“Kenapa jalan kamu lambat sekali?” tanya Siska mengagetkan Antari yang sedari tadi fokus pada pikirannya berkecamuk. “ Eh…Kenapa mba?” tanya Antari kikuk. Siska membalikkan badannya menghadap Antari yang tampak tak nyaman di tatap penuh selidik oleh Siska.
“Saya tahu apa yang kamu khawatirkan. Semua rumor yang beredar tentang nona kami itu tidak benar. Memang ada insiden salah satu pengasuhnya yang nyaris mati karena dicekik oleh nona tapi itu pun ada alasannya. Dan tugas mu bukan untuk penasaran dengan kisah nona.” Ucap Siska menebak apa yang dipikirkan oleh Antari.
“Maaf mba.” Cicit Antari tertunduk malu. “Cepat ikut saya. Nona Vero sudah waktunya makan siang dan minum obat.” Antari sedikit berlari untuk mengejar Siska yang sudah berjalan jauh ke depan. Sebulan sudah Antari bekerja menemani nona Vero yang menurut orang-orang memiliki temperamental yang cukup jelek. Nyatanya setelah mengalami sendiri, Nona Vero tidaklah seburuk itu. Ia justri seorang gadis yang manis dan terkesan manja. Vero sangatlah nyaman saat ditemani bermain oleh Antari. Vero juga sangat suka jika sebelum tidur dibacakan buku dongeng oleh Antari. Semua perkembangan Vero dan Antari di report secara langsung oleh Siska yang ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Antari selama bertugas menjaga Vero putri bungsunya.
Nyonya Efendi sangat senang karena putrinya langsung akrab dengan Antari saat pertama kali bertemu. Ia heran apa yang digunakan oleh Antari sehingga putrinya yang sangat tertutup dan kurang bersahabat dengan pengasuhnya yang baru, tapi ia begitu terbuka terhadap Antari. Saat Siska memberi tahu kalau Vero sangat suka dibacakan buku dongeng, Nyonya Efendi yang tengah berada di London menemani suami dan putranya segera menyuruh pegawainya untuk membelikan berbagai macam buku dongeng untuk putri kesayangannya.
Tak hanya Vero saja yang senang saat menerima kiriman berbagai macam buku dari sang mama, Antari juga tak percaya ia akan membaca buku-buku lain selain yang sudah berulang kali dibacanya. Hari minggu adalah hari libur Antari. Antari di bebas tugaskan karena biasanya Veronika akan dibawa oleh Siska ke vila keluarga untuk bergabung dengan ayah, ibu dan kakak laki lakinya. Untuk itu pagi pagi sekali Antari yang sudah mengenakan pakaian olah raga bergegas menuju ke rumah Matahari untuk bertemu Siwi. Keduanya berencana akan berlari pagi di sekitar rumah.
“Gimana nona Vero? Kamu baik baik aja kan?” tanya Siwi membuat Antari kesal.
“Jadi kamu lagi ngomong ama setan, gitu?”
“Eh…Bukan gitu maksud aku Ri.” Siwi merasa tak enak. Antari jadi salah paham kepadanya. “Maksud aku non Vero ngga bikin yang aneh aneh kan?”
“Ngga lah. Kalo pun iya udah dari awal kerja aku ngga hidup lagi.” Celetuk Antari. Keduanya meminum air putih yang mereka beli. “Oiya aku penasaran. Sebenernya tuan & nyonya kita itu kerja apa sih? Ampe punya puluhan asisten yang ngurus empat rumah. Belum tukang kebun, supir sama satpam yang jaga rumah.” Antari sejak awal sudah sangat penasaran dengan profesi majikannya. Tapi ia tidak ada kesempatan untuk bertanya.
“Ehmm… Setahu aku tuan & nyonya itu emang dari sononya udah kaya. Tajir melintir. Belum lagi apapun yang mereka jalani pasti sukses. Apapun jadi duit. Nah sekarang nurun ke anaknya yang pertama, den Bram. Dia lebih pinter lagi nyari duitnya dibanding emak-bapaknya. Tapi sayang…” Siwi menutus ucapannya yang semakin membuat Antari penasaran.
“Tapi kenapa?” tanya Antari tak sabar.
“Sayang den Bram masih jomblo parah.” Gelak tawa Siwi tak tertahan lagi. Antari mengerutkan dahinya. “Apa hubungannya masih jomblo sama pinter cari uang?”
“Ya ampun Tari. Ya percuma aja donk dia kerja keras kalo Cuma di nikmati sendiri. Harusnya di usianya sekarang den Bram udah punya istri dan anak. Lah ini bisnis mulu yang dipikirin, jadi aja kagak nikah nikah.” Siwi semakin tertawa puas banget.
“Mentang-mentang yang bentar lagi mau nikah. Nyindir yang jomlo nih ceritanya.” Antari kesal karena tersindir. Siwi Cuma nyengir kuda. “Terus aku mau tanya lagi. Aku kan udah sebulan kerja disini, tapi aku belum pernah lihat apalagi ketemu den Bram. Dia ngga tinggal disini ya?”
“Iya den Bram tinggal di London. Mengurus bisnis keluarga yang lagi di bangun disana. Aku pernah lihat sekali pas den Bram pulang. Itu pun dari jauh, jadi ngga begitu kelihatan banget muka. Tapi yang pasti den Bram cakep banget. Lihat aja non Vero. Meski i***t kayak gitu tapi rupanya cakep banget. Heran aku kok Tuhan ngga adil ya sama aku.”
“Hush…Kalo ngomong itu dijaga. Gitu gitu dia anak majikan kita. Kalo ada yang denger terus laporan ke nyonya bisa gawat. Kamu mau dipecat mendadak.”
“Ogah.”
“Makanya jangan asal ngomong.”
“Pokoknya kalo suatu hari nanti kamu ketemu den Bram, kamu ngga boleh jatuh cinta sama dia ya.” Siwi memperingati Antari. Ia tak ingin temannya itu tersakiti. Apalagi kasta mereka saja sudah beda. Bagaikan langit dan bumi.
“Ya ampun mana berani aku jatuh cinta sama orang sekaya mereka. Aku tahu diri Wi. Ngayal tuh jangan ketinggian. Jatuhnya sakit.”
“Ya kali aja. Soalnya semua orang yang sudah kerja lama bilang kalo den Bram itu ganteng pake banget ngga ketulungan. Bahkan tak jarang beberapa asisten wanita yang bekerja berlomba-lomba mencuri curi perhatian den Bram. Siapa sih yang ngga mau jadi mantu keluarga Efendi yang kaya raya? Tujuh turunan aja ngga akan habis itu hartanya.”
“Itu sih mereka ya. Kalo aku mah ngga tergiur dengan banyaknya harta. Yang aku butuhkan hanya seorang pria yang bisa mencintaiku apa adanya, bukan ada apanya. Hidup miskin tapi dengan orang yang aku cintai bukan masalah buat aku. Toh aku berasal dari kaum bawah itu Wi.”
“Baguslah. Aku tenang kalo gitu. Pokoknya kalo den Bram pulang sebisa mungkin hindari kontak sama dia. Siapa tahu kamu berubah pikiran dan tergoda.” Goda Siwi. “Gimana kalo dibalik, den Bram yang ngejar ngerjar aku? Den Bram yang jatuh cinta sama aku, menurut kamu gimana?” tantang Antari.
Siwi menggelengkan kepalanya. “Kalo mau mimpi jangan ketinggian. Nanti jatohnya sakit.” Ucap Siwi membalikkan kata kata Antari. Ia kembali berdiri lalu berlari meninggalkan Antari yang tertawa karena berhasil mengerjai temannya itu. “Woi…Tungguin donk.” Teriak Antari berusaha menyusul Siwi yang sudah lebih dulu melesat.
Kekhawatiran Siwi tidak berdasar. Mana mau den Bram meliriknya. Berharap saja tidak apa lagi memimpikan bersanding dengan anak majikannya tsb jauh dari pikiran Antari. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya bisa menghemat uang gaji pertamanya sampai gajihan berikutnya. Sementara ia akan mengirimkan 80% uang gajinya untuk kedua orang tuanya di kampung.
***
Berawal dari seringnya Bram menemui Vero di rumah Dahlia, benih benih cinta pun mulai bersemi di hati keduanya. Antari berusaha menepis rasa itu karena bagaimana pun juga ia tak pantas bersanding dengan Bram. Belum lagi statusnya sebagai seorang pembantu di keluarga itu makin memperluas jarak antara keduanya. Lain Antari lain juga Bram. Bram terus mendekati gadis ayu itu. Bram tak sungkan sungkan memberikan perhatian lebih kepada Antari. Hingga akhirnya mereka menjalin hubungan backstreet.
Tak puas dengan hubungan itu, Bram mengutarakan niatnya untuk memperistri Antari, yang tentu saja membuat Antari shock. Ia melarang Bram melakukan itu karena itu bisa memalukan keluarga mereka. Bram yang keras kepala datang sendiri menemui keluarga Antari di kampung dan meminta secara resmi Antari dari kedua orang tuanya.
Orang tua Antari sangat setuju putrinya menikah dengan Bram. Restu dari keluarga Antari dengan mudah diraihnya. Kini tinggal restu kedua orang tuanya. Antari takut tuan dan nyonya besar dirumah ini mengamuk jika tahu putra kebanggan mereka menikahi seorang pembantu. Dan benar saja Tuan dan Nyonya besar menentang niatan Bram yang ingin menikahinya. Meski tanpa restu kedua orang tuanya, Bram nekat menikahi Antari di kampung tempatnya dilahirkan. Betapa geramnya Nyonya Effendi saat keduanya kembali ke rumah dalam kondisi sudah sebagai suami istri.
Tahun pertama pernikahan keduanya masih harmonis. Bram selalu mengatakan tak masalah jika dirinya belum juga hamil. Ia masih ingin menikmati masa pacaran mereka terlebih dahulu sebelum memiliki buah hati. Antari agak tenang tiap kali suaminya mengatakan hal itu. Telinganya sudah bosan terus terusan disindir oleh mertuanya mengenai keturunan.
Meski mulut mertuanya itu sering mengatakan yang sangat menusuk ulu hati, Antari tidak membencinya. Justru ia tak pernah melawan dan menelan bulat bulat semua caci maki dan hinaan sang mertua yang ditujukan kepadanya. Antari semakin panik saat menginjak usia pernikahan mereka yang ke tiga. Ia belum juga mengandung. Berbagai macam cara telah ia dan suaminya lakukan demi mendapatkan buah hati tapi tak kunjung diberi.
Puncaknya tepat di tahun ke empat pernikahan mereka, Bram yang lelah karena di paksa menikah lagi dengan gadis pilihan ibunya karena tak kunjung diberi cucu. Nyonya Efendi sudah tak lagi menyindir Antari melainkan terang terangan menuduhnya mandul. “Kalau kamu tahu diri lebih baik kamu ijinkan suami mu menikah lagi dengan wanita yang mama pilih. Kamu ngga berhak melarang mama untuk menjodohkan Bram dengan Karen, karena kamu sendiri ngga becus ngurus suami kamu. Masa nikah udah empat tahun belum juga mengandung. Feeling seorang ibu itu ngga akan salah mengenai jodoh putranya. Dulu mama ngga setuju kalian menikah dan ternyata sekarang terbukti kamu ngga bisa kasih mama cucu.” Ucap Nyonya Efendi tajam tanpa melihat Antari terluka atau tidak.
“Antari ngga mandul Ma. Kami sudah cek kesuburan ke dokter dan tidak ada masalah diantara kami. Tari dan mas Bram sehat dan subur.” Ucap Antari akhirnya berani membantah kata kata mertuanya.
“Terus kalo kalian subur dan sehat mana hasilnya? Kamu tetep ngga hamilkan.”
“Antari juga ngga paham Ma. Kami sudah berusaha dan berikhtiar demi mendapatkan anak tapi jika Tuhan belum mengijinkan Antari bisa apa.”
“Alah alasan aja kamu. Pake bawa bawa nama Tuhan segala. Ngga usah sok ngajarin Mama kamu. Pokoknya lusa Karen mama undang ke rumah buat kenalan sama Bram. Jangan berani beraninya kamu melarang Karen untuk dekat sama Bram.” Ucap Nyonya Efendi sambil pergi berlalu meninggalkan Antari yang menangis sesegukan karena ucapannya.
“Astagfirullahaladzim…Ya allah kuatkan hamba.” Ucap Antari sedih.
***
“Bram lusa Karen mama undang buat makan malam. Nanti kamu kenalan sama Karen ya.” Ucap Nyonya Efendi saat ia, Bram dan Antari sarapan bersama. Nyonya Efendi sengaja mengatakan itu di depan menantunya.
“Mau ngapain sih Ma si Karen diundang makan malam segala. Ribet deh.” Tolak Bram.
“Ya biar kalian akrab secepatnya. Biar Karen tahu cara mengurus suami dengan baik.” Ucap Nyonya Efendi sambil menekankan kata mengurus suami. Antari hanya menundukkan kepalanya. Bram menoleh ke sampingnya, melihat reaksi Antari. “Gimana Antari aja Ma.” Antari langsung menatap suaminya.
“Kok aku sih mas?”
“Ya kan kamu istri aku. Aku diminta dekat sama calon istriku yang lain, kamu setuju ngga? Gimana pun juga kamu istriku.” Ucap Bram santai tanpa mengindahkan perasaan Antari.
“Gimana Ri?” tanya Bram menunggu keputusan darinya. Antari melihat kearah ibu mertuanya yang sudah menatapnya tajam. Tak ada satupun dari mereka yang memahami hatinya. Istri mana yang mau suaminya kembali dekat dengan wanita lain yang kelak akan menjadi istri suaminya. “Eh…Itu…”
“Duh kamu pake tanya si Antari segala sih. Udah deh pokoknya Mama undang Karen kesini. Terserah Antari setuju atau tidak mama ngga peduli.” Putus Nyonya Efendi. Bram hanya mengangkat kedua bahunya lalu melanjutkan sarapannya.
***