8. LEBIH DARI SEKEDAR KEJUTAN

1642 Words
"Karena takdir terkadang tidak seindah rencana, itu sebabnya di setiap doa selalu ada kata semoga." ---- "Memberikan maaf, mengikhlaskan, kemudian memberi kesempatan kedua atas pengkhianatan yang sudah kamu terima adalah 'another next level' dalam rumah tangga yang kamu jalani saat ini, Kak." Kata-kata syarat arti yang pernah Rayhan lontarkan ini memang sepantasnya disematkan pada diri Airin. Setelah jelas-jelas di khianati dan di selingkuhi oleh sang suami, dengan berbesar hati, perempuan keturunan Arab itu memaafkan kemudian memberikan kesempatan kedua kepada Athar Elyas Aljufri. Sungguh, awalnya Airin juga ingin membalas atau memberikan pelajaran kepada Athar. Tapi, melihat kesungguhan pria itu. Bahkan, perubahan sikap yang kian lama terlihat begitu totalitas, hati Airin pada akhirnya luluh. "Padahal, mumpung nggak punya anak dari Athar, kamu bisa dengan mudah lepas dari pria toxic itu, Rin." Hampir setiap hari, Vennia tidak pernah bosan memprovokasi. Ia gemas saja melihat keputusan bodoh dan naif yang sudah Airin ambil. "Udah lah, Ven. Biar ini jadi urusan rumah tanggaku. Lagi pula, kamu bisa dengan mudah minta aku untuk bercerai, karena bukan kamu yang terlibat dalam hubungan dan juga masalah ini. Aku yakin, di luar sana juga ada banyak perempuan yang tidak bisa seenaknya menjadikan perceraian pilihan terakhir atas masalah rumah tangga yang mereka alami." "Aku tau," debat Vennia kala itu. "Banyak yang rela dimadu, ditindas, dan pasrah saja dengan kebusukan suami mereka karena alasan anak dan materi. Tapi, kasusmu berbeda. Nggak ada anak yang harus dipikirkan. Lagi pula, kamu amat sangat mandiri secara finansial. Demi Tuhan, Airin. Aku khawatir di kemudian hari Athar mengulangi perbuatannya." "Kalau hal itu sampai terjadi, aku sendiri yang akan kirim dia ke neraka." Airin sudah membulatkan tekad. Sudah pula meneguhkan hati. Baik buruk nasibnya nanti, ia akan tanggung sendiri risikonya. Persetan dengan sang ibu mertua atau Vennia yang sering kali mengoceh, protes, dan mengatainya macam-macam. Ini rumah tangganya. Ia yang paling tahu apa yang terbaik untuk dirinya. "Sayang, maaf aku agak telat." Setelah tiga bulan bergulat batin, memantapkan diri atas keputusan yang diambil, Airin memilih untuk berdamai pada hatinya. Pelan-pelan, ia kembali membuka diri dan menerima segala perbuatan baik yang Athar tunjukkan. Contohnya sore ini. Pada jam pulang kerja, Airin sengaja menunggu Athar untuk menjemputnya. Ya, sebenarnya ini juga bukan kali pertama setelah hubungan mereka membaik. Sudah seminggu belakangan, Athar berusaha keras menunjukkan perhatiannya dengan menyempatkan diri mengantar dan menjemput Airin kerja. Bahkan, di sela-sela kesibukannya di kantor, Athar juga berusaha untuk mengajak Airin makan siang bersama. Terkadang, kalau Airin sibuk, ia rela membeli makanan kemudian ia santap bersama di ruang kerja sang istri. Pokoknya, apa pun itu Athar lakukan demi mendapat kembali kepercayaan dari Airin yang sempat sirna. "Tadi, tamu yang dari Taiwan lumayan lama ngobrolnya. Aku nggak enak mau buru-buru pergi." Setelah memastikan Airin duduk di kursi penumpang, Athar bantu memasangkan sabuk pengaman. Berbalik badan, pria itu mengambil sesuatu di kursi belakang, kemudian menyerahkanya kepada Airin sembari kembali berkata-kata dengan lembut, "Sebagai permintaan maaf karena udah telat, aku belikan kue dan bunga kesukaan ini untuk kamu." Sembari menyodorkan satu bucket bunga mawar putih dan satu box cheese cake bertuliskan 'I Love You', Athar menatap lekat ke arah Airin. Terus memerhatikan, seraya berharap permohonan maafnya diterima oleh sang istri. "Ya ampun, segitunya," sahut Airin, kemudian menerima satu persatu barang yang Athar sodorkan. "Nggak apa-apa, Mas. Lagi pula, selama tunggu Mas Athar, aku juga sibuk ngobrol sama Alissa. Jadi, ya nggak masalah." "Jadi, Mas di maafin?" Airin mengangguk. "Iya." "Kalau gitu, cium dulu dong." Kedua pipi Airin seketika memerah. Setelah beberapa bulan perang dingin, ini kali pertama Athar terang-terangan kembali menggodanya. Lazimnya seorang wanita, yang namanya digoda apalagi oleh suami sendiri, pasti tetap ada perasaan malu-malu. Dan hal itu yang Airin rasakan saat ini. "Ihh, apaan, sih?" "Ya nggak apa-apa, dong. Nggak dosa kan minta cium istri sendiri?" Airin mengangguk sembari tersenyum. Ya nggak salah juga Athar minta cium. Ketimbang pria itu minta cium perempuan lain, mending Airin yang menciumnya. Itu sebabnya, tanpa banyak protes atau berkata apa-apa, Airin memajukan wajah. Detik kemudian, ia lantas mengecup singkat pipi sang suami. "Kok cuma pipi?" protes Athar kemudian. "Emang maunya apa?" "Yang lain juga." "Ntar aja. Nanti kita telat ke rumah Abi dan Amma." Athar langsung menepuk pelan keningnya. Ia hampir lupa kalau hari ini memang jadwal berkunjung ke rumah sang mertua. Gegas tanpa banyak tanya, Athar memacu mobil yang ia kendarai. Dua puluh menit berselang, keduanya sampai di kediaman orang tua Airin. Memasuki pelataran, tampak jelas Jeep Rubicon hitam sudah terparkir dengan rapi. Athar dan Airin meyakini kalau Ashraf dan Chava pasti sudah lebih dulu sampai di sana. "Aku pikir kamu udah lupa di mana alamat rumah Amma." Baru saja memasuki rumah dan bergabung di ruang tengah, Ashraf sudah menegur. Kalimat yang keluar dari bibir pria bermata cokelat itu tentu saja ditujukan secara terang-terangan kepada Athar. Setelah perselingkuhannya terungkap, dalam rentang waktu tiga bulan, Athar memang terhitung hanya sekali berkunjung ke rumah sang mertua saat acara ulang tahun Elma. Bukan karena takut, tapi Airin yang enggan mengajaknya. Padahal, kecuali Rayhan, tidak ada yang tahu juga gonjang ganjing dalam rumah tangga mereka. Lagi pula, kalau Airin mau, bisa saja keduanya berakting mesra seolah tidak terjadi apa-apa. "Ashraf..." tegur Elma sembari menggeleng. "Nggak usah mulai. Lagian, Amma maklum kalau Athar sibuk." Ashraf tertawa remeh. Raut wajah pria itu jelas sekali seperti orang yang mengejek. "Sibuk banget? Memangnya lagi tangani tender apa sampai nggak sempat buat berkunjung? Lagi buat supermarket di bulan?" Chava yang duduk tepat di sebelah Ashraf langsung mencubit gemas pinggang sang suami. Ia sadar diri dari dulu Ashraf memang 'julid' dan kalau ngomong suka sekali 'nyelekit' ke siapa pun lawan bicaea yang tidak pria itu suka. "Ashraf, udah." Kali ini Yazied yang menegur. Berusaha menengahi agar suasana tidak semakin memanas. "Iya, Bi." Yazied lantas kembali beralih pada Athar yang sudah duduk di hadapannya. Dengan ramah pria paruh baya itu mengajak sang menantu untuk berbincang. "Athar, gimana kabarmu? Sehat?" "Sehat, Bi," sahut Athar segera. "Perusahaan gimana? Lancar aja?" Athar mengangguk lagi. "Sejauh ini Lumire lancar dan berkembang secara signifikan." "Bagus." Yazied mengangguk dengan wajah tampak bangga. Tanpa perlu dijelaskan panjang lebar, ia tahu kalau Lumire, anak perusahaan yang diberikan kepada Athar, memang mengalami perkembangan yang pesat. "Abi harap kamu bisa terus fokus mengembangkan dan menjaga kestabilan Lumire biar terus maju dan naik, ke depannya." "Siap, Bi. Athar akan berusaha semaksimal mungkin." "Terus, rumah tanggamu sama Airin gimana?" tanya Ashraf tiba-tiba. Dan pertanyaan ini langsung mengalihkan perhatian semua orang yang ada di ruang tengah. "Baik-baik aja, kan?" Ashraf jelas memberikan penekanan pada kata 'baik-baik saja' yang barusan ia ucapkan. Dari awal Airin menikah, ia memang ragu sosok Athar dapat membahagiakan sang kakak. "Ashraf... cukup." Kali ini Airin yang menegur. Menggeleng, meminta sang adik menyudahi ocehannya. "Kenapa, Kak? Kan aku cuma tanya. Kalau emang baik-baik dan nggak ada masalah, ya santai aja." Ashraf lantas kembali beralih pada Athar. Menatap dalam. Raut pria itu persis seperti singa yang siap menerkam musuhnya. "Aku berharap kamu memperlakukan Airin dengan baik. Tapi, kalau sampai terjadi sesuatu sama dia dan kamu penyebabnya, aku sendiri yang bakal buat perhitungan sama kamu." Athar berusaha tersenyum seraya mengangguk. Ngeri sendiri dengan ancaman yang jelas-jelas Ashraf tujukan kepada dirinya. *** "Aku harap kamu maklum dengan apa yang Ashraf ucapkan semalam." Ke esokan harinya, saat menyantap sarapan, Airin kembali membahas apa yang Ashraf lakukan pada Athar saat berkunjung ke rumah orang tuanya. Airin hanya tidak ingin suaminya itu merasa tertekan atau tidak nyaman. "Nggak apa-apa, Sayang. Aku maklum dari awal Ashraf memang nggak suka sama aku." Athar meraih kemudian menggenggam lembut pergelangan tangan Airin. Walau ada rasa khawatir, dan takut terlebih Athar sadar diri kalau Ashraf pria yang kuat dan tidak suka main-main, ia tetap harus meyakinkan sang istri kalau dirinya baik-baik saja. Gengsi dong kalau Athar harus terlihat lemah di hadapan Airin. "Lagian, Ashraf sama sekali nggak tau apa yang sebelumnya terjadi dengan rumah tangga kita. Jadi, kamu nggak usah khawatir." Athar mengangguk. Ia kecup pelan puncak pergelangan tangan Airin. "Terus, ini yakin kamu nggak mau ikut aku dinas ke Singapura?" Airin menggeleng. Hari ini memang jadwal Athar berangkat ke Singapura untuk beberapa hari. Sudah sejak dua hari lalu, pria itu merengek, meminta Airin untuk ikut serta mendampinginya dinas di luar negeri. Airin mau saja ikut. Tapi, mengingat dirinya juga punya jadwal kegiatan, ia mana bisa seenaknya membatalkan. "Nggak bisa, Mas. Kan aku ada jadwal isi seminar." "Nyusul nggak bisa juga?" tanya Athar memastikan. "Lagian, pertemuan bisnisnya cuma dua hari. Selebihnya bisa kita pakai jalan-jalan. Ya, anggap aja honeymoon." Athar memasang tampang wajah memelas. Berharap permintaannya dikabulkan oleh Airin. "Maaf banget. Tapi, kali ini aku beneran nggak bisa. Gimana kalau nanti kita atur jadwal untuk liburan ke Eropa aja?" Athar menarik napas pelan kemudian mengangguk. Mau bagaimana lagi. Kalau Airin memang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, mana mungkin ia memaksa. "Ya udah. Tapi, next time kamu janji harus punya waktu untuk kita berdua liburan." "Iya, aku janji." Selepas sarapan dan sebelum berangkat kerja, Airin sengaja mengantarkan Athar menuju bandara. Berpamitan kemudian memastikan sang suami masuk ruang tunggu, baru lah ia pergi menuju rumah sakit. Sementara Athar dan dua rekannya tampak menikmati perjalanan dinasnya kali ini ke Singapura. Begitu sampai, ia langsung menuju tempat pertemuan dan baru sore hari kembali ke hotel. "Sayang... aku baru sampai hotel. Sekarang lagi on the way kamar buat mandi terus siap-siap makan malam bareng Adrian dan Rasyid." Athar tampak menghubungi Airin. Memberi kabar seluruh kegiatan yang ia lakukan. "Aku masih di rumah sakit. Mungkin 30 menit lagi baru pulang," sahut Airin di seberang sana. "Jangan cape-cape. Aku lagi jauh, nanti nggak ada yang pijatin kamu." Airin terdengar tertawa. "Iya tenang aja. Ya udah, kamu mandi dulu. Nanti malam aja kita lanjut lagi ngobrolnya." Menutup panggilan dari Airin, Athar yang sudah di depan kamar memustukan untuk segera masuk. Melangkah pelan mendekati kasur, dirinya mendapati sosok perempuan yang begitu familiar. "Kamu udah lama nunggu?" "Mau 1000 tahun sekali pun, aku nggak masalah kalau harus tunggu kamu, Mas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD