"Bang, Abang mau ke mana? ini belanjaannya bayar dulu!" ujar Laura dingin.
"Hah?" Banyu tercengang, rupanya Laura memanggil hanya untuk menyuruh Banyu membayar belanjaannya.
* Dita Andriyani *
Matahari telah berwarna jingga, nyaris tenggelam di ufuk barat. Penampakan matahari terbenam yang begitu indah, lukisan alam yang tampak sempurna di depan mata, sayang hati Laura tidak sedang berbunga, malah terkesan gersang akibat terbakar api cemburu yang membara.
"Sayang, kamu masih marah?" tanya Banyu karena istrinya hanya diam sepanjang perjalanan. Laura malah memalingkan wajahnya ke arah samping.
"Udah dong, Sayang, Abang, 'kan, udah minta maaf, Abang janji enggak akan ngulangin lagi." Laura masih tetap bergeming.
Banyu sudah memasuki area parkir resort, memarkirkan mobilnya di tempat biasa lalu membuka sabuk pengamannya, sambil melirik Laura yang melakukan hal sama tanpa berbicara sedikit pun. Wanita itu berusaha membuka pintu yang masih terkunci, Banyu sengaja melakukannya agar Laura mau berbicara padanya.
Namun, Laura hanya melirik sekilas pada Banyu yang tersenyum manis padanya lalu kembali merengut sambil melipat tangannya di bawah d**a.
"Udah dong, Sayang, ngambeknya. Ini, 'kan, malam terakhir kita di sini, masa mau kita habiskan dengan marahan, seharusnya 'kan, kita habiskan dengan sayang-sayangan." Banyu membelai pipi Laura lalu mengecupnya.
Laura malah menghela napas kesal, "udah, deh, Bang! Buka pintunya aku mau pipis!" pinta Laura masih bernada kesal.
"Abang bukain tapi jangan ngambek lagi, ya!" pinta Banyu.
"Buruan bukain, atau aku pipis di sini!" sungut Laura.
"Eh, jangan. Mobil orang ini!" jawab Banyu sambil menekan tombol untuk membuka pintu, Laura langsung berlari kecil menuju resort yang mereka tinggali selama di sini, meninggalkan Banyu dengan banyak tas belanjaan yang harus ia bawa sendiri.
Banyu yang terlihat sangat kerepotan membawa tas belanjaan berisi beraneka oleh-oleh memasuki resort dan menaruhnya di ruang depan, lelaki itu memasuki kamarnya dan mendengar gemericik air dari kamar mandi itu artinya Laura sedang mandi, ia tersenyum jahil lalu berusaha membuka pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam
padahal biasanya Laura tidak pernah menguncinya walau tengah mandi.
"Yah, ngambeknya beneran!" gerutu Banyu lalu kembali ke depan di mana tadi dirinya meninggalkan kantung-kantung belanjaannya.
Ia duduk di sebuah kursi yang menghadap langsung ke laut lepas yang mulai menggelap sambil menikmati s**u kuda liar yang tadi ia beli. Tanpa terasa sampai juga ia pada tegukan terakhir dari botol yang ia genggam, Banyu memutuskan untuk kembali ke kamar, istrinya pasti sudah selesai mandi.
Benar saja, saat ia masuk Laura tengah menyisir rambutnya, pakaiannya pun telah berganti dengan piyama berwarna merah muda, tanpa banyak bicara Banyu memeluk istrinya dari belakang. Laura menggeliat, berusaha melepaskan diri tapi Banyu tidak menyerah, ia malah mengeratkan pelukannya, ia teringat perkataan Miranda. Jika istrimu marah, maka peluklah, kadang ia tidak memerlukan apapun selain pelukan untuk meredam emosinya.
Banyu membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang terasa manis.
Banyu tetap memeluk istrinya dengan erat sampai ia merasakan bahu Laura yang tiba-tiba naik turun, ia menangis sesegukan.
"Kamu kenapa, Sayang? Kok nangis?" tanya Banyu lembut sambil mencium pipi Laura.
Saat merasakan pelukan suaminya mengendur Laura langsung memutar tubuhnya menghadap Banyu lalu memeluk bahu kekar itu dengan kuat, dan menangis lebih pilu.
"Aku kangen Abang! Aku kangen peluk Abang, aku kangen cium Abang! Tapi aku juga sebel, kesel, marah sama Abang!" Laura melepas pelukannya memukul d**a Banyu lalu kembali memeluk erat suaminya itu.
Banyu tersenyum sambil mengelus kepala Laura dan mengecupinya berkali-kali.
"Kamu mau maafin Abang, 'kan?" tanya Banyu sambil terus memeluk tubuh istrinya itu.
Laura mengangguk cepat, sambil berkata, "tapi aku sebel!"
"Iya, Abang minta maaf. Sini kita ngobrolnya sambil duduk." Banyu membimbing istrinya untuk duduk di sudut ranjang.
"Kamu tau bagaimana perasaan Abang waktu pertama kali kita sampe sini, terus kamu ngilang dan ternyata lagi di pantai sama cowok lain?" tanya Banyu dengan tatapan teduh tapi terasa menusuk sampai ke hati Laura, membuat hatinya yang semula panas kini mencair bahkan meleleh seperti es krim yang lama tidak langsung dimakan.
"Sama seperti kamu saat ini," imbuh Banyu karena Laura yang hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya, hanya matanya saja yang tiba-tiba berkaca-kaca.
"Tapi, 'kan, aku enggak ngapa-ngapain sama Kak Samuel. Kalau Abang, 'kan, tadi dicium sama Zara! Dua kali lagi! terus Abang cuma pasrah aja lagi, enggak meng-." Omelan Laura langsung dipaksa berhenti oleh bibir Banyu yang tiba-tiba sudah menempel pada bibirnya.
"Abang sana, ah! Aku masih sebel sama Abang!" Laura mendorong d**a suaminya agar menjauh, Banyu menurut, kembali duduk tegap di hadapan Laura walau sambil menahan senyumnya.
"Terus gimana saat kamu dicium Excel waktu itu? Kami belum kasih penjelasan sama Abang?" Laura menelan salivanya mendengar pertanyaan Banyu.
"Tapi, 'kan, aku langsung marah sama Excel, aku langsung nampar dia!" Laura kekeh membela diri.
"Iya Abang tau, makanya Abang enggak marah sama kamu, walaupun perasaan Abang seperti terbakar waktu itu. Abang tau itu bukan salah kamu. Terus apa mau kamu, tadi Abang ngelakuin hal yang sama seperti yang kamu lakuin sama Excel pada Zara?" tanya Banyu sambil menatap wajah istrinya.
"Ya enggak juga, sih, tapi, 'kan-." Banyu kembali membungkam omelan istrinya dengan ciumannya, tetapi kali ini Laura tidak mendorong tubuh suaminya. Banyu sendiri yang menghentikan kecupannya dan kembali duduk tegap menghadap Laura yang duduk bersila di tepi ranjang.
"Kamu juga tau, 'kan, kita sekarang ada di mana? Di sini adalah hal yang lumrah jika salam pertemuan atau perpisahan adalah cipika-cipiki, tapi buka berarti kami ada hubungan atau perasaan tertentu," TTSerang Banyi sambil mencium pipi kanan dan kiri Laura.
"Iya, aku tau! Tapi tetep aja aku enggak suka! Apalagi perempuan-perempuan itu kalau liat Abang tuh kayak singa kelaperan tau enggak! Aku eng–." Untuk ketiga kalinya Banyu membungkam omelan istrinya dengan bibirnya.
"Abang juga enggak suka, cowok-cowok di luar sana kalau ngeliat istri Abang yang cantik ini seperti buaya yang kelaperan!" balas Banyu. Laura hanya diam.
Banyu menggenggam erat tangan istrinya, "Sayang, yang namanya cemburu itu wajar, karena rasa takut kehilangan yang kita rasakan, dan itu semua karena rasa sayang dan cinta yang ada di hati kita. Tapi kita juga harus bijak mengelola kecemburuan, jangan sampai hanya karena kecemburuan malah membuat hubungan kita tidak baik." Mata Laura kembali berkaca-kaca mendengar ucapan suaminya.
"Boleh cemburu, tapi kamu jangan sampai lupa kalau cinta dan sayang Abang cuma buat kamu. Enggak ada siapa pun yang bisa mencuri rasa cinta itu dari kamu." Banyu mencolek ujung hidung mancung istrinya yang tengah mengulum senyum malu.
"Abang juga seneng liat kamu cemburu gini, itu artinya kamu cinta mati dan takut kehilangan Abang! Iya, 'kan?" Banyu menggoda istrinya yang sudah mulai bisa tersenyum.
"Terus Abang berancana bikin aku cemburu terus? Gitu?" tanya Laura.
"Eh! Itu perasaan perkataan Abang buat kamu waktu itu, deh!" jawab Banyu.
"Biarin! Pinjem!" jawab Laura sambil menahan tawanya.
"Nah, gitu, dong. Senyum, 'kan, jadi tambah cantik!" ujar Banyu sambil menyelipkan anak rambut Laura yang tertiup angin ke belakang telinganya.
"Gombal!" sembur Laura.
"Enggak apa-apa, 'kan, seumur hidup Abang ngegombalnya sama istri Abang tercinta ini!" jawab Banyu sambil mengecup tangan Laura.
"Sayang, tadi katanya kangen. Yuk!" ajak Banyu untuk menuntaskan kerinduan yang terasa tiada pernah berujung.
"Ayuk ke mana?" tanya Laura sambil mengernyitkan dahinya.
"Ayo kangen-kangenan!" jawab Banyu sambil mengedipkan matanya memberi kode, wajah Laura berubah seketika lalu meraih tangan suaminya, menuntunnya agar menyentuh bagian bawah tubuhnya.
Banyu tersenyum senang merasa Laura yang mengerti kodenya langsung mulai beraksi, bahkan menuntun tangannya lebih dulu langsung ke bagian inti.
Banyu membelai bagian favoritnya pada tubuh sang istri itu lalu mengernyitkan dahi karena merasakan sesuatu yang aneh, tidak seperti biasanya.
"Sayang, kok tebel?" tanya Banyu spontan.
Laura menahan tawa mendengarnya juga karena melihat ekspresi aneh suaminya.
"Aku pake pembalut, Bang!" jawab Laura ringan.
"Hah? Artinya?" Banyu sedikit terlonjak mendengar jawaban Laura.
"Iya aku kedatengan tamu bulanan, Abang puasa dulu!" jawab Laura sambil meminta pengertian suaminya.
"Hah, lama enggak?" tanya Banyu lagi, kali ini dengan membetulkan posisi duduknya setegap semula.
"Ya, enggak lama, sih, paling seminggu," jawab Laura sambil mengira-ngira lama masa datang bulannya.
"Hah? Seminggu? Abang baru minum s**u, lho, sayang!"