Cia menatap kesal Rion yang sedang melahap salmon porsi ke dua. Ingat, porsi kedua! Wanita itu mendesah. Tidak. Dia tidak ikut makan. Dia sudah menghabiskan makanan yang sebelumnya dia pesan untuk anak itu. Karena Rion tetap menolak setelah dia berusaha membujuk, mau tidak mau dia yang harus memakannya.
Dan sekarang, anak itu tersenyum ke arahnya sambil mengunyah salmon berbumbu. Mulutnya belepotan saus berwarna coklat terang yang dia tahu rasanya enak. Cia berdecak pelan. Demi berhemat, dia jarang makan salmon.
“Nanny mau?” tanya Rion sambil mengangkat potongan salmon yang ada di ujung garpu.
“Tidak,” sahut Cia.
Rion mengangguk lalu kembali memasukkan potongan besar salmon yang membuat liur Cia dengan cepat mengumpul.
Sialan. Cia mengalihkan pandangan mata. Menghembus pelan napasnya, wanita itu mengedarkan bola mata.
“Rion, cepat habiskan. Kita harus segera pergi.”
“Apa kita akan main petak umpet lagi?” tanya polos anak itu.
“Iya,” jawab asal Cia sambil menelan liur yang mengumpul. Ah, bau gurih salmon itu membuat salivanya kembali mengumpul dengan cepat.
Dengan kedua alis yang bergerak ke tengah, Rion menatap Cia beberapa saat. Detik selanjutnya, anak itu melahap cepat sisa beberapa potong salmon terakhir.
Setelah melahap habis potongan salmon di atas piringnya, Rion segera meraih gelas kemudian meneguk besar-besar cairan di dalamnya. Anak itu mendesah nikmat, lalu bersendawa setelahnya. Membuat Cia yang melihat, seketika meringis.
“Kenyang?”
Rion mengangguk mantap. “Iya.”
Tersenyum meskipun sambil menggelengkan kepala, Cia kemudian beranjak. “Ayo.” Cia menarik ke belakang kursi yang ditempati Rion, setelah anak itu berdiri.
Cia baru akan menggandeng tangan kecil Rion ketika ponsel dalam saku jaketnya berbunyi. Tangan wanita itu urung meraih pergelangan Rion, beralih masuk ke saku jaket kemudian menarik keluar benda yang masih belum berhenti mengeluarkan suara.
Mendekatkan ponsel, Cia mengernyit ketika melihat nama Norah yang sedang menghubunginya. Dia pikir papa Rion.
Mendesah, Cia menekan tombol terima. Wanita itu membawa benda kecil bernama ponsel tersebut ke telinga kiri.
“Bukannya kamu sedang kencan?” tanya Cia langsung. Nada suaranya terdengar kesal. Kening wanita itu masih memperlihatkan lipatan halus.
“Hei … apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ada orang-orang berbadan besar mencarimu?”
“Hah?” kaget Cia begitu mendengar informasi dari Norah. “Apa maksudmu?”
“Aku yang bertanya, Cia.”
Di tempatnya, Norah mengintip dari jendela kamarnya. Kebetulan kamarnya berada di lantai paling bawah, hingga dia bisa dengan jelas melihat dua orang bertubuh besar dengan pakaian serba hitam masih berdiri di halaman mess.
“Mereka mencari pemilik motor yang kamu bawa.”
“Apa kamu memberitahu mereka?” tanya cepat Cia. Jantungnya mulai berdegup lebih cepat.
Norah mengedip, sebelum membuka sepasang mulutnya. “Tentu saja tidak. Tampang mereka menakutkan. Seperti para penagih hutang yang tidak akan pikir panjang untuk menghajar--jika kamu tidak membayar cicilan. Atau ... seperti pada mafia kejam yang hobinya melubangi kepala orang. Seperti di film-film itu.” Norah berujar panjang lebar.
Sementara Cia terdiam. Sepasang matanya mengedip beberapa kali. Dia tidak berpikir sejauh itu. Mereka melacak dari plat nomor motornya? Wah … apa dia benar-benar sedang menjadi pemeran utama di film action, sekarang?
“Cia.”
Cia mengedip. Wanita itu menggumam. “Hmmm ….”
“Kamu tidak sedang terlilit hutang, bukan?”
“Tentu saja tidak.” Cia menoleh lalu menurunkan tatapan matanya. Wanita itu meraih tangan Rion, kemudian menariknya pelan. Mengajak anak itu berjalan. Keduanya melangkah menuju pintu keluar tempat makan tersebut. “Usir saja mereka.”
“Mereka tidak mau pergi. Aku sudah bilang di sini tidak ada pemilik motor dengan plat nomor itu, tapi mereka tetap tidak mau pergi. Siapa mereka, Cia?”
“Aku juga tidak tahu,” jawab jujur Cia. Menghentikan langkah di samping motornya, Cia meraih helm dengan satu tangan, lalu memakaikan ke kepala Rion. Terkekeh saat melihat helm itu membuat kepala Rion tenggelam.
“Hei, kamu masih bisa tertawa?” tanya Norah sedikit kesal ketika mendengar Cia terkekeh. Bisa-bisanya teman dokternya itu tertawa, padahal ada orang-orang menakutkan sedang mencari perempuan itu.
Cia berhenti tertawa. Wanita itu berdehem. “Apa sekarang mereka masih ada di mess?”
“Tentu saja. Sudah kubilang mereka tidak mau pergi.”
Cia menarik lalu menghembuskan napas. Kening wanita itu mulai kembali berkerut. Itu artinya dia tidak bisa kembali ke mess. Ah, sial. Kemana dia harus pergi? kenapa juga papa Rion belum menghubunginya?
Ah, bodoh! Kenapa tidak dia saja yang menghubungi?
“Norah, aku tutup dulu. Kabari aku kalau orang-orang gila itu sudah pergi, okey?” lalu dengan buru-buru Cia menurunkan ponsel. Menekan gambar telepon warna merah, kemudian menggulir layar mencari nomor asing yang menghubunginya dan membuatnya kini tidak bisa kembali ke mess.
Sementara di tempatnya, Norah mengumpati sang teman sembari menatap layar ponsel yang beberapa detik kemudian berubah hitam.
***
“Nanny … kepala Rion berat.”
“Tahan, anak mami. Rion itu laki-laki, harus kuat. Jangan lembek, okey?”
Rion cemberut mendengar kata-kata Cia. Meskipun begitu, anak itu tidak lagi mengeluh. Dua tangan kecil anak itu berusaha menahan berat benda yang membungkus kepalanya.
Cia menunggu seseorang yang dia hubungi menerima teleponnya. Satu dering, dua dering, tiga dering lalu … tut … tut … tut!
Mulut Cia terbuka. Panggilannya ditolak. Menurunkan ponsel dengan cepat, Cia kembali menekan deretan angka yang sama, kemudian membawa ponsel kembali ke telinga kiri.
Sepasang mata dokter muda itu seketika membesar ketika nomor tersebut tidak lagi bisa dihubungi. Ingin sekali Cia mengumpat kasar, jika saja tidak mengingat masih ada Rion di dekatnya. Sialan. Apa sebenarnya mau papa Rion? Apa pria itu sengaja ingin membuang anaknya?
Jadi, ancaman pembunuhan itu hanya kedok pria tidak bertanggung jawab itu untuk membuang Rion? Begitukah?
Tapi, kenapa ada orang-orang bertubuh besar yang jelas mengejarnya?
Berbagai pertanyaan mengendap di dalam kepala Cia. Wanita itu menghentak keras karbondioksida keluar dari mulut. Cia mengedarkan pandangan mata. Kemana dia sekarang harus pergi, selain ke mess?
Hotel? Cia berdecak mendengar bisikan di dalam kepalanya. Tidak. Mahal, jawab dalam hati Cia. Wanita itu menoleh lalu menatap Rion yang sedang memegangi helm kebesaran di kepalanya.
Kasihan juga melihat Rion. Astaga, dia mengingat adik bungsunya. Reagan.
Menghembus pelan napasnya, Cia memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, kemudian mengenakan helm nya sendiri. “Ayo, naik.”
Cia menaiki motor, kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Rion naik ke boncengannya.
“Nanny … kenapa kita tidak naik mobil? Rion tidak suka panas.”
Oh … sepertinya Rion memang anak mami, batin Cia mendengar keluhan yang kesekian kali dari anak itu.
“Siapa suruh papamu tidak cepat jemput kamu? Aku tidak punya mobil,” kata Cia. Wanita itu menarik kedua tangan kecil Rion untuk melingkar di perutnya. “Pegangan yang kencang. Jangan sampai kamu jatuh kena angin.”
Mendengar kalimat Cia, Rion mengeratkan pelukannya. Tubuh anak itu melekat sempurna di punggung Cia.
"Nanny miskin, ya? besok Rion minta papa membelikan Nanny mobil."
Cia mengedip. Wanita itu memutar kepala ke belakang--menatap Rion yang sedang melongok ke arahnya.
“Tapi, Nanny jangan bikin Rion ngompol lagi. Rion malu.”
Cia tidak menjawab. Wanita itu mengembalikan fokus ke depan, kemudian melajukan sepeda motor meninggalkan halaman rumah makan. Rion memeluk erat tubuh Cia. Takut dia akan terjatuh saat sang nanny mengendarai motor secepat angin. Wush ... wush ....
***
“Berapa lama lagi aku masih harus berada di tempat ini?”
“Waktu anda masih 10 jam lagi, Tuan.”
Geraldo berdecak kesal. “Apa tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengeluarkanku sekarang?”
“Tidak ada, Tuan. Anda tahu itu prosedurnya. Anda baru bisa keluar setelah 1 x 24 jam mereka tidak bisa mendapatkan bukti keterlibatan anda.”
Geraldo menggeram. Pria itu menatap kesal pengacaranya sebelum mengalihkan tatapan pada sosok yang duduk diam di samping sang pengacara.
“Eric. Putraku dalam bahaya.”
Yang dipanggil mengedip. “Apa perintah anda, Tuan?”
“Cari dan lindungi putraku.” Geraldo terdiam beberapa saat. “Dan juga … perempuan itu. Dari jauh. Jangan biarkan siapapun mendekati mereka."
"Apa tidak sebaiknya membawa mereka ke mansion?"
Geraldo menatap sang bodyguard. "Aku tidak bisa membawa mereka ke mansion, sebelum memastikan tidak ada penghianat di antara mereka."
“Baik, Tuan.”
Geraldo menarik dalam napasnya, lalu menghembuskan perlahan. “Apa sudah ada kabar tentang kakakku?”
“Belum, Tuan. Pesawat yang mereka tumpangi masih belum ditemukan keberadaannya.”
Tangan Geraldo mengepal kuat. Rahang yang ditumbuhi bulu-bulu yang cukup tebal tersebut berkedut, ketika sang pemilik menekan-nekan katupan gerahamnya.
“Tuan,” panggil Eric. Pria yang tidak lain adalah bodyguard kepercayaan Geraldo itu terlihat sedikit ragu, sebelum beberapa saat kemudian membuka sepasang bibirnya. “Ada kemungkinan, pesawat itu disabotase.”
Geraldo menatap tajam sang bodyguard. Dia tahu.
Geraldo menekan semakin kuat katupan sepasang rahangnya ketika pikiran buruk itu kembali melintas.
“Sepertinya mereka memang sudah menargetkan tuan Alfonso dan keluarganya.”