesai, Natya sempat memberi kabar kepada Sarah jika ia ada urusan lain dan akan pulang ke kamar hotel sedikit lebih larut. Setelah itu Ilham langsung mengajak Natya ke tempat usulannya ketika di jalan tadi. Keduanya kembali duduk bersampingan di salah satu Bar ternama. Di sinilah akhirnya mereka saat ini berada. Live musik mengalun cukup keras membuat suasana sekitar seolah begitu mengalir. Mau tak mau jika ingin berbicara, Ilham ataupun Natya harus menaikan sedikit volume suara mereka. Pesanan mereka sudah di antar. Natya bahkan sudah mengesap minuman non alkohol-nya tampak semakin menikmati suasana. Berbeda sekali dengan Ilham yang memesan satu botol vodka berukuran kecil. Diteguknya perlahan seraya tidak melepas pandangan untuk mengamati Natya yang semakin berbinar menikmati musik Bar. Natya yang merasa diperhatikan sontak menatap Ilham seraya mengernyit bingung. Meski tidak menutup rasa canggung kala ditatap seperti itu. "Kenapa?" tanyanya sedikit mendekatkan jarak kepada Ilham. Ilham tertawa sejenak lalu kembali meneguk vodkanya. "Enjoy banget, ya, Nat?" ucapnya tanpa berniat meledek. "Kayaknya saya memang harus sering-sering hangout." Natya tertawa pelan. Gelak tawa Ilham terdengar renyah sebelum kembali mengesap minumannya. Natya meletakkan gelasnya yang berembun di hadapan. Kemudian kini berganti ia yang menatap Ilham secara terang-terangan. "Mau coba?" Ilham menyodorkan gelas slokinya yang baru saja diisi. "Nggak deh, pak Ilham aja." Meskipun Natya sebenarnya penasaran. Namun masih cukup berpikir jernih untuk tidak mencobanya. "Kapan lagi? Ini yang pertama kalinya, bukan?" Ilham tidak gentar masih sabar menyodorkan slokinya kepada Natya. Natya menggeleng samar. "Takut mabuk." "Satu sloki nggak akan mabuk, kalaupun mabuk cuma sedikit buat kepala ringan." Ilham tertawa renyah seakan semakin menggoda Natya. "C'mon! Now or never." "Kalau saya mabuk kamu harus tanggung jawab," Natya memperingati seraya meraih sloki kaca tersebut. "Pelan-pelan, okay?" Ilham mengulas senyum senang. Natya bergeming sejenak mengumpulkan keberanian. Memikirkan ada benarnya penawaran Ilham, kapan lagi dia mencoba. Toh, ia percaya bahwa Ilham tidak akan macam-macam dengannya jika dirinya mabuk nanti. Kemudian Natya memandang gelas sloki itu, tanpa ada keraguan lalu mulai menenggak minuman tersebut. "Rasanya aneh," ucap Natya meringis kala vodka tersebut mulai meninggalkan jejak pada lidah.Terlalu bingung untuk menjelaskan perihal rasanya. "Ada rasa vanilla-nya," jelas Ilham mengambil gelas slokinya dari tangan Natya. Masih ada sisa vodka sedikit, lalu meneguk hingga tandas. Natya termangu menyadari mereka baru saja berbagi sloki. Lantas segera mengesap kembali minuman pesanannya untuk menghilangkan jejak vodka di lidah. Semua tak lepas dari perhatian Ilham. "Kalau untuk coba lagi, kamu masih mau nggak?" "Nggak, terima kasih." Kepala Natya sudah terasa sedikit ringan. Pandangannya yang menelusuri keadaan pun mulai mengabur. Sepertinya Natya sedikit mabuk. "Mumpung kita lagi di Kuta, kamu nggak mau cari gebetan?" "Huh?" Natya mengernyit bingung menatap Ilham kala fokusnya kepada musik. "Kamu ngomong apa?" Ilham lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Natya. "Kamu nggak sekalian ada minat untuk cari gebetan?" Natya terkekeh pelan lalu dipandangnya Ilham lekat. "Kalau kamu mau nggak jadi gebetannya?" Kali ini justru Ilham yang terbahak. "Are you drunk?" "I think." Natya lagi-lagi terkekeh pelan. "Kepala saya ringan banget. Tiba-tiba kayak senang juga." Kini Natya sebenuhnya menghadap Ilham, pandangan matanya semakin meremang. Kapasitas sinar dari lampu Bar pun kurang terang dan kekuningan. Bahkan sudah beberapa kali mencoba menyipitkan matanya. "Masih bisa tahan? Atau mau pulang sekarang?" Lalu Ilham menenggak sisa vodkanya di dalam sloki. Entah sudah berapa slot yang Ilham habiskan. Jakun milik Ilham bergerak mengikuti irama tegukan, justru semakin jelas di mata Natya saat ini. Membuat Ilham terlihat semakin...sexy. Ilham tiba-tiba menoleh ke arah Natya, mengangkat satu alisnya. "Kenapa, Nat? Lihat sayanya jangan begitu. Saya jadi gugup." Tidak langsung menjawab, Natya tertawa pelan. "Pak Ilham terlalu banyak minum." Ia mengerjapkan mata mencoba untuk memperjelas penglihatannya kala menatap Ilham. "Natya?" tanya Ilham yang sedikit khawatir melihat kelopak mata Natya mulai berubah sayu. Pahadal sebelumnya ia akan menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena toleransi kadar alkoholnya cukup bagus. Natya tak menjawab hanya tersenyum kecil. Untuk beberapa kalinya tatapan mereka bertemu dalam diam. Ia masih dapat mengingat, jika dalam kondisi sadar pasti akan merasakan kegugupan ketika Ilham juga menatapnya seperti saat ini. "Mau balik ke hotel sekarang?" ucap Ilham menawarkan setelah mengisi slokinya kembali. Dengan cepat, Natya menggeleng seraya mengalihkan pandangannya dari Ilham. Tanpa diduga, ia kembali meraih sloki tersebut lalu meneguknya kembali kali ini hingga tandas. Ilham yang tidak sempat mencegah hanya bisa bergeming menatap Natya terheran. "Kenapa kamu minum lagi?" "Saya berubah pikiran. Saya suka ini." Kerutan di dahi Ilham semakin dalam lalu menggeleng pelan. "Kamu pasti udah mabuk." "Nggak kok..." Natya berbohong, sudah merasakan ringan hingga ke seluruh tubuhnya. Namun, karena minuman Ilham berhasil menghilangkan kegugupan Natya saat berada di dekat Ilham, seakan tidak memiliki pilihan dengan berani kembali meminum vodka tersebut. "Kita pulang sekarang, ya?" Keputusan Ilham sudah final. Berkali-kali Natya yang mengernyit sesekali memijat pelipisnya mencoba untuk bangkit mengikuti Ilham. Pandangan Ilham masih tertuju pada Natya yang terkesan lucu. Namun, tiba-tiba langkahnya terlihat berayun, ia dengan sigap merangkul pinggang Natya. "Aku pikir bakalan jatuh." Natya tidak menolak dengan posisi yang saat ini terjadi di antaranya dan Ilham. Tidak juga mengucapkan terima kasih, hanya menepuk lengan pria itu. Tidak menanggapi lebih, Ilham hanya menggeleng tak percaya mendengar perkataan Natya. Dan segera menuntunnya menuju ke mobil sewaan yang terparkir tidak jauh dari pintu utama Bar. "Aku bisa sendiri," ucap Natya sambil melepaskan diri dari rangkulan Ilham, lalu duduk di kursi penumpang depan. Tubuh Ilham yang lantas tersentak usai pinggang Natya terlepas dari rangkulannya. Belakang leher Ilham pun meremang, tersadar jika tubuh Natya begitu pas untuknya. Ia menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran. "Kayaknya kamu harus minta jemput Sarah dulu," ucap Ilham meski pendangannya sibuk menatap jalanan. Natya menghela napas supaya bisa menahan pusing di kepalanya. Lalu dengan perlahan mengecek isi tas untuk meraih handphone miliknya yang ternyata tidak menyala. "Handphone saya mati." Sambil menunjukan handphonenya. "Pakai handphone saya, Nat." "Saya nggak ingat nomor Sarah." Ilham menghela napas pasrah. Pasalnya ia juga tidak memiliki kontak sahabat Natya itu. "Saya nggak mungkin antar kamu dalam keadaan kayak gini." Ilham masih berusaha memikirkan jalan keluar. "Memang saya kenapa?" Natya mengernyit menatap Ilham. Ia masih bisa berjalan tanpa bantuan Ilham, meski kesadarannya sedikit menurun. Tapi dirinya yakin masih ingat nomor dan lantai kamar hotelnya. "Masih tanya kenapa?" Ilham mendengkus lucu. Walau bagaimanapun ini juga salahnya yang sudah memaksa Natya untuk mencicipi vodka. Natya meringis saat nyeri seakan menusuk kepalanya. "Saya masih sadar kok." Tetapi memang kepala dan tubuhnya terasa jauh lebih ringan. "Saya juga nggak meracau." Ilham menoleh sejenak menatap Natya yang sayu penuh dengan arti. Meskipun Natya tidak meracau, akan tetapi beberapa kali ucapannya berhasil membuat Ilham kembali berpikir dua kali. "Pakai telepon kamar hotel aja. Nanti kamu ke kamar saya dulu." "Iya, terserah kamu aja, selama ini saya selalu ngikutin pak Ilham, 'kan?" Tiba-tiba Natya terkekeh. Sebuah suite room menjadi kamar inap Ilham kali ini. Sampai di ambang pintu, Natya tetap mengekor di belakangnya. Meski langkah sudah tidak lagi tegak, akibat minuman yang dia tenggak tadi. Mengingat ucapan Natya, Ilham sudah tidak menuntunnya lagi. Ilham lantas membuka jasnya kemudian menyampirkan di atas sofa. Dilepasnya pula dasi dan dua kancing kemejanya. "Masuk ke kamar, Nat. Teleponnya ada di dalam. Itu juga kalau kamu mau telepon Sarah," ujar Ilham seraya menggulung lengan kemejanya hingga batas siku. "Iya, saya mau telepon." Natya yang baru saja meletakkan tas-nya di meja, segera melangkah kembali semakin masuk ke dalam. Tanpa ucapan, Ilham mengikutinya. Natya mendudukan diri di ranjang hotel masih menatap telepon di atas nakas. "Kira-kira saya ganggu Sarah, nggak ya?" Bertanya kepada Ilham yang barubsaja berdiri di hadapan Natya. Sontak Ilham melirik arlojinya. Sekarang memang sudah hampir tengah malam. "Kalau kamu nggak telepon Sarah, memang kamu mau tidur sama saya?" Ilham rasa inu berlebihan kala menyadari tatapan Natya justru bergeming. Padahal yang ia maksud menawarkan tempat menginap. "Kenapa diam?" Ilham duduk persis di samping Natya, menghadap wanita itu. "Huh?" Natya tersentak, mengetahui Ilham sudah di sampingnya. Jarak mereka sangat dekat. Dengan susah Natya menelan ludahnya. Satu sloki tambahan sepertinya tidak berhasil mengurangi kegugupan kala berada di dekat Ilham. "Aku nggak bisa kayak gini," ucap Natya belum berani menatap Ilham. Tubuhnya berdesir meremang. "Kamu kenapa, Nat?” "Saya nggak bisa berpikir jernih kalau di dekat kamu," jawab Natya mencoba menatap Ilham. "Apa?" Ilham memandangnya terkejut. Seharusnya dari awal ia sadar jika Natya tengah berada dalam pengaruh alkohol. Namun, ucapannya berkali-kali terdengar dari hati. Meskipun Ilham masih bingung melihat Natya yang berubah atau mungkin memang sedang frontal. "Kamu gugup?" tanya Ilham lagi. Perasaan Natya tak karuan. Akal sehatnya meminta untuk meninggalkan Ilham, tetapi berbeda dengan hatinya yang merasakan sesuatu, penasaran, dan ingin melakukan lebih. "Natya?" Tanpa berpikir Ilham memegang bahu Natya, kembali memastikan keadaannya. Tubuh Natya semakin meremang. Hingga Ilham menyingkirkan sejumput rambut Natya yang menghalangi wajah. Kini ia menatap lekat Natya sambil tersenyum lembut. Membuatnya semakin memberanikan diri saling pandang. Waktu seakan terhenti. Mata mereka untuk kesekian kali bertemu. Dalam sirat keduanya menunjukan keinginan hati yang meminta lebih dari ini. "Aku...." Natya tak sadar menghela napasnya yang semakin berat dan berbeda. Entah apa yang ada dipikiran Ilham saat memakukan kedua mata kepada Natya. Kulit wajahnya yang bersemu merah, belum lagi harumnya dalam jarak sedekat ini membuat Ilham kembali tergoda. Sejak kapan Natya sangat menarik di matanya. Pandangan Ilham menelusuri bibir Natya. Kembali teringat Natya yang belum pernah berkencan sebelumnya. Semakin membuat ia terbakar di dalam. Ilham akhirnya mencoba untuk lebih mendekatkan diri. Ingin sekali mengecup bibir Natya. Natya yang sudah setengah sadar, kali ini lebih mengikuti instingnya. Akal sehatnya menghilang bersama sisa kesadaran. Tidak ada yang menolak, kedua bibir mereka menyatu, perlahan-lahan. Degub jantung Natya berdebar cepat seirama dengan pagutan Ilham. Ilham sudah mengingkari segalanya. Hingga suara Natya semakin terdengar menggoda di telinga, Ilham hilang kendali. Bersamaan dengan pagutannya berubah menjadi lebih intens. Mereka saling menyesap dan membelit satu sama lain. Lidah Ilham merasakan manis yang menguar dari bibir merah Natya. Makin menyesapinya dengan lembut dan penuh rasa. Natya yang sejak awal tergoda untuk membalas, mengerahkan seluruh nalurinya, meskipun tidak sehebat kemampuan Ilham. Keduanya hanyut terbawa arus dalam setiap cumbuan. Seolah tak memikirkan apapun lagi. Sampai akhirnya Ilham merasa napas Natya tersengal, dengan berat hati mencoba melepaskan pagutannya. Kedua mata Ilham kembali menatap wajah Natya yang kini lembab. Dinginnya kamar hotel tidak mengurangi panas yang membakar tubuh mereka. Keduanya tampak lembab oleh keringat yang mengucur di tubuh masing-masing. Ilham memutuskan menghapus bulir keringat Natya yang jatuh ke pipi. Natya terdiam masih menatap Ilham terpaku di hadapannya. Pikiran di kepala pun kosong. Ia tidak bisa memikirkan apapun setelah sadar ia baru saja melakukan ciuman pertama dengan cinta pertamanya. Ilham dan Natya masih saling berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Embusan napas dari keduanya masih terasa saling membelai. Namun, Natya lebih memilih menunduk dengan debaran jantung yang tak karuan. Menahan pula rasa yang telah menyelinap ke dalam tubuh. Perlahan jari telunjuk Ilham mendongakkan wajah Natya. Terlihat salivanya di sudut dan di atas bibir Natya, dengan halus Ilham menyusap menggunakan ibu jarinya. "Kamu nggak masalah sama ini, 'kan?" ucap Ilham tak sadar. "Damn you, Natya, saya nggak bisa menahan lagi." Belum sempat Natya ikut menjawab, bibir Ilham telah membungkam bibirnya kembali dengan jauh menuntut. Natya mengeratkan jemarinya kala berpegangan pada bahu Ilham. Ilham pun menarik pinggul Natya membuat semakin terkikis jarak di antara keduanya. Tubuh mereka saling berhadapan, melekat, membuat kontrol yang ada perlahan melemah. Kedekatan merekankali ini sangat memicu adrenalin dalam tubuh masing-masing. Ilham membaringkan Natya di atas tempat tidur. Tidak memutuskan mereka yang masih b******u semakin dalam. Ilham mulai melepas blazer dan dress yang Natya kenakan. Begitupun seterusnya hingga semua terlepas. "Natya, saya nggak akan berhenti," ucap Ilham penuh peringatan di atas tubuh Natya yang sudah polos. Sempat merasa terbang, Natya tak lagi mampu mengingat apapun, sentuhan Ilham membuatnya seperti kehilangan akal dan hilang kendali. Saat itu yang Natya rasakan hanya Ilham berada di dalam dirinya setelah menghujam tubuh dengan cepat. Sakit yang Natya rasakan hanya sesaat. Karena selanjutnya, hanya kenikmatan yang akhirnya begitu mendominasi di antara keduanya. Natya semakin dibuat terpuruk dalam kubangan dosa. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD