5. Tidur Bersama

972 Words
"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota. Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban. Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam. "Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan. "Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram. "Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai. "b******k!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika. "Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas. "Bagaimana aku bisa tenang di saat orang yang aku sayangi tidur dengan adikku sendiri, Pi?" tanyanya penuh emosi. "Sayang?" Dewa terkekeh keras, memasukan ponsel ke dalam saku. "Sayang di saat lo masih suka celup lubang sana-sini?" sindirnya penuh ejekan. "Dewa ... Kakak kamu nggak seperti itu. Jangan jadikan dendam masa lalu membuat kamu terus membenci, Nak." Suara lembut wanita paruh baya itu sarat akan permohonan. Senyum culas di wajah Dewa berganti dengan raut geram penuh ketidaksukaan. "Aku bukan orang yang mengagungkan masa lalu," ucapnya datar. "Kalau bukan karena masa lalu, kenapa kamu lakukan ini?" tanya Arya tajam. "Katakan saja jika niatmu adalah balas dendam!" Abas mendesah lelah, permasalahan ini tampaknya tak akan selesai cepat. "Cukup! Kita sedang membahas Dewa dan Uly, bukan tentang masa lalu yang sudah tak perlu di ingat lagi!" ujarnya tegas. "Ma ... maaf, Om. Saya rasa masalah ini tidak perlu di perpanjang, saya akan pergi karena mema--" "Tidak bisa seperti itu saja," tukas Abas cepat. "Kami bukan keluarga tak bermoral yang melepas tanggungjawab begitu saja!" "Bukan begitu maksud saya, Om." "Dewa! Sekarang maumu apa?" tanya Abas tajam, mengabaikan Uly yang tergugu di sana. "Aku akan tanggung jawab." Sontak saja ucapan bocah itu membuat semua orang terkesiap kaget. "Apa maksud kamu?" tanya Uly tak percaya. "Sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan, Dewa Angkasa?" tanya Abas geram. "Sangat yakin, Pi, kami bisa menikah minggu depan," sahutnya santai. "Gila kamu!" hardik Arya keras. "Dewa, pernikahan itu bukan untuk main-main," ucap Tere mengingatkan. "Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Abas tajam. "Bisa diatur, toh minggu depan adalah ujian akhir." "Jangan main-main, aku nggak minta kamu menikahiku!" ucap Uly panik. Dewa menoleh dengan tatapan mata tajam. "Memangnya elo mau hamil tanpa suami?" tanyanya sinis. "Ap ... apa?" Uly terkesiap mendengar ucapan bocah itu. Hamil? Sungguh dirinya tak terpikirkan soal itu. Tapi, apa benar mereka sudah melakukan hal terlarang tadi malam? Arya menggeram penuh amarah. "Sialan kalian berdua!" umpatnya sebelum melangkah lebar meninggalkan ruangan. "Ceritakan kronologisnya!" perintah sang Papi tegas. Dewa mengedikkan bahu. "Papi bisa bertanya pada Pak Diman yang membukakan gerbang untuk Uly, dan kejadian setelahnya di ranjang nggak perlu dijabarkan 'kan?" sahut bocah itu kelewat santai. Abas mengusap kepalanya kasar, napasnya terdengar berat dengan pundak tertunduk layu. "Baik, persiapkan diri kalian mulai sekarang, minggu depan kalian menikah, resepsi menyusul setelah Dewa lulus!" ujar Abas tegas. Uly meremas jarinya panik, bukan ini yang dia mau. Bagaimana bisa ia menikah dengan laki-laki yang umurnya lima tahun lebih muda darinya. Sungguh, ia mengidamkan pria yang lebih matang darinya, yang bisa mengayomi dan menjadi pelindungnya, bukan bocah keras kepala sombong yang arti dari pernikahan saja belum mampu dimaknainya. "Mas, gimana dengan Arya?" tanya Tere khawatir. Abas menghela napas panjang. "Harus bagaimana lagi? Mau tidak mau dia harus merelakan Uly." Tere menggeleng pelan, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Meratapi nasib sial sang putra yang dikhianati kekasih dan adiknya sendiri. Wanita itu dapat membayangkan betapa hancurnya hati putra sulungnya itu saat ini. Abas beranjak, meninggalkan ruangan dengan beban berat di pundak serta hati. Saat ini ia ingin menyendiri, merenungi nasib dan meminta maaf pada almarhumah istri pertamanya karena tak becus mendidik anak mereka. Selama ini ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk memberi perhatian pada putra nakalnya itu, tapi pekerjaan yang menumpuk tak bisa membuatnya sesuka hati meloloskan diri. Abas berpikir, dengan menghadirkan sosok ibu baru untuk Dewa, maka anaknya itu tak akan merasa kekurangan kasih sayang, ia berharap sikap ceria penuh semangat yang dulu dimiliki anaknya sebelum ibunya meninggal itu bisa muncul kembali. Tapi sayangnya Abas salah, kelakuan Dewa semakin menjadi-jadi, apalagi saat mengetahui sahabat kecilnya punya hubungan spesial dengan Arya. Segalanya semakin rumit saat kebencian Dewa makin menjadi-jadi kepada kakaknya, maka dari itu Abas memutuskan mengirim Arya untuk melanjutkan study ke luar negeri agar keduanya memiliki jarak untuk saling mendinginkan hati. Tapi kini, lihat apa yang terjadi? Semua semakin kacau karena keduanya terlibat dengan satu wanita lagi. Sementara Tere menatap Uly dengan sorot penuh kekecewaan. "Saya kecewa sama kamu!" ucapnya geram. "Ma--" "Jangan panggil saya Mama lagi! Saya nggak sudi!" "Jaga nada bicara, Mama, atau semua orang akan tahu bagaimana sifat asli Mama sebenarnya," ucap Dewa santai. "Apa maksud kamu?" tanya Tere tak percaya. Dewa tersenyum simpul seraya berdiri dari duduknya. "Jangan mengira karena aku masih bocah, aku tak tahu bagaimana seluk beluk kehidupan kalian sebelum masuk ke rumah ini," ujarnya tenang, "jaga sikap, jika tidak ingin semuanya terungkap!" Setelah melontarkan kalimat yang menyiratkan ancaman itu, Dewa pergi dengan menarik tangan Uly agar ikut bersamanya. "Mau kemana? Kita belum selesai bicara," ucap Uly, berusaha melepaskan tangannya. "Ya, kita memang belum selesai, ada banyak hal yang harus diurus sebelum pernikahan kita." "Dewa! Aku nggak mau menikah dengan kamu!" pekik Uly kesal. Bocah itu berhenti tepat di samping pintu mobil Ferrari hitam yang terparkir di garasi. "Jadi, elo mau menikah dengan Arya? Si pencinta s**********n itu?" tanyanya mengejek. Uly menggeram penuh rasa frustasi, malsalahnya dengan Arya saja belum terselesaikan. Ia belum sempat menjambak dan menendang pria yang sudah membuatnya patah hati itu. Lalu kini, dia harus terjerat bersama adik dari laki-laki b******k itu. "Apa bedanya dengan kamu?" sahut Uly sarkastis. Dewa menaikkan alis sebelum tertawa kencang. "Elo lupa siapa yang tadi malam ngegoda gue dan minta ditidur--" "Stop!!!" "Aku nggak mungkin begitu!" bantahnya lantang. Dewa tersenyum penuh arti. "Apa perlu gue tunjukkin videonya ke elo?" Uly merasa kini wajahnya merah padam, membayangkannya saja ia tak sanggup, apalagi harus melihat sendiri apa yang dikatakan Dewa lewat ponselnya. Sungguh, Uly tak akan sanggup, benar-benar tidak sanggup. ____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD