Setelah menghabiskan waktu tiga jam untuk membeli semua barang yang diinginkan Nieve, akhirnya mereka pulang dari pusat perbelanjaan tersebut. Mereka tiba lebih dulu di apartemen sedangkan barang belanjaan mereka tiba setengah jam lebih lambat.
Karena ingin merenovasi beberapa ruangan di apartemen, Lionello meminta pengantar barang agar meletakkan barang belanjaan mereka di dalam apartemen Teofilo. Lagipula apartemen pria itu masih tersisa banyak ruang untuk meletakkan mainan serta keperluan-keperluan yang Nieve beli untuk Estefania.
"Ibumu membeli semua barang ini?" Teofilo tampak terkejut melihat apartemennya sudah mirip seperti taman bermain kanak-kanak.
"Sí," jawab Lionello yang berdiri di samping Teofilo. Sedangkan Nieve tampak sibuk memandu dua orang yang menurunkan barang-barang belanjaan lalu memasukkannya ke dalam apartemen Teofilo.
"Aku tidak menyangka … apartemenku akan menjadi taman bermain untuk satu anak saja," decak Teofilo sembari menggelengkan kepala. Tetapi Lionello hanya tersenyum mendengar sindiran darinya. "Bagaimana rencanamu besok? Apa kau sudah mengatakannya pada ibumu?" Kali ini suara Teofilo terdengar seperti sedang berbisik agar Nieve tidak mendengar percakapan mereka.
"Ya. Aku sudah berbicara dengannya saat kami sedang dalam perjalanan."
"Apa yang kau katakan padanya?"
"Aku mengatakan akan pergi ke Madrid karena ada berkas yang harus aku urus disana selama satu atau dua hari."
"Bukankah katamu hanya satu hari saja kau akan berada di Milan?"
"Hanya untuk berjaga-jaga saja."
"Baiklah." Teofilo menepuk pundak Lionello sebelum bergabung dengan Nieve yang berdiri di dekat truk pengangkut barang.
Beberapa menit kemudian Lionello menyusul Teofilo dan Nieve. Dirinya hendak berpamitan untuk pulang sebentar sekedar menengok kafe. Untungnya jarak apartemen Teofilo hanya seratus meter dari kafe maupun apartemen Lionello sehingga tidak membutuhkan banyak waktu.
Kini Lionello berjalan di trotoar jalan. Pandangannya tertuju ke depan meskipun sesekali tetangga apartemen yang mengenal Nieve tak jarang menyapa saat berpapasan dengannya. Sampai akhirnya langkah Lionello melambat saat melihat beberapa anak berada di dekat kafe. Satu anak perempuan berusia sekitar sepuluh ataupun sebelas tahun sedang menggendong batita tengah berdiri di depan dinding kaca kafe. Sedangkan satu anak laki-laki yang berdiri di samping anak perempuan itu berusia sekitar empat sampai enam tahun, Lionello tidak dapat memperkirakan nya dengan jelas. Mereka tampak menikmati saat melihat beberapa orang sedang makan ataupun minum di dalam kafe tersebut.
"Siapa mereka?" gumam Lionello lalu melanjutkan langkahnya.
Lionello berhenti di samping anak laki-laki itu. Dia berjongkok menghadap mereka. Sepertinya dua anak itu tidak menyadari kehadiran Lionello. Hanya anak laki-laki yang berada di gendongan anak perempuan itu yang terus menatap Lionello.
"Hei, apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Lionello dengan nada lembut.
Tampaknya dua anak itu terkejut melihat keberadaan Lionello. Anak laki-laki yang sempat dipegang pundaknya oleh Lionello justru berjalan mundur dan bersembunyi di balik punggung anak perempuan yang berusia lebih tua dibanding dua anak laki-laki itu.
Lionello tersenyum pada mereka seolah ingin menghilangkan rasa takut mereka terhadap dirinya. "Apa kalian sudah makan?" tanya Lionello.
Anak perempuan itu memperhatikan Lionello begitu lekat. Dirinya menatap Lionello dari atas hingga ujung kaki lalu kembali ke atas lagi. Melihat Lionello tersenyum ramah padanya, anak itu justru menoleh ke arah adiknya yang masih bersembunyi di belakang punggung sebelum akhirnya kembali pada Lionello. Perlahan kepalanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan pria dewasa yang ada di hadapan mereka.
"Apa kalian ingin makan? Ayo, jika kalian ingin makan … masuklah ke dalam."
"Tapi kami tidak boleh merepotkan orang asing," ucap anak perempuan itu seolah merasa ragu untuk menerima ajakan Lionello. Satu sisi dia ingin masuk ke dalam untuk mengisi perut yang sudah kosong sejak hari kemarin, tetapi sisi lain kakak tertua mereka melarang untuk menerima ataupun merepotkan bantuan dari orang yang tidak mereka kenal.
Lionello menghela napas pelan. Dia menoleh ke arah kafe miliknya yang tampak ramai sebelum akhirnya menatap anak perempuan tersebut. Perlahan Lionello bangkit berdiri hingga membuat anak-anak di hadapannya harus mendongakkan kepala untuk bertatapan langsung.
"Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Kafe ini adalah milikku. Jadi, jika kalian ingin makan atau minum sesuatu di dalam, masuklah," ucap Lionello seraya menggerakkan tangannya, seolah memberikan instruksi pada mereka kalau dirinya mempersilakan anak-anak itu untuk masuk dan makan sesuatu di dalam.
"Liese, aku lapar …. " ucap anak laki-laki yang berada di belakang punggung kakaknya. Suaranya seperti merengek karena merasa tidak kuat untuk menahan lapar lebih lama.
Anak yang kini Lionello tahu bernama Liese itu tampak bingung. Pandangannya menatap sekeliling seperti sedang mencari seseorang. Karena tidak melihat orang yang mereka tunggu selama satu jam, akhirnya mereka memutuskan untuk menerima ajakan Lionello masuk ke dalam kafe dan memakan sesuatu yang dapat mengganjal rasa lapar.
Lionello menuntun mereka menuju meja yang kosong. Setelah kedua anak itu duduk di kursi tersebut, anak perempuan itu melepas gendongannya pada adiknya yang paling kecil lalu mendudukkan di kursi yang berada tepat di sampingnya. Sedangkan Lionello memanggil salah satu pegawainya untuk memberikan makanan dan minuman yang mereka inginkan.
"Siapa nama kalian?" tanya Lionello seraya menunggu Renata membawakan pesanan ketiga anak itu.
"Lieselotte. Kau bisa memanggilku Liese, Lotte atau Lieselotte. Dan ini Bastian," ucap Lieselotte saat menunjuk adiknya yang berusia lima tahun itu. "Dia Rainer, si bungsu," sambung Lieselotte saat mengelus kepala Rainer.
"Berapa usia kalian?" tanya Lionello. Dirinya semakin merasa penasaran melihat ketiga anak itu dengan keadaan yang tampak menyedihkan.
"Usiaku sebelas tahun. Bastian lima tahun dan Rainer dua tahun," jawab Lieselotte.
Dua tahun? Itu berarti usianya sama seperti Estefania, Lionello bergumam di dalam hati saat tatapannya terpaku pada anak bernama Rainer.
"Apa aku boleh tahu … apa yang sedang kalian lakukan di depan sana?" Lionello menunjuk ke arah tempat mereka berada sebelumnya.
"Kami sedang melihat ke dalam ruangan ini," jawab Lieselotte. Dia terdiam sejenak seolah merasa ragu untuk melanjutkan ucapannya meski tatapan Lionello menuntut untuk mendengar jawaban lebih. "Kami merasa lapar karena sejak hari kemarin tidak makan apapun."
"Bagaimana bisa? Apa kalian tidak memiliki keluarga?" Lionello tidak habis pikir mendengar jawaban mereka. Jika masih ada anak terlantar di jalanan, lalu apa tugas dinas sosial selama ini?
"Orangtua kami meninggal. Ayah kami meninggal sejak satu tahun yang lalu sedangkan ibu kami meninggal karena kecelakaan yang sempat terjadi sekitar satu minggu yang lalu."
Apakah kecelakaan yang sama dengan kedua orangtua Estefania? Lionello kembali bergumam di dalam hati di sela-sela mendengar cerita Lieselotte.
"Kakak kami, Florentina sedang bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang untuk biaya kami pergi ke kota lain menemui bibi kami. Karena Florentina berencana ingin mengajak kami tinggal di sana," jelas Lieselotte.
"Apa kalian tinggal di dekat tempat ini?"
Lieselotte menggelengkan kepala. "Tidak. Kami tinggal di dekat toko swalayan Veritas."
"Lalu bagaimana kalian bisa sampai di sini?"
"Kami jalan kaki. Kakak kami bekerja di toko swalayan Veritas. Selama kakak kami bekerja, kami tidak bisa berada di toko itu. Jadi kami berjalan-jalan sambil menunggu jam kerja Florentina selesai."
"Kapan jam kerja kakakmu selesai?"
"Jam lima sore."
Saat Lionello hendak bertanya untuk kesekian kali, Renata datang dengan membawa pesanan ketiga anak itu. Tiga minuman coklat serta berbagai macam jenis roti untuk sarapan, kudapan bahkan tiga cup es krim dengan varian rasa. Ketiga anak itu tampak senang mendapatkan makanan tersebut dan langsung melahapnya. Sesekali Lieselotte menyuapi Rainer di sela-sela aktivitas makannya.
"Kalian bisa berada di sini sampai kakak kalian selesai bekerja," ucap Lionello di tengah kegiatan makan mereka.
"Maafkan kami, Señor. Tapi kami tidak mau merepotkan orang asing," jawab Lieselotte hingga membuat Lionello tertawa pelan.
"Kalian bisa memanggilku Lionello," ucap Lionello.
"Apakah itu namamu?" Kini Lionello mendengar suara lain. Dia menoleh ke arah Bastian dan menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan anak itu. "Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilmu seperti itu," sambungnya sembari menyantap croissant. "Jadi … apa kau bukan orang asing?" Kali ini Bastian bertanya dengan wajah polos membuat Lionello tersenyum lebar.
"Kalian bisa menganggapku bukan orang asing," jawab Lionello.
"Apa kita akan bertemu lagi?"
"Tentu. Kau bisa datang ke sini."
"Kami tidak bisa datang ke tempat ini lagi, Lionello," sela Lieselotte di tengah perbincangan Lionello dengan Bastian. "Saat Florentina pulang kerja nanti, dia mengatakan kalau kita akan pergi ke rumah bibi kami."
"Kalau begitu, kalian bisa mampir ke tempat ini saat kalian ada di kota ini nanti."
"Ya, itu ide yang bagus," balas Lieselotte sembari tersenyum lebar dan diiringi anggukan kepala.
"Kalian bisa lanjutkan makan sampai selesai. Aku harus pergi ke tempat lain," ucap Lionello lalu bangkit berdiri.
"Kami tidak mempunyai uang. Lalu siapa yang akan membayar makanan kami jika kau pergi begitu saja? Kau yang mengajak kami makan di sini."
"Kalian tidak perlu mencemaskan itu. Tempat ini milikku, jadi kalian tidak perlu membayarnya—"
"Saat kami berada di Veritas dan kami ingin mengambil minuman, Florentina mengatakan pada kami kalau dia harus membayar makanan atau minuman yang kami ambil meskipun Florentina bekerja di sana. Lalu kenapa kau tidak membayar saat makan di tempatmu sendiri?"
Lionello tersenyum mendengar ucapan Lieselotte. Dia pun menganggukkan kepala seolah mengiyakan ucapan polos anak itu. Lionello merogoh kantong celana dan mengambil dompet. Dia mengeluarkan uang seratus euro lalu memberikannya pada Lieselotte. Kedua anak itu tampak terkejut melihat Lionello memberikan uang dengan nominal tertinggi di dalam mata uang euro.
"Kalian bisa membayarnya dengan ini," ucap Lionello.
"Itu sangat banyak," gumam Lieselotte dengan kedua mata membelalak. Baru kali ini dirinya mendapat uang seratus euro dari pria yang baru mereka kenal.
"Kau bisa membeli makanan lain dengan sisanya."
"Terima kasih banyak, Lionello. Aku akan membayarnya jika kita bertemu lagi di lain waktu."
Lionello hanya menganggukkan kepala untuk menenangkan anak itu. Tanpa menunggu lama, Lionello bergegas keluar kafe. Dirinya hendak kembali ke apartemen Teofilo untuk mengecek keadaan di sana.