21. Harapan ?

1006 Words
Gween benar-benar tidak menyangka tubuh tegap dan besar itu memiliki jiwa kekanakan yang membuat dirinya merasa sakit kepala. Bagaimana tidak, hanya karena Gween mengetahui sedikit tentang adik Red, maka kini dirinya diharuskan untuk mempelajari dan menghafal silsilah keluarga Jero Axford yang ia jabarkan lewat iPad miliknya. "Ini adik dari ayahku, Bibi Kamelia," ujar pria itu entah untuk ke berapa kalinya Karena Gween yang tak juga bisa menghafal nama-nama keluarga besar Axford itu. "Hmm." "Lalu ini siapa?" Jero bertanya sebagai percobaan. "Paman Gery," sahut Gween malas. "Bukan! Ini Paman Choi, dia dari Korea dan menikahi bibiku yang paling kecil, Bibi Cornelia." Jero menjelaskan dengan datar. "Apakah kamu ke Jepang hanya untuk menjelaskan silsilah ini?" tanya Gween menyindir. Jero mengedikkan bahu. "Aku masih punya waktu beberapa jam lagi sebelum melakukan pertemuan dengan salah satu investor." "Dan beberapa jam itu bisa kamu gunakan untuk hal penting lainnya." "Ini adalah hal yang penting," tukas pria itu pendek. Gween memutar bola mata malas dan kembali membaca nama-nama yang tertera di layar iPad Jero. Sementara di tempat lain, Geisya sedang mencari tahu informasi lebih dalam tentang kehidupan Gween saat ini. Ia bahkan memberikan uang sogokan pada satpam yang ada di sana dan juga beberapa anak kuliahan yang menjadi tetangga kos kakaknya itu supaya mau membuka mulut selebar-lebarnya dan memberikan informasi sedetail-detailnya. Mereka mengaku pernah melihat beberapa kali seorang pria beserta bodyguard-nya datang menemui Gween atau hanya sekedar mengantar wanita itu pulang. Geisya semakin berambisi untuk tahu siapa pria itu setelah mendengar betapa istimewanya perlakuan sang g***n pada Gween. Apalagi menurut beberapa penghuni kos-kosan, Gween sudah tidak pulang ke sana lagi, dan Geisya tahu pasti kakaknya itu sudah tinggal di apartemen mewah yang diberikan oleh donatur kaya rayanya. Memang benar, tapi semua itu tak seindah yang dibayangkan oleh Geisya. Karena Gween sendiri malah merasa tertekan dan ingin cepat-cepat menyelesaikan perjanjian mereka agar bisa hidup seperti sedia kala. Seperti saat ini, Jero memaksa dirinya untuk ikut datang menemui seorang client yang sudah sepuh dan sangat ingin menjodohkan pria itu dengan sang cucu. Informasi itu tak sengaja ia dapatkan dari pembicaraan Red dan Jero sebelum mereka pergi. Gween yang tak tahu bahasa mereka hanya bisa duduk diam dan mendengarkan atau sesekali tersenyum ketika pria tua itu melirik ke arahnya. Sementara gadis cantik nan bening yang duduk di sebelah kakeknya itu terus saja menatap Jero dengan pandangan memuja. Entah mengapa rasanya Gween ingin mencolok mata wanita itu dengan sumpit yang dipegangnya. Makanan yang memang tidak sesuai dengan lidahnya itu terasa semakin gambar dan tak tertelan. Gween meletakkan sumpit dan menggeser dari hadapannya. "Kenapa? Tidak suka?" tanya Jero yang melirik piring Gween hanya tersentuh sedikit. Wanita itu menggeleng pelan sebelum berkata. "Sepertinya aku kurang enak badan," ujarnya. Jero memeriksa dahi serta pipi wanita itu, yang mana sikapnya barusan sangat mampu untuk Gween merasa jantungan dan pingsan saat itu juga. "Tunggu sebentar lagi, aku akan membereskan ini terlebih dahulu," ujar Jero, kemudian menghadap kembali ke arah pria tua bermata sipit itu sambil berbicara dengan bahasa Jepang. Setelahnya, ia menuntun Gween untuk meninggalkan restoran tersebut dan naik ke lantai di mana tempat mereka menginap selama di kota Tokyo. "Are you okay?" tanya Jero saat melihat Gween memijat dahinya pelan. "Hm. I'm okay!" Gween menarik napas panjang sebelum berjalan menuju balkon untuk menikmati indahnya pemandangan malam di kota ini. "Besok pagi kita harus kembali 'kan?" gumam Gween yang masih didengar jelas oleh Jero. Pria itu berjalan pelan, mengikis jarak antara keduanya. "Hm. Dan kembali menjalani hari-hari yang memuakkan." "Kalau begitu kenapa kamu tidak berjalan-jalan terlebih dahulu di sini?" Gween menoleh saat Jero berada tepat di belakang tubuhnya. Jero melingkarkan tangan, membelit pinggang Gween hingga membuat wanita itu terpaksa menahan nafas. "Ide bagus. Tapi daripada berjalan-jalan, aku lebih suka menghabiskan waktu di atas ranjang denganmu," bisiknya sensual. Gween berdecih sinis. "Di otakmu yang jenius itu apa hanya ada kemasuman saja?" "Kalau benar seperti yang kamu bilang, mungkin aku sudah mendirikan agensi blue film." Gween menepuk tangan pria itu yang melingkar di perutnya. "Mulutmu memang perlu dibereskan," gerutunya. "Itu juga ide bagus, with your lips." "Benar-benar pria gila!" Maki Gween dongkol. Bukannya marah, Jero malah tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Gween mendongak dan menatap takjub wajah pria itu yang terlihat lebih lepas dan manusiawi. Hingga tahu pria itu memudar dan hanya tinggal tatapan hangat yang membuat Gween kian terpesona. "Jero, what do you think about love?" Gween bertanya pelan. Jero diam cukup lama, membuat Gween menahan nafasnya, merasa gugup dengan jawaban pria itu. "Love is bullshit," jawab Jero akhirnya. Gween menatap bintang yang bertabur menghiasi langit malam. "Cinta adalah sesuatu yang membuat orang merasakan keajaiban," ucap wanita itu dengan senyum tipis di bibirnya. Jero meletakkan dagu di atas bahu wanita itu. "Aku merasakan banyak keajaiban di hidupku, keajaiban yang memuakkan. Apakah itu juga disebut cinta?" tanya pria itu datar. "Itu namanya adalah takdir. Takdir yang akan membuat kamu semakin kuat dan hebat dalam menjalani kehidupan yang kejam ini." Gween mengusap sebuah tato kecil yang berada di pergelangan tangan pria itu. "Kata-katamu sama seperti motivator tak berguna yang hanya mengandalkan kekuasaan orang tuanya." "Apa ini nama kekasihmu?" tanya Gween saat merasa tato itu bukan sembarang tato. Jero menggeleng santai. "Kekasihku kan kamu," sahutnya enteng. Gween memukul lengan pria itu dengan keras. "Jangan bermain-main dengan perasaanku. Aku sudah mempersiapkan diri untuk bulan depan kamu campakan." Jero menggeram pelan, menggigit bahu Gween hingga membuat wanita itu menjerit kesakitan. "Kamu gila?!" pekiknya jengkel. "Iya, aku gila. Sekali lagi kamu bahas itu, bukan cuma bahu tapi seluruh tubuhmu aku --" "Jangan bersikap seolah kamu menginginkan keberadaanku, Jero," tukas wanita itu pelan. "Yes, that's true." "But, why do you still keep so many women in your life?" "Apa maksudmu?" "Salia, wanita yang di restoran, yang digosipkan --" "Ssst ... Are you jealous?" tanya pria itu geli. Gween mendengkus dan membalikkan badan dengan dongkol. "In your dreams, Mr. Axford," ujarnya sinis. Jero kembali tertawa dan kali ini terlihat lebih gembira. "Yes, you are jealous!" Ucapnya menyimpulkan. "Apakah kamu sudah merasa mengalami keajaiban itu setelah bertemu denganku, Sweetie?" bisiknya mengejek. Sialan! Gween menyesal mengeluarkan kalimat-kalimat menggelikan itu tadi. To be continued

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD