Bab 9

1152 Words
Antari terbangun dan tak mendapati suaminya pulang ke rumah. Ia mengecek ponselnya. Tak ada balasan pesan maupun telpon dari Bram. Hati Antari yang sejak semalam sudah tidak menentu, kini semakin tak menentu. Pikiran negatif yang semalam menderanya, semakin menjadi. Dengan perasaan tak menentu, Antari mencoba menghubungi lagi suaminya. Dua tiga kali tak diangkat. Hingga akhirnya panggilan itu terangkat. Belum sempat bicara, Antari di kagetkan dengan suara wanita yang baru saja bangun tidur. “Halo..” ucap wanita itu. Antari memastikan lagi nomor yang dia hubungi adalah nomor suaminya. Tapi mengapa yang mengangkat adalah seorang wanita? Suara wanita yang ia kenal. “Halo… Mba Antari. Cari Mas Bram ya. Mas Bram nginep di rumah ku semalam. Sekarang Mas Bram lagi mandi, jadi telponnya aku yang angkat.” sahut Karen. Antari mengeratkan tangannya. “Ke…Kenapa mas Bram menginap disana?” tanya Antari tak tahu harus berkata apa. Di sebrang sana Karen menyeringai puas. Masa iya Antari bodoh tak mengerti maksud Bram menginap di rumahnya. Apalagi hubungan mereka di restui oleh sang mama. “Ya… Gitulah mba. Mba tahu sendiri kan bagaimana jadinya kalau seorang pria menginap dirumah wanitanya. Selain tidur ngapain lagi coba.” ucap Karen malu. Antari menahan amarahnya. “Tapi…Kalian kan belum menikah Karen. Itu tidak boleh dilakukan.” ucap Antari geram. “Harusnya kamu melarang mas Bram melakukan itu sebelum sah.” ucapnya lagi. “Yee… Mba Tari itu kolot ya. Apa salahnya melakukan sekarang dan setelah menikah. Lagi pula cepat ataupun lambat kami akan menikah. So, melakukan lebih awal tak ada masalah menurutku.” “Tapi Karen…” “Udah ya mba. Kalo masih mau ceramah, di mesjid aja. Jangan ceramah sama aku. Siapa suruh ngga bisa layani suami dengan baik. Nih aku kasih tahu mas Bram itu suka kalo wanitanya binal di ranjang. Yang memimpin jalannya permainan. Bukan pasrah begitu aja. Nyatanya semalam mas Bram aku bikin puas berkali-kali, nambah pula. Bikin akunya yang gempor. Padahal semalam pertama kalinya aku melakukannya dengan seorang pria yaitu calon suami aku.” ucap Karen memanas-manasi. Ia semakin senang saat mendengar suara isakan dari sebrang sana. “Mohon doanya ya mba. Biar benih cinta kami cepat tumbuh. Aku ngga sabar ingin cepat-cepat mengandung anak mas Bram. Udah dulu ya mba. Aku capek mau lanjut tidur. Takut mas Bram minta lagi aku ngga ada tenaga kan gawat. Bye mba…” Klik. Sambungan telepon pun terputus. Antari meluruhkan tubuhnya di lantai. Ia menangis sesegukan. Ia tak menyangka suami yang di cintainya nekat berhubungan intim dengan wanita lain yang belum sah menjadi istrinya. Sementara itu, Karen tersenyum senang. Ia mengelus perutnya yang rata. Ia berharap agar benih Bram segera tumbuh di rahimnya. Ia juga sudah tak sabar ingin segera menjadi istri sah Bram. Bram yang baru saja keluar dari kamar mandi, tersenyum melihat kekasihnya yang masih berbaring di atas ranjang senyam-senyum sendiri. Ia pun menghampiri dan duduk di tepi ranjang. “Morning sayang.” sapa Bram sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk. “Morning mas.” “Ada apa sih senyam-senyum gitu.” “Ih mas kepo deh.” Bram tertawa. “Pasti bayangin yang semalam ya.” goda Bram sambil meremas breast Karen. Wanita cantik itu mengerang nikmat. “Ih sayang jangan di remas terus. Sakit. Bekas tadi pagi masih belum ilang nyut-nyutannya.” ringis karen tapi menikmati remasan Bram yang semakin gemas. “Nyeri apa enak yank?” Karen memukul tangan Bram. Bram malah tertawa. Ia mencium bibir manis Karen dengan mesra. “Sayang cukup. Aku capek.” Karen terengah diantara gairahnya. “Sekali lagi mau? Tapi sambil berendam.” bisik Bram. Karen percuma melawan saat Bram kembali menginginkannya. Kali ini Karen tampak pasrah dalam gendongan Bram. Ia membawa kekasihnya ke kamar mandi sambil terus menusuk-nusuk liang hangat yang membuatnya selalu ketagihan untuk melakukannya lagi dan lagi. Bram pulang ke rumah setelah memastikan kekasihnya tertidur dengan lelap. Ia tak menyangka Karen membuatnya seagresif itu, sampai-sampai calon istrinya itu tumbang. Ia mengecup dahi dan bibir Karen sebelum ia pulang ke rumah. *** Tubuhnya tampak segar. Semalaman dan juga pagi ini ia terus menggempur pertahanan Karen. Ia tak menyangka Karen bisa membangkitkan gairah liarnya selama ini. Bram yang sempat tinggal di London, tak asing dengan s*x. Dulu saat kuliah, ia tak aneh berhubungan intim sebelum menikah. Malah kekasih pertamanya saat kuliah yang pertama kali mengajarkannya berhubungan intim hingga ia ketagihan. Tapi begitu ia kembali ke Indonesia, aktifitas itu sempat tertunda, sampai akhirnya ia menikah dengan Antari. Membina rumah tangga dengan Antari memang menyenangkan, tapi kini saat bersama dengan Karen semuanya jauh lebih menyenangkan. Hampir satu jam perjalanan, mobil Bram pun memasuki halaman rumah yang sangat luas. Kepulangannya di sambut oleh sang mama yang tengah berjemur di teras rumah. Bram menghampiri mamanya yang tengah minum teh melati. “Kamu sudah pulang nak. Mana Karen kok ngga di ajak.” Tanya nyonya Effendi. “Ngga Ma. Karen kecapean. Kasian dia kalo ikut ke sini. Kapan istirahatnya. Tadi sih dia kepingin ikut tapi aku larang.” Seolah tahu apa yang telah dialami putranya, Nyonya Effendi tertawa senang. “Kamu itu kasihan dia. Kamu apain sampai kecapean kayak gitu.” “Yah gitulah Ma. Oiya Bram masuk dulu ya. Capek mau istirahat juga.” “Ya sudah sana. Kamu juga istirahat setelah bikinin mama cucu. Semoga Karen cepat mengandung ya. Mama ngga sabar kepingin gendong cucu dari kamu dan Karen.” “Iya ma. Doakan saja biar cepet jadi.” Nyonya Effendi mengangguk. *** Bram pun masuk ke kamarnya. Ia melihat Antari yang sudah menunggunya. Ia melihat wajah istrinya sudah basah dengan air mata dan wajahnya. “Dari mana saja kamu mas? Kenapa semalam ngga pulang.” tanya Antari di sela isakan tangisnya. “Menginap di rumah Karen. Memang mama ngga bilang sama kamu.” ucap Bram santai. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang mereka. Antari tak menyangka mama mertuanya mendukung tindakan b***t putranya. “Apa? Mama tahu kamu menginap?” Bram mengangguk. “Mama ngga bilang apa-apa sama aku mas. Aku sempat tanya mama kamu pergi kemana, tapi mama bilang ngga tahu.” ucap Antari frustasi. Ia tak menyangka mertuanya sengaja menutup-nutupi putranya. Ia sempat bertanya tapi hanya jawaban ketus yang ia dapatkan. “Astagfirullah Mas. Kenapa melakukan itu sebelum kalian sah? Itu dosa mas. Istigfar Mas istighfar.” “CUKUP! Aku itu capek pengen istirahat. Kamu malah ngoceh-ngoceh ngga jelas. Lagian apa salahku bercinta dengan calon istriku. Kalo kamu ngga suka, kamu boleh pergi.” usir Bram. “Apa mas ngga pikirin perasaan aku saat bercinta dengannya? Jujur aku cukup tertekan selama ini tentang masalah keturunan. Belum selesai itu, mama minta aku restuin mas nikah sama Karen. Aku belum memutuskan apa-apa, sekarang mas malah bercinta dibelakang aku. Mau mas apa?! Tidakkah kalian memikirkan sedikit hatiku yang sudah kacau ini.” ungkap Antari tak tahan lagi dengan perlakuan suami dan ibu mertuanya. “Aku sudah bilang tadi, kalau kamu ngga suka ya tinggal pergi. Aku ngga akan menahan kamu kalau kamu ngga sanggup. Gampang kan.” Antari melongo mendengar kata yang terlontar dari mulut suaminya. “Segampang itu mas?! Sehina itu pernikahan kita di mata kamu. Baik kalau kamu memang menginginkan itu. Lebih baik kita berpisah. Aku tak mau hidup dengan suami yang sudah tidak bisa menjaga komitmen lagi. Lebih cepat kita bercerai lebih baik. Kamu juga bisa cepat menikahi Karen sebelum keburu hamil.” Putus Antari. Sudah cukup ia stress dengan pernikahannya. Bukannya ia tak ingin mempertahankan pernikahannya, tapi suaminya yang sudah tidak bisa menjaga komitmennya. Bram tak masalah jika mereka bercerai karena ia sudah menemukan penggantinya yang baru. Jadi, untuk apa Antari menyesali perpisahannya. *** TBC ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD