Bab 8. Makan Malam Berdua

1315 Words
“Dasar orang gila.” Cia menatap kesal pria yang duduk di sebelahnya. Mobil sudah melaju setelah pria gila disampingnya membuat drama dengan memaksanya keluar dari rumah sakit dengan memanggul tubuhnya. Cia langsung membuang muka begitu melihat pergerakan kepala Geraldo. Wanita itu mengumpat pelan. “Kamu yang membuatku melakukannya.” Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut pria di sampingnya, bola mata Cia refleks membesar, sebelum kepala wanita itu berputar ke samping. “Kamu menyalahkanku?” tanya Cia dengan nada tak percaya. Mulut wanita itu menganga, sebelum detik berikutnya Cia menggeram kala melihat gerakan kepala turun naik sebagai jawaban atas pertanyaannya. “Benar-benar orang gila.” “Kalau kamu menerima tawaran Eric dengan baik, aku tidak perlu memaksamu.” “Apa hak mu memaksaku ikut denganmu?” tanya Cia dengan sorot mata penuh kemarahan. “Jangan hanya karena kamu membantuku di ruang IGD, lalu kamu merasa memiliki hak untuk memaksakan kehendakmu. Kita bahkan tidak saling kenal. Dan melihat dari tampangmu itu, aku tidak yakin kamu orang baik.” Geraldo menatap dalam sepasang manik mata yang masih menantangnya, sementara sepasang bibir yang dikelilingi bulu-bulu itu tertutup rapat. Wajah pria itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Ditatap seperti itu, Cia meluruskan pandangan mata ke depan. Dengan D*da bergerak turun naik lebih cepat, Cia menghentak karbondioksida keluar dari celah mulutnya. Apa dia sudah membuat kesalahan? Cia mengatur napas. Ya, dia sudah menghakimi seseorang dari kulit luarnya saja. Satu sisi batin Cia berbicara. Tapi, sisi batin yang lain langsung menyanggah. Kelakuan pria itu sendiri yang membuatnya mengambil kesimpulan tersebut. Jadi, dia tidak bersalah. “Karena aku sudah membuat keputusan.” Cia mendengar, tapi wanita itu tidak berniat untuk menoleh. Hanya bola mata wanita itu saja yang bergulir ke samping. Itu pun tidak lebih dari sekejap mata. “Aku sudah membuat keputusan untuk menikahimu, Dokter Cia.” “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Cia menepuk-nepuk d*danya. Kalimat yang baru saja tertangkap gendang telinganya—membuatnya tersedak ludahnya sendiri. Dalam hati wanita itu merutuki papa Rion. “Ini.” Cia menepis uluran botol air mineral dengan tutup yang sudah terbuka, hingga isi di dalamnya sedikit muncrat dan membasahi pakaian Geraldo. “Tuan.” Geraldo menggulir bola mata. Tatapan mata pria itu membuat Eric menurunkan pandangan mata sebelum mengembalikan fokus pada jalanan di depannya. Pria yang duduk di sebelah pengemudi itu tidak lagi mengeluarkan suara. Hanya memperhatikan dua orang di belakangnya dari kaca berbingkai yang menggantung di depannya. Geraldo mengusap pakaiannya yang terkena cipratan air. Pria itu menutup kembali mulut botol, kemudian mengembalikan ke tempatnya tanpa berkata apapun. Butuh beberapa saat hingga Cia bisa kembali bernapas dengan baik, meskipun tenggorokannya masih terasa panas seperti terbakar. Kulit wajah yang aslinya seputih s**u masih terlihat merah. Sepasang bola mata Cia bergerak meliar ketika merasakan mobil berbelok cukup tajam. “Aku tidak ingin membuat calon istriku terlalu lama kelaparan. Tempat ini tidak terlalu buruk. Banyak menu makanan yang cukup enak. Ayo, turun.” Cia memutar kepala lalu secara refleks menahan sebelah lengan Geraldo hingga pria itu urung mendorong daun pintu, kemudian menoleh ke arah Cia. Sepasang alis tebal pria itu berkerut. Cia memperhatikan dengan details wajah pria yang sedang membalas tatapannya. Wanita yang belum lama bekerja di rumah sakit tersebut mengatur napas. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?” Sepasang mata Geraldo mengecil seiring dengan tarikan kedua sudut bibirnya ke atas. “Kamu sudah tahu.” Cia menggelengkan kepala. “Aku tidak ingin bertengkar denganmu. Aku tidak tahu siapa kamu. Aku tidak mengenalmu. Aku bahkan baru hari ini bertemu denganmu. Bagaimana bisa aku tahu—” “Kamu melupakanku, Dokter Cia.” Cia mengerjap. Wanita itu menatap semakin lekat wajah pria di depannya. Tidak. Dia benar-benar belum pernah bertemu dengan pria di sampingnya ini. Cia kembali menggerakkan kepala ke kanan kiri. “Aku benar-benar belum pernah bertemu denganmu sebelum hari ini.” “Aku akan mengingatkanmu nanti. Sekarang, ayo kita turun. Perutmu sudah berbunyi.” Cia refleks melotot. Dia sedang serius. Dia bahkan sudah tidak lagi merasakan lapar. Sumpah. Dia ingin mengakhiri kerumitan hidupnya yang terjadi hanya karena satu panggilan dari nomor yang tidak dia kenal. “Apa aku perlu menggendongmu keluar dari mobil, Dokter Cia?” “Sialan. Kamu sungguh pintar menghancurkan kesabaranku.” Cia menatap sengit Geraldo sebelum kemudian memutar kepala—berniat membuka pintu yang ternyata sudah terbuka. Menurunkan satu kaki diikuti kaki yang lain, Cia melirik tajam sosok pria dengan setelan jas hitam yang dia ketahui merupakan pengawal dari Geraldo. Orang gila yang bertindak sesuka hati. Cia menghentak sepasang kakinya. Berjalan dengan kesal masuk ke sebuah restoran, lalu mengedarkan mata sebelum detik berikutnya kening sang dokter mengernyit. Sepi. Tidak ada satupun pelanggan terlihat. “Selamat datang, Tuan Geraldo.” Cia langsung memutar kepala. Memperhatikan pria yang disapa dengan senyum merekah tersebut mengangguk kecil. Kaki Cia tertarik ke depan ketika tiba-tiba tangannya ditarik oleh Geraldo. Cia mencoba menarik tangannya lepas dari genggaman telapak besar Geraldo, yang hasilnya sia-sia. Wanita itu mendesah. Cia akhirnya mengayun kaki sembari menggelengkan kepala meratapi nasib setelah bertemu dengan Geraldo. Nasib sial yang tidak pernah Cia bayangkan sebelumnya. Geraldo baru melepas genggaman tangan setelah mereka tiba di sebuah meja yang dikelilingi hanya oleh dua kursi berseberangan. Di atas meja tersebut dihias dengan bunga yang mengeluarkan aroma wangi, juga beberapa lilin. Piring dan gelas berkaki serta sebotol wine sudah terhidang. Geraldo menarik punggung kursi. Pria itu menatap Cia yang masih berdiri sembari menarik napas panjang. Geraldo baru melangkah menghampiri kursi lain di seberang meja setelah Cia menjatuhkan pant*t ke atas kursi. Geraldo menarik sedikit kursi ke depan setelah mendudukinya. Pria itu memberi kode pada sang pelayan yang masih setia menunggu di samping meja. Sang pelayan yang paham segera mengangguk, lalu memutar kepala sembari mengangkat sebelah tangan. Tak lama kemudian, seorang pelayan lain keluar dari dalam restoran sambil mendorong meja kayu beroda berisi beberapa menu yang sudah dipesan oleh sang pelanggan. Cia memperhatikan makanan apa saya yang dipindahkan ke atas meja, setelah sang pelayan yang mendorong meja beroda tersebut tiba di samping meja. Sepasang matanya mengerjap. Tak butuh lama, Cia menelan ludah melihat potongan salmon dengan beberapa saos berbeda. “Aku tahu kamu suka salmon. Sama seperti Rion.” Cia menelan kembali cairan yang berkumpul dengan cepat di dalam mulutnya, sebelum mengangkat kepala. “Makanlah.” Cia menarik perlahan napasnya. Tanpa mengatakan apapun, wanita itu meraih potongan kain yang terlipat cantik di atas meja. Membuka lipatannya, lalu meletakkan ke atas pangkuan. Cia tidak lagi peduli dengan apa yang akan Geraldo pikirkan. Setelah melihat potongan-potongan salmon yang menggiurkan, mendadak perutnya kembali lapar. Anggap saja ini ganti dari uang yang sudah dia keluarkan untuk Rion sepanjang hari, batin Cia sebelum memindahkan potongan salmon pertama ke atas piring, kemudian menyantapnya dengan anggun. Mengunyah pelan sambil menikmati rasa yang meledak di dalam mulut. Sementara Geraldo menatap tanpa kedip sosok perempuan yang sedang terlihat menikmati makanannya. Ingatan Geraldo kembali ke tiga bulan lalu. Ketika pertama kali dia bertemu dengan Cia di dalam pesawat. Sosok perempuan yang membuatnya penasaran hingga dia menyelidiki sosok tersebut secara diam-diam. Tidak sulit bagi Geraldo untuk mengetahui latar belakang seorang Lethicia Rose Arkane. Putri dari Sebastian Arkane—seorang pengusaha terkenal dari negeri paman sam. Ada hal yang membuatnya semakin penasaran setelah mengetahui latar belakang keluarga Lethicia. Geraldo menarik pelan oksigen masuk ke dalam paru-paru melalui lubang hidung. Cia mengangkat kepala ketika merasakan hawa panas dari tatapan mata pria yang duduk terpisah meja dengannya. Mulut wanita itu masih mengunyah, hingga yang Cia lakukan hanya membalas dengan berani tatapan tajam Geraldo. Hingga akhirnya Cia menelan kunyahannya. “Apa kamu ingin menjawab pertanyaan-pertanyaanku sekarang, Tuan Geraldo?” “Pertanyaan apa? Tentang keinginanku untuk menikah denganmu?” tebak Geraldo dengan alis terangkat. Satu sudut bibir pria itu berkedut. Bola mata Cia membesar. “Lupakan keinginan gilamu itu, karena aku tidak akan menikah denganmu. Bukan itu yang ingin kutanyakan.” Cia berhenti sejenak. Sepasang mata wanita muda itu menelisik ke dalam manik mata pria di depannya. “Bagaimana kamu bisa tahu nomor ponselku? Siapa kamu sebenarnya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD