"Bang, enggak ada niat buat ngelakuin, apa ... gitu ...." Goda Laura sambil memainkan rambut halus yang menumbuhi d**a bidang suaminya.
"Udah, deh, kalau lagi nguruh Abang puasa jangan godain terus!" sungut Banyu sambil terus memejamkan matanya dengan lengan kekar yang masih mengungkung pundak mulus istrinya.
Laura terkekeh mendengar ucapan suaminya, ia mendongakkan kepalanya agar bisa memberikan morning kiss pada lelaki yang sangat dicintainya itu.
"Bangun, yuk, nanti kesiangan sampe hotel, Kak Daniel bisa ngomel - ngomel," ujar Laura sambil menggeliat keluar dari pelukan suaminya.
"Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Banyu masih dengan suara parau khas bangun tidurnya.
Laura yang sudah berada di ujung ranjang, berdiri sambil menatap Banyu.
"Mandi, mau ikut?" jawab Laura dengan nada suara yang ia buat menggoda sambil meyingkap selimut hingga tubuh bagian bawah Banyu yang hanya mengenakan celena pendek terllihat.
"Ih, enggak, ah," Banyu menggidik, membuat Laura tertawa kecil.
"Sabar, paling cuma seminggu, kok," jawab Laura sambil merapikan selimut di ujung ranjang.
"Hah? Seminggu? lama banget? Ini udah berapa lama?" tanya Banyu sambil menyandarkan tubuhnya di atas ranjang memperhatikan istrinya yang tengah merapikan tempat tidur mereka.
"Baru dua hari, Bang!" jawab Laura menahan gemasnya pada Banyu yang ia rasa tidak sabaran.
"Lama banget, kayaknya udah dua bulan!" gerutu Banyu.
"Ih, Abang enggak sabaran!" ketus Laura sambil menyentil gemas bagian bawah tubuh Banyu yang hanya tertutup celana pendek itu.
Banyu terpekik kaget sambil menahan sedikit ngilu yang menjalar, "Sayang, sakit!"
"Biarin abis singkongnya nakal!" jawab Laura sambil melenggang ke kamar mandi.
"Sayang ...." pekik Banyu, terdengar tawa Laura di dalam kamar mandi.
"Masa singkong, sih!"
Tiga puluh menit kemudian, Laura baru keluar dari kamar mandi. Entah apa yang ia lakulan hingga begitu lama di dalam sana, ia menahan senyum saat mendapati suaminya yang sudah rapi mengenakan setelan jas yang Daniel berikan. Seragam acara resepsi pernikahan Daniel dan Sandra entah kapan dan siapa yang mengantarkannya saat mereka tiba dari Lombok pakaian itu sudah teronggok rapi di atas meja rias Laura.
"Abang sayangnya aku udah ganteng, mandi di mana?" tanya Laura sambil memeluk suaminya dari belakang.
"Ya di kamar mandi luarlah, abis kamu ditungguin lama banget. Ngapain aja, sih?" tanya Banyu padahal ia sudah hafal karena istrinya itu selalu lama di kamar mandi.
"Biasa, ritual!" jawab Laura sambil melepaskan handuk yang melilit tubuhnya, ia sudah mengenakan pakaian dalam. Lalu, mengambil kebaya yang sudah Sandra buatkan kebaya cantik dengan warna merah muda.
"Abang, tolongin dong," pinta Laura yang kesulitan memakai kebayanya, dengan telaten Banyu membantu istrinya mulai dengan mengancingkan satu persatu pengait belakang kamisolnya lalu memakaikan kebaya dan menarik resletingnya ke atas.
"Nah, selesai, bayi besarku sayang," ujar Banyu setelah kebaya yang terlihat sangat pas di tubuh Laura itu selesai ia pakaikan, Banyu mengecup pundak Laura.
"Terima kasih, Sayang." Laura membalas kecupan suaminya, tepat di ujung hidung mancungnya.
"Aku pake make up, dulu, ya." Laura duduk di meja riasnya.
"Abang tunggu di bawah, ya." Laura mengangguk, "Jangan tebel - tebel make up-nya!"
"Kenapa?" tanya Laura.
"Nanti kayak emak - emak!"
Laura tertawa hingga suaminya menghilang di balik pintu.
* Dita Andriyani *
Mereka tiba di lobi hotel tempat digelarnya acara resepsi nan megah itu, Laura tampak cantik dengan make up naturalnya. Begitu pula dengan Miranda yang tampak segar dengan make up yang Laura berikan padanya. Wanita itu sudah mengalami banyak kemajuan pada keadaan kesehatannya, ia sudah bisa berbicara dengan lancar, tangannya pun sudah bisa di gerakakkan meski masih lemah, hanya masih harus terus melakukan terapi hingga kaki dan tangannya bisa berfungsi normal lagi.
Laura berjalan menggandeng tangan suaminya, sedangkan Miranda di dorong oleh suster Wati dengan kursi rodanya. Tempat itu resepsi masih sepi, maka mereka memutuskan untuk ke kamar vvip yang Daniel sewa untuk tempat make up dan bersiap - siap kedua mempelai itu.
"Laura," panggil Priyo saat mereka hendak memasuki lift.
"Papi," jawab Laura, lalu memeluk pria itu.
"Kalian mau ke mana?" tanya Priyo pada mereka.
"Karena di Ballroom masih sepi kami mau ke tempat Kak Sandra dulu," jawab Laura.
"Oh." Priyo mengangguk, "Miranda, kita ngobrol di ballroom dulu, yuk, sambil nunggu pengantinnya."
"Iya, itu lebih baik," jawab Miranda setuju. Priyo langsung mengambil alih kursi roda Miranda lalu mendorongnya.
"Abang sama Papi aja, ya," bisik Banyu, Laura mengangguk lalu mereka berpisah saat pintu lift terbuka.
* Dita Andriyani *
"Kak Sandra ... Kakak cantik banget!" seru Laura begitu melihat Sandra yang sudah selesai dirias.
"Laura, kamu juga cantik banget, kebayanya, pas?" tanya Sandra melihat Laura mengenakan kebaya yang ia kirimkan.
"Pas banget, Kak. Makasih, ya." Laura menarik kursi lalu duduk tidak jauh dari Sandra.
"Gimana? Kamu udah ada tanda - tanda garis dua?" bisik Sandra membuat pipi Laura menghangat.
"Belum, Kak. Aku sama Abang sepakat buat nunda dulu," jawab Laura malu - malu.
"Hah, tunda? Banyu, 'kan, udah tua!" celetuk Sandra lalu menutup bibirnya menyadari sudah keceplosan, Laura malah tertawa kecil mendengarnya walaupun dalam hatinya membenarkan apa yang Sandra katakan.
"Maaf, ya, bukan begitu maksud kakak," ujar Sandra kemudian.
"Enggak apa-apa, Kak," jawab Laura sambil menggenggam tangan Sandra.
"Kakak sendiri gimana?" tanya Laura.
"Kakak juga belum, tapi kami enggak akan nunda, sih, Kakak kamu itu harus dikasih momongan. Dia harus jadi orang tua biar sifatnya enggak kekanak - kanakan lagi, biar enggak nakal lagi!" bisik Sandra sambil melirik Daniel yang sedang memakai jasnya dengan bantuan dua orang wanita, sepertinya anak buah Sandra di butik Laura pernah melihatnya saat dulu mengurus kebaya pernikahannya.
"Kamu sama Kakak itu beda, lelaki walaupun sudah tua masih bisa membuahi lagian Banyu itu belum tua, hanya sudah matang. Tapi kalau perempuan? Walaupun Kakak hanya dua tahun lebih tua dari Kakak kamu, tapi ada kalanya Kakak merasa tidak percaya diri," ujar Sandra.
"Kakak enggak boleh mikir gitu, aku tau Kak Daniel sangat mencintai Kakak." Laura menggenggam tangan Sandra lebih kuat, kedua wanita itu mengangguk bersama.
* Dita Andriyani *
Ballroom tempat digelarnya acara, satu persatu para tamu undangan berdatangan, Sandra dan Daniel tampak serasi dan berbahagia di atas pelaminan, Priyo dan Dimas tampak menyalami kolega bisnis mereka satu persatu, kadang mengajak Banyu juga untuk turut berkenalan, begitu pula dengan Miranda yang banyak bertemu dengan teman - temannya di tempat itu, kadang Laura turut dalam pembicaraan mereka, dengan bangga Miranda memperkenalkan Laura sebagai menantunya.
"Laura ...." Kehebohan terjadi saat dua gadis itu datang dan melihat Laura yang tengah duduk bersama Miranda.
"Celine ... Meisya ...!" Laura berdiri menyambut mereka dengan pelukan hangat, sejak ke pergian Laura untuk berbulan madu baru kali ini mereka bertemu, karena saat memberikan oleh - oleh pun Laura meminta Mang Simin untuk mengantarkannya.
"Ih, kangen, deh!" ujar mereka berdua sambil mencubit pipi Laura.
"Kita ngobrol di sana, yuk." Laura menunjuk sebuah meja kosong, Meisya dan Celine mengangguk.
"Ma, aku duduk di sana sama mereka, ya," pamit Laura pada ibu mertuanya.
"Iya, sayang," jawab Miranda, Laura meninggalkan wanita itu bersama suster Wati dan Ceu Irah.
"Eh, gimana - gimana?" Celine dan Meisya heboh menginterogasi Laura saat sampai di meja mereka.
"Gimana apanya?" tanya Laura pura - pura bodoh.
"Ya honeymoon-nya, lah, Honey!" jawab Celine.
"Ya ... pokoknya asik, deh! tapi ada nyebelinnya juga," jawab Laura membuat kedua sahabatnya itu semakin penasaran.
"Ayo, dong ceritain!" desak Celine, sementara Meisya terlihat tidak seperti biasanya dan Laura tahu alasannya.
"Masih banyak waktu buat cerita, Bebs, nanti pasti aku ceritain semuanya. Kecuali bagian itu, ya!" jawab Laura sambil menahan tawa.
"Bagian apa, bagian apa?" tanya Celine seperti biasa gadis cantik itu memang selalu sedikit terlambat mengerti.
"Ya bagian itu!" jawab Meisya sambil mencubit kecil lengan Celine yang duduk di sebelahnya.
"Yah! Enggak seru, dong!" protes Celine yang sudah mengerti apa yang Laura maksud.
"Jangan diceritain, bahaya, nanti kalian pengen gimana?" ledek Laura!
"Yah, ngeledek! kita udah sering kali!" jawab Celine sambil tertawa renyah membuat kedua sahabatnya itu turut tertawa, walaupun Laura menyadari ada beban berat di balik tawa Meisya.
"Sya, Papi Rudi gimana?" tanya Laura, membuat tawa Celine berhenti seketika.
Meisya menggeleng pelan, "Kami belum ketemu, sejak istrinya meninggal dia masih berkabung, tapi dia ngechat gue beberapa hari yang lalu, dan bilang kalau semuanya akan baik - baik aja. Gue enggak ngerti yang dia maksud akan baik - baik saja itu apa."
"Dia masih kirimin elu uang?" tanya Laura pelan.
"Enggak, kemaren buat ambil ijazah aja gue harus jual perhiasan kerena uang yang orang tua gue kirim enggak cukup." Meisya menghela napas berat.
"Kayaknya gue harus ngelepasin cita - cita gue buat jadi dokter, Ra," imbuhnya dengab mata berkaca - kaca.
"Lu sabar, ya." Laura mengelus lengan sahabatnya itu.
"Ya udah kalian ambil makan dulu, sana, gue ke Bang Banyu dulu, ya," pamit Laura lalu bangun dari duduknya.
"Ayo, Sya, kita makan!" ajak Celine, Meisya menurut mereka berjalan bergandengan menuju meja prasmanan.
* Dita Andriyani *
Banyu duduk santai sambil menikmati makanannya di apit oleh Laura dan Dimas yang duduk di kanan dan kirinya, mereka menikmati makan siang sambil sesekali melempar canda atau mengobrol ringan tentang pesta pernikahan yang akan berlangsung sampai sore ini, di meja sebelah Priyo, Miranda dan Ceu Irah juga melakukan hal yang sama.
Laura batal menyuap makanannya saat melihat seseorang yang datang.
"Kak Samuel?" Banyu menoleh ke arah mata Laura menatap mendengar nama itu disebut oleh istrinya.
Dan benar saja, lelaki itu terlihat gagah dengan setelan jas yang ia pakai berbeda dengan saat mereka bertemu di Lombok saat itu, dan Banyu bisa bernapas lega melihat di tangan kirinya terapit tangan seorang wanita cantik, Banyu mengerutkan keningnya berusaha mengingat - ingat seperti pernah melihat wanita cantik itu.
"Nabilla," gumam Dimas melihat perempuan yang berjalan anggun ke arah mereka, tapi hanyanya sedikit kecewa melihat tangannya berada di lengan seorang pria.
"Hallo selamat, siang," sapa Samuel pada mereka.
"Kak, Samuel, Kakak jadi dateng!" Laura berdiri dan mengulurkan tangannya pada lelaki itu, membuat Banyu merasa kegerahan walaupun ruangan itu berpendingin udara.
Banyu dan Dimas turut berdiri, "Nabilla," sapa Dimas pada wanita yang hanya tersenyum manis itu. Sekarang Banyu ingat di mana dirinya pernah melihat wanita itu.
"Mas Dimas." Nabilla mengulurkan tangannya pada Dimas yang tersenyum canggung terlebih karena melihat Samuel yang berdiri di sebelahnya. Lalu mereka berlima saling bersalaman.
"Kak Samuel kok bisa sama kak Nabilla?" tanya Laura.
Pertanyaan yang jawabannya juga ditunggu oleh Dimas dengan harap - harap cemas.
"Iya, Kak Nabilla ini, Kakak perempuanku satu - satunya," jawab Samuel sambil tersenyum lebar, membuat Dimas juga tersenyum lega.
"Wah, ternyata dunia ini sempit, ya. Kak Samuel temen Kak Daniel, Kak Nabilla temen Kak Sandra!" ujar Laura.
"Kalau begitu, kami permisi ketemu pengantin yang berbahagia dulu, ya," pamit Nabilla pada mereka, sambil mencuri - curi pandang pada Dimas yang mengulum senyumnya.
"Ra, Kakak ketemu temen lama dulu, ya. Nanti ke sini lagi." Banyu mendengkus tidak suka mendengar Samuel berpamitan pada istrinya.
"Iya, Kak." Laura melambaikan tangannya pada Samuel dan Nabilla.
Belum sempat mereka kembali duduk perhatian mereka terrebut Meisya dan Celine yang berjalan cepat dan terlihat panik keluar dari Ballrom.