Bab 10. Hadiah

1577 Words
“Gila … bagaimana kamu bisa berhubungan dengan Geraldo Theodore Jaquine, Cia?” Cia melirik ke samping, sementara tangan kanannya masuk ke dalam kaleng biskuit yang ia pangku. Wanita muda itu sedang duduk bersama Norah, dengan layar televisi menyala. Bukan berita biasa yang sedang mereka tonton. Cia sedang menonton pemberitaan tentang dirinya sendiri. Cia kehabisan kata-kata. Dia tidak pernah menyangka jika pria itu adalah seorang pengusaha terkenal di tempat tersebut. Pria yang ternyata baru saja tersandung kasus penjualan obat-obatan terlarang. Oh … Cia mengunyah keras biskuit di dalam mulutnya. Seolah dengan melakukan hal tersebut, dia bisa melampiaskan kekesalannya. Tidak! Cia sama sekali tidak merasa bangga wajahnya terpampang di layar televisi—meskipun di blur, sehingga tidak semua orang mengenalinya. Hanya orang-orang terdekatnya yang pasti tahu siapa dokter muda yang sedang mereka bahas. Cia juga tidak menyadari ternyata ada kamera yang mengikuti mereka. “Shitt!” “Kenapa kamu mengumpat?” tanya Norah yang sudah menoleh ke samping. Wanita yang juga berprofesi sebagai seorang dokter itu menatap sang teman. “Geraldo itu most wanted pria matang lajang berkualitas yang banyak diperebutkan oleh wanita di kota ini. Oh … mungkin di kota-kota lain juga. Bisnisnya ada dimana-mana. Kekayaannya melimpah. Dia juga … hot.” Norah terkekeh. "Kamu perhatikan tubuhnya itu. Oh my God, Cia ... aku tidak bisa membayangkannya di atas ranjang." Wanita itu menunjuk ke arah layar televisi yang sedang menampilkan pria bernama Geraldo Theodor Jaquine. Cia melotot seketika. Menoleh, wanita itu menatap tak suka sang teman. “Kamu memujinya terlalu berlebihan. Pria itu tidak lebih dari … pria gila.” “Astaga, Cia. Sekalipun benar dia Gila, yang sayangnya jelas salah. Geraldo jelas sehat jasmani dan rohani. Aku tidak akan keberatan berkencan dengannya.” Sepasang mata Norah membesar. Bagaimana bisa Cia mengatakan pria se-HOT itu gila? Sepertinya kepala sang teman baru saja terantuk sesuatu--batin Norah sembari memicing memperhatikan Cia yang sudah kembali mengunyah biskuit. “Ya sudah, kalau begitu silahkan berkencan dengannya." Cia menyahut santai setelah menelan kunyahannya. Norah cemberut. “Masalahnya, yang bersama dengan dia. Itu … dia restoran itu. Makan malam secara privat. Saking privatnya sampai dibooking satu restoran … itu, perempuan itu … kamu, bukan aku.” Norah sekali lagi menunjuk ke layar televisi. Tepat saat layar televisi memperlihatkan dua orang pria dan wanita masuk ke dalam sebuah restoran. Cia berdecak. Kenapa juga semua stasiun televisi menyiarkan hal tidak penting itu berulang-ulang. Cia sampai bosan melihatnya. Mendengar narasinya, Cia merasa muak. Cinderella yang menemukan sang pangeran? Pangeran katak? Atau … pangeran monyet yang pantas disematkan untuk Geraldo? Orang gila yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Benar-benar gila. Cia menggelengkan kepala ketika sepintas percakapannya dengan Geraldo ketika makan malam kembali melintas. *** “Karena kamu sudah mengingatnya ... ayo, ikut denganku sekarang.” “Kemana?” “Menikah denganku.” Untung saja Cia tidak sedang meneguk isi dalam gelas yang sedang dipegangnya. Cia yakin pasti akan menyemburkan minuman itu jika saja dia sudah membawa tepi gelas ke sela bibir, kemudian mendorong p****t gelas hingga cairan di dalamnya mengalir masuk ke dalam mulutnya. Dan karena Cia tidak menyemburkan minuman dari mulutnya, yang wanita itu lakukan setelah dua kata terakhir Geraldo adalah mengangkat gelas di tangannya, lalu melemparkan isi di dalamnya ke wajah Geraldo. “s**t!” Geraldo mengumpat. Pria itu mengusap wajah basahnya. “Jangan lagi muncul di hadapanku. Dasar gila.” Cia bangkit dari posisi duduk. Wanita itu sudah akan melangkah meninggalkan kursi ketika mengingat sesuatu. “Oh … dan ingat satu hal. Jangan punya anak kalau kamu tidak bisa menjaganya.” Lalu Cia benar-benar melangkah pergi. Geraldo mengangkat tangan kiri ketika bertemu tatap dengan Eric yang berjaga di pintu. Pria itu menggeleng. Memberi isyarat supaya Eric tidak menghalangi Cia pergi. Pria itu menghembus napas panjang sementara sepasang matanya mengikuti pergerakan Cia keluar dari restoran. Tanpa Cia tahu, satu sudut bibir Geraldo terangkat. Sepasang matanya masih tidak melepas punggung sang dokter muda. *** “Cia … Cia ….” Panggilan Norah membuat lamunan Cia pudar. Cia mengedip dua kali lalu memfokuskan pandangan mata pada sang teman. “Ada apa?” tanya Cia dengan nada malas. “Jangan membahas soal pria gila itu lagi. Kalau kamu suka sama dia, kejar saja. Aku tidak peduli.” Norah memberi tanda dengan gerakan bola mata agar Cia menoleh ke samping. Sayangnya, Cia tidak paham, hingga yang Norah lakukan selanjutnya adalah mendelik. Kesal karena sang teman tidak bisa membaca kode darinya. “Permisi, Nona Lethicia.” Dengan cepat Cia menoleh ke arah datangnya suara. Bola mata wanita itu nyaris saja meloncat keluar dari kelopaknya, begitu melihat sosok pria yang sudah berdiri di sampingnya. Dia bahkan tidak menyadari ada orang lain di dalam ruangan tersebut selain dirinya dan Norah. Sementara Norah langsung mendesah. Wanita itu menggumam pelan. "Dikasih kode tidak paham." “Kamu … apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Cia dengan sepasang mata membesar. Pria yang berdiri di samping meja, membungkuk—meletakkan buket bunga ke atas meja ke depan Cia. “Tuan Geraldo meminta saya untuk mengantar langsung bunga ini.” Menegakkan tubuh, pria dengan setelan jas serba hitam tersebut kemudian memasukkan satu tangan ke balik jas. Beberapa detik selanjutnya, satu kunci mobil pria itu letakkan di depan Cia. “Dan ini … hadiah dari tuan Geraldo untuk anda.” “Apa maksudnya ini?” tanya Cia sembari menatap kunci di depannya. Bukannya dia tidak tahu kunci apa yang ada di depannya. Dia jelas tahu itu adalah kunci mobil, bukan kunci sepeda motor. “Mobil untuk anda, Nona. Tuan muda Rion tidak suka naik motor. Itu yang saya dengar.” Cia mengerjap cepat. Wanita muda tersebut menelan ludah susah payah. Sementara di sebelah Cia--Norah tersenyum lebar. Menatap takjub benda di atas meja. Melihat dari ukiran yang terdapat pada kunci mobil, dia tahu mobil seperti apa yang dihadiahkan Geraldo untuk temannya. Oh ... beruntung sekali Cia, batinnya. Cia menarik masuk oksigen melalui celah mulut. Menghentak cukup keras karbondioksida dari tempat yang sama, Cia menarik tubuhnya ke depan. Wanita muda tersebut mendorong buket bunga dan juga kunci mobil di depannya ke tepi. “Aku tidak butuh semua ini. Kembalikan pada tuanmu.” "Adu, Cia. Jangan ... sayang." Norah secara refleks menahan tangan Cia hingga membuat Cia memutar kepala kemudian mendelik. Norah memperlihatkan cengiran. "Kita bisa jemput Rion di sekolah naik mobil," kata Norah sebelum wanita itu tersenyum lebar. "Aduh." Norah mengaduh ketika Cia justru menampar bahunya. Cia menatap kesal sang teman. Wanita itu kemudian mengembalikan fokus pada pria yang masih betah berdiri di sampingnya. "Bawa pulang," perintah Cia pada Eric. “Maaf, Nona. Apa Nona ingin tuan Geraldo sendiri yang memberikan hadiah ini?” “Apa? Apa kamu gila? Aku memintamu mengembalikan barang itu pada tuanmu, karena aku tidak mau berhubungan dengan pria gila itu.” Bukannya kesal mendengar Cia menyebut pria gila pada sang tuan, pria yang tidak lain adalah Eric itu justru tersenyum kecil. “Kalau begitu, silahkan diterima. Karena jika tidak, maka tuan Geraldo sendiri yang akan datang menemui anda.” “Wah … kamu mengancamku?” “Saya tidak akan berani mengancam calon istri tuan saya.” Cia melirik Norah yang tersedak setelah mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Eric. Cia menghentak napasnya. Kepala wanita itu menggeleng. Entah hal buruk apa yang sudah dia lakukan hingga nasibnya berubah drastis. Sial, sial dan sial. “Saya permisi, Nona.” Mulut Cia terbuka, namun kembali tertutup. Eric saja sudah membuatnya pusing, apalagi jika Geraldo benar-benar datang sendiri. Sialan. Cia mengumpat dalam hati. "Cia ... kamu benar akan menikah dengan Geraldo Theodor Jaquine? Ya ampun ... aku ikut senang." "Berhenti bicara, Norah. Itu tidak akan terjadi. Kecuali kalau aku sudah ... gila." Cia kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Eh, Cia. Ini ... bunga dan kunci mobilnya. Ya ampun, pria itu ternyata tidak hanya hot, tapi juga romantis. Paket lengkap, Cia. Jangan ditolak." *** “Bagaimana?” Eric yang masih berjalan keluar dari mess para dokter dengan tangan kanan menempelkan ponsel ke telinga, menjawab. “Sudah, Tuan. Perintah anda sudah saya kerjakan.” Pria itu menurunkan ponsel setelah mendengar nada sambung terputus. Di dalam ruang kerjanya, Geraldo melepas kacamata. Pria itu menarik punggung ke belakang, lalu merebahkan kepala ke sandaran kursi. Sepasang kelopak matanya bergerak—tertutup. Napas pria itu tertarik kemudian berhembus pelan. Sepasang telinganya masih mendengar pemberitaan tentang dirinya. Sudut bibir pria itu berkedut. Dia tidak punya pilihan yang lebih baik dari menikahi Lethicia. “Maafkan aku. Aku harus melakukannya. Demi … kita.” Geraldo tidak tahu berapa lama ia tertidur, ketika ponselnya berdering. Pria itu membuka kelopak mata, lalu menarik tubuh yang sebelumnya nyaman menyandar. Geraldo segera meraih benda yang masih meraung. Mengernyit ketika melihat deretan angka yang tidak dikenal. Geraldo sudah akan menekan tombol terima ketika suara ponsel berhenti. Sepasang alis Geraldo bergerak mengerut ketika pria itu sedang berusaha menebak siapa yang menghubunginya. Notifikasi pesan masuk terdengar. Geraldo dengan cepat menekan hingga tampilan layar ponsel berganti. Geraldo mendekatkan ponsel. Detik berikutnya, sepasang mata pria itu membesar begitu melihat satu foto yang memperlihatkan gambar kakak dan kakak iparnya. Bukan wajah dua orang yang sedang dicarinya itu, yang membuat jantung Geraldo berdetak semakin kencang. Namun, penampakan dua orang tersebut yang sedang terikat di atas kursi. Apalagi saat dia melihat darah di sudut bibir sang kakak ipar. Geraldo meremas kuat ponsel di tangan kanannya, sementara tangan kiri pria tersebut mengepal. Begitu ponsel kembali berdering dan memperlihatkan deretan angka yang sama, yang sebelumnya menghubungi--Geraldo langsung menekan tombol terima, kemudian membawa ponsel ke telinga. Pria itu beranjak dari kursi. “Berani kamu menyentuh mereka, maka aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD