Di lain tempat, seorang wanita tengah termenung dan meneteskan air matanya. Di depannya terdapat sebuah surat resmi dari pengadilan agama. Wanita yang tampak sendu itu tak habis pikir, suaminya benar-benar ingin menceraikannya. Bukan masalah yang sepele memang jika berhubungan dengan masalah keturunan, tapi apa mau dikata jika Tuhan belum mempercayainya untuk memberikan keturunan untuk keluarga suaminya.
Tak pernah bosan dan lelah Antari mengikuti berbagai macam pengobatan untuk kesuburannya dari yang tradisional hingga yang modern. Tak hanya di dalam negeri, ia bersama suaminya mencoba berobat ke luar negeri tapi tak ada hasil apapun. Hingga suatu hari Brahmana Effendi suami Antari mengatakan ingin berpisah karena ia lelah terus menunggu hadirnya buah cinta diantara mereka. Antari mengira Bram bercanda, tapi melihat surat perceraian yang sudah di tanda tangani oleh suaminya tersimpan rapi di meja riasnya menunjukkan bahwa sang suami benar-benar serius dengan keputusannya.
Flashback…
Antari Karina dulunya adalah seorang gadis biasa dari sebuah kampung di kawasan Bandung Selatan. Berbekal ijasah SMU nya, ia mencoba peruntungan bekerja di Ibu kota. Ia diajak temannya Siwi yang sudah lebih dahulu bekerja di Jakarta sebagai asisten rumah tangga dari keluarga kaya raya dan terpandang. Antari tergiur untuk bekerja di Jakarta setelah Siwi mengatakan gajinya yang cukup besar dibanding dengan upah yang diterima Antari sebagai buruh cuci.
“Pak Bu boleh ya Tari pergi ke Jakarta. Antari ingin mengubah ekonomi keluarga kita.” Ucap Antari meminta ijin kepada bapak dan ibunya. “Kenapa harus ke Jakarta nak? Kamu bisa bekerja di Kota Bandung tak perlu jauh jauh ke Jakarta.” Ucap Ibunya.
“Mungkin bisa bu. Tapi upah yang diberi sangatlah sedikit. Belum lagi pengobatan darah tinggi bapak yang harus rutin setiap bulan di kontrol. Ini saja Tari sudah kerja kesana kemari tapi kita tetap kekurangan. Setidaknya Tari bisa sedikit demi sedikit menabung bu.” Ucap Antari meyakinkan kedua orang tuanya.
Bapak dan ibunya saling berpandangan satu sama lain. Lalu keduanya pun mengangguk. Antari sangat senang karena ijin serta restu kedua orang tuanya sudah di tangan. Ia lantas memeluk tubuh kedua orang tuanya. “Bersabarlah Pak, Bu. Antari akan membuat bapak dan ibu bangga. Doakan Tari agar bisa membuat bapak dan ibu tidak perlu memikirkan makan untuk besok karena tidak punya uang.”
“Iya nak. Doa restu bapak dan ibu akan senantiasa mengiringi mu.” Ucap bapaknya. Antari menganggukkan kepalanya. Senyum terkembang di wajah cantiknya. Ia pun pamit untuk ke kamarnya dan membereskan barang barang yang seadanya selama nanti ia bekerja di Jakarta. Keesokannya Antari mulai berpamitan kepada beberapa tempatnya bekerja selama ini.
Antari tampak sedih meninggalkan pekerjaan pekerjaan yang selama ini menopang kehidupan ekonomi keluarganya. Tapi bagaimana pun juga ia ingin merubah kehidupan ekonominya seperti temannya Siwi. Siwi sudah lebih dulu bekerja di Jakarta di sebuah rumah seorang pengusaha yang amat kaya raya sebagai asisten rumah tangga. Majikan Siwi sangatlah baik. Itulah yang membuat Siwi betah bekerja disana. Gaji yang diberikan pun lumayan besar untuknya yang tinggal di kampung.
Siwi selalu mendengarkan curhatan Antari dan bermaksud untuk membantu meringankan beban Antari dan juga keluarganya. Siwi tahu kalau kedua orang tua Antari sangatlah ragu untuk melepas putri mereka satu satunya untuk bekerja di luar kota. Tapi pada akhirnya kedua orang tua Antari pun memberikan ijin untuk putrinya bekerja di Kota besar seperti Jakarta.
“Makasih ya Wi udah ngajak aku kerja di Jakarta. Oiya nanti aku kerja dimana? Kamu yakin majikan mu minta kamu cariin rekan yang mau kerja di rumah mereka.” Tanya Antari penasaran karena Siwi mengatakan kalau ia di minta majikannya untuk mencari satu orang temannya yang mau bekerja di kediamannya.
“Ya ampun Tari, kamu udah tanya ratusan kali ampe bosen aku dengernya.” Ucap Siwi.
“Ya aku ngga percaya aja kalo majikan kamu minta cari yang mau kerja. Aku udah ngga sabar tahu.” Antari terlihat antusias. “Aku tahu. Keliatan banget kamu udah ngga sabar pengen cepet cepet ke Jakarta buat kerja.”
“Iya nih kapan aku harus datang buat kerja. Udah ngga sabar buat kerja.”
“Ulu uluu… Tunggu nyonya pulang dari luar negeri dulu ya. Tapi surat lamaran kamu udah ada di meja kerja nyonya kok. Aku udah kirimin via pos.”
“Oh gitu ya. Emang kapan nyonya kamu pulang?” tanya Antari penasaran. “Tiga hari lagi. Sebenernya malam ini tapi pasti nyonya masih jetleg jadi minta dua hari kemudian kamu datang untuk wawancara.”
“Hmm…oke deh. Aku ngikut aja. Oiya kamu kan balik ke Jakarta hari ini, terus aku gimana?”
“Kamu tenang aja nanti aku jemput di terminal bis. Pokoknya sepagi mungkin aja berangkatnya biar sampe Jakarta ngga terlalu siang.” Antari menganggukkan kepalanya. “Semoga kamu betah juga ya. Siapa tahu di Jakarta kamu ketemu jodohmu.” Antari mengamini.
***
Hari yang di nanti pun tiba. Antari tiba pukul 11 siang di terminal bis. Ia sudah ditunggu oleh Siwi. Keduanya pun segera menuju kediaman yang akan menjadi tempatnya mencari nafkah. Sepanjang jalan Antari tampak takjub dengan bangunan banguna yang menjulang tinggi sepanjang jalan. Beberapa ikon yang sering dilihatnya dari balik layar televisi, kini ia saksikan sendiri secara langsung.
Siwi sampai tertawa melihat tingkat Antari yang yang tak henti henti terpukau. Karena hari itu jalanan sangat macet, keduanya baru saja tiba dua jam kemudian. Antari kembali terperangah saat menapakkan kedua kakinya di depan rumah besar dan mewah yang bergaya Mediterania itu. Rumah bercat putih dengan halaman yang sangat luas membuat Antari semakin tak sabar. “Welcome. Yuk kita masuk. Kita udah ditunggu sama nyonya.” Ucap Siwi mengajaknya masuk.
“Tunggu dulu disini ya. Aku mau laporan ke nyonya kalo kamu udah datang.” Ucap Siwi meminta Antari menunggunya di ruangan depan. Antari dibuat bingung untuk duduk dimana. Ia merasa tak pantas duduk di sofa mewah itu. Alhasil Antari berdiri sementara menunggu nyonya pemilik rumah datang menemuinya.
“Tari kamu ikut aku ke ruang kerja nyonya. Beliau akan mewawancarai kamu disana.” Ucap Siwi yang muncul tiba tiba dari dalam hingga membuat Antari kaget. Ia pun segera mengikuti Siwi untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang tampak sangat megah. Dengan was was, Antari pun masuk ke dalam ruangan itu. Hampir satu jam Antari berada di ruangan itu. Siwi yang menunggunya di luar dibuat khawatir. Dirinya mondar mandir saking paniknya. Tak lama pintu besar itu terbuka sedikit. Siwi menegang, ia pun bernafas lega saat melihat Antari keluar dari sana dengan keadaan baik baik saja.
“Gimana?” tanya Siwi penasaran. Antari terdiam memasang wajah yang tampak muram. Siwi menyangka temannya itu di tolak oleh majikannya. Tapi tak berapa lama sebuah senyum bahagia terukir indah menghiasi wajah Antari. “Aku diterima Wi. Aku diterima.” Ucap Antari sambil melonjak kesenengan. Siwi pun ikut meloncat juga. “Selamat ya. Kita jadi partner sekarang Ri.” Ucap Siwi ikut bahagia.
“Iya. Makasih ya Wi. Berkat kamu aku bisa kerja bareng kamu.”
“Ih apaan sih. Jangan gitu ah. Eh btw kamu ditempatin dimana?” tanya Siwi. Rumah tempat mereka bekerja itu sangatlah besar dan terdiri dari beberapa bagian rumah. Ada tiga rumah yang berukuran sedang yang mengelilingi rumah utama tempat Antari menunggu tadi. Siwi bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah utama.
“Kata mba Siska aku ditempatin di Rumah Dahlia. Emang ada berapa rumah sih? Kok lucu ya ada nama namanya.” Tanya Antari.
“Ada lah. Kamu harus inget inget ya. Rumah tempat kita mengais rejeki itu ada 4 bagian. Rumah utama yang di sebut Rumah Matahari. Rumah sisi barat disebut Rumah Tulip, sisi timur Rumah Jasmine, dan sisi utara Rumah Dahlia. Nah sedangkan aku kerja di Rumah Matahari. Kalo ngga salah Rumah Dahlia itu tempatnya nona Veronika. Anak bungsu nyonya yang keterbelakangan mental.” Ucap Siwi berbisik. Ia tampak takut saat menyebutkan kondisi Veronika.
“Oiya?” Antari tidak percaya. Bagaimana mungkin orang sekaya nyonya mereka punya anak yang keterbelakangan mental. Kalo orang kampung sepertinya mungkin saja terjadi. Mengingat kondisi perekonomian kampungnya yang jauh dari batas standar, sudah dipastikan yang dikonsumsi pun tidak sebagus orang orang diperkotaan besar seperti Jakarta.
“Iya. Nona Veronika adalah anak bungsu nyonya. Jadi tuan dan nyonya besar punya sepasang anak laki laki dan perempuan. Anak pertama bernama tuan Brahmana Efendi, sedangkan anak kedua bernama Veronika Efendi. Tuan muda tampak sehat dari lahir hingga sekarang. Ia yang kini meneruskan tahta kepemimpinan semua usaha tuan Efendi yang berada di dalam maupun diluar negeri. Sedangkan nona Veronika terlahir cacat sejak ia lahir. Meskipun memiliki kekurangan, tuan, nyonya dan tuan besar sangat menyayangi dan mencintai nona Vero. Sejak aku kerja di sini, entah sudah berapa banyak yang keluar masuk menjaga nona Vero. Ia sangat tempramental. Untuk itu aku harap kamu tangguh ya. Aku sempat shock saat tadi kamu bilang kamu di tempatin di Rumah Dahlia.” Papar Siwi.
“Oh begitu. Apa aku bisa minta ganti tempat? Aku takut sama yang tempramental kayak gitu. Bisa bisa nanti aku di cekik mati lagi.” Ucap Antari takut. “Dulu ada yang nyaris mati waktu coba menghentikan nona.” Ucap Siwi keceplosan.
“Apa?! Aduh aku takut nih.” tubuhnya bergidik ngeri membayangkan lehernya di cekik oleh nona Vero.
Belum sempat Siwi berbicara lagi, Siska sekretaris Nyonya Efendi memanggilnya untuk mengantarkannya ke Rumah Dahlia. Antari semakin ketakutan. Tapi dengan terpaksa, ia pun mengikuti Siska menuju rumah Dahlia. Siwi yang melihatnya tampak khawatir. “Ku harap kamu baik-baik aja disana ya Ri. Semoga pas ada jadwal libur aku masih bisa ketemu kamu.” Ucap Siwi penuh harap.
***
TBC