7. MERTUA DARI NERAKA

1586 Words
Mobil Audi hitam yang tengah Athar kendarai tampak memasuki pelataran rumah sakit Medika. Begitu melihat sosok Airin sudah berdiri di depan lobby, ia pun menepi. Repot-repot keluar sembari gegas membukakan pintu, lalu mempersilakan sang istri untuk segera masuk kemudian membawanya pergi menuju kediaman kedua orang tuanya. Malam ini, memang ada jadwal berkunjung dan juga berkumpul bersama keluarga besar Aljufri. Entah untuk perayaan apa, yang pasti Athar dan Airin diwajibkan untuk hadir. Kalau boleh berkata jujur, Airin pribadi sebenarnya malas ikut serta acara kumpul-kumpul keluarga besar yang diadakan sang mertua. Bukan karena tidak ingin bersosialisasi. Bukan juga karena tidak mau membaur. Tapi, lebih ke perasaan malas saja karena nantinya pasti akan jadi topik obrolan dan juga gunjingan seperti yang sudah-sudah. "Kalau kamu merasa nggak nyaman atau malas untuk hadir, aku bisa kok putar balik." Di tengah perjalanan, kala menyadari gelagat sang istri yang tampak kurang nyaman, Athar memberanikan diri untuk meraih pergelangan tangan Airin yang tadinya di atas paha, lalu menggenggamnya lembut. Menoleh sekilas, kemudian kembali mengajak sang istri untuk berkompromi sebelum mobil yang mereka berdua tumpangi benar-benar sampai di tempat tujuan. "Aku tau kalau belakangan ini kamu seperti nggak nyaman setiap bekunjung ke rumah Mama." Di tempat duduknya, Airin menatap lurus ke arah jalanan. Tanpa ekspresi, wanita itu memberikan tanggapan dengan santai. "Nggak juga. Di awal menikah, aku nggak pernah dapat perlakuan buruk. Hanya saja, semenjak dua tahun pernikahan kita, aku mulai merasa nggak nyaman setiap berkunjung ke rumah orang tuamu. Tapi, nggak perlu khawatir. Bukan masalah besar buatku." "Kamu yakin?" Airin mengangguk pasti. "Jangankan cuma dengar ocehan pedas dari Mama dan keluarga besar kamu. Lihat suami sendiri selingkuh di depan mata aja, aku kuat kok." Airin kemudian langsung menarik pergelangan tangannya dari genggaman Athar. Di detik yang sama, pria berdarah Arab tersebut langsung menelan ludah sembari memasang tampang frustrasi. Bukan salah Airin kalau sampai detik ini masih mengingat dan sering kali menyinggung pengkhianatan yang sudah ia lakukan bersama Nonie. Siapa pun, pasti akan melakukan hal yang sama kalau berada di posisi Airin. "Aku minta maaf, Rin," cicit Athar sungguh-sungguh. "Demi Tuhan, aku minta maaf atas luka yang sudah aku torehkan di hati kamu." Airin tidak menyahut. Memilih diam, sampai akhirnya mereka berdua sampai di kediaman kedua orang tua Athar. "Athar... Airin." Baru saja keluar dari mobil, Sakina Aljufri yang merupakan ibunda Athar, langsung menyambut. Melempar senyum lebar seraya memberikan pelukan kepada putra bungsu dan juga sang menantu. "Mama udah tungguin kalian berdua dari tadi. Ayo cepat masuk! Ada Hasan, Elia, Tante Rania dan yang lainnya juga di dalam." Athar mengangguk. Sedang Airin mengekor di belakang. Sampai di ruang keluarga, satu per satu sepupu Athar langsung menyapa dengan ramah. Untuk saat ini, keadaan masih aman terkendali. Airin sendiri masih menikmati tiap momen yang terlewati. Sementara Athar bergabung dengan para pria yang tengah asyik menikmati makan malam di sisi kanan, Airin memilih duduk membaur dengan para sepupu yang berkumpul di sisi sebelah kiri ruang makan. Ke semuanya terlihat asyik menyantap hidangan sembari mengobrol, bertukar cerita, dan pasti ada saja pembahasan yang sering kali keluar jalur, terkesan nyinyir, bahkan jelas-jelas julid. "Airin, ku perhatikan, kamu makin cantik, makin stunning, terus elegan, pokoknya cakep banget." Elia tampak memberikan pujian dengan tulus. Dari semua sepupu Athar, memang perempuan ini yang paling ramah dan lumayan dekat dengan Airin sejak awal masuk ke keluarga besar Aljufri. "Ah, kamu bisa aja," sahut Airin seraya tersenyum. Sebenarnya, tanpa perlu diperjelas sekali pun, semua orang juga tau paras Airin memang sudah cantik dari sananya. "Elia bener kali, Rin," ungkap Fanny membenarkan. "Lagian, kalau nggak cantik paripurna, mana mungkin Athar sampai naksir dan dulu buru-buru ngajak nikah. Kan kita semua tau, seleranya Athar gimana." "Emang seleraku gimana?" Athar yang duduk di saberang Fanny menyahut dengan tawa. Ia sudah biasa dijadikan bahan obrolan oleh para sepupunya seperti sekarang. "Tolong aja, Bapak Athar yang terhormat. Sebagai cowok yang paling banyak di idolakan, para perempuan tau kalau mau jadi pacar kamu, wajib banget harus cantik, tinggi, berkulit putih dan seksi," imbuh Elia kemudian. Sebagai sepupu perempuan yang paling dekat karena dari kecil selalu menempuh pendidikan di tempat yang sama, ia hapal mati tabiat, selera, dan kepribadian Athar seperti apa. "Lagian, bukan rahasia umum juga kalau kamu dari dulu terkenal playboy juga, kan?" "Berlebihan." Athar mendengkus pelan. Walaupun yang dikata Elia benar, tetap saja ia berusaha menyangkal. "Ini kenyataan. Coba ingat kembali penampilan semua mantan-mantanmu. Pada cantik-cantik terus seksi. Belum lagi pakaiannya macam kurang bahan. Cuma Airin yang paling waras." "Itu kebetulan aja," sanggah Athar membela diri. "Aslinya, aku nggak menerapkan kriteria harus cantik segala macam, kok." "Tapi, mau mantanmu cantik dan seksi segimana pun, yang paling kaya cuman Airin, kan? Jangan-jangan dulu kamu nikahin Airin karena dia kaya?" Delila, sepupu lainnya tampak menyahut dengan canda. Entah ini sebenarnya terlalu jujur atau sengaja menyindir sosok Athar. "Percuma aja cantik dan kaya raya kalau belum bisa kasih Athar keturunan." Sakina Aljufri yang datang dari dapur dan mendengar kalimat Delila langsung bereaksi. Dari wajahnya, tampak sekali tidak terima ketika putra bungsunya seolah disudutkan oleh para sepupunya. "Kalian itu udah dua tahun nikah," kata Sakina menyambung obrolan. Kali ini, wanita itu langsung melempar tatapan ke arah Airin. "Coba lihat si Hasan. Baru nikah dua bulan, sekarang istrinya udah hamil. Itu si Fanny, baru punya anak beberapa bulan yang lalu, sekarang udah hamil lagi. Terus, kapan giliran kalian? Apa jangan-jangan Airin emang nggak mampu kasih Athar keturunan." "Ma..." tegur Athar buru-buru. Melempar tatapan dalam kepada sang ibu, pria itu menggeleng, mengisyaratkan agar Sakina menyudahi kalimatnya yang terdengar begitu menyakitkan. "Kita kumpul-kumpul malam ini bukan mau bahas soal keturunan, kan?" Sakina mengangguk. "Ya emang bukan, sih. Tapi ---" "Nggak apa-apa, Mas," ungkap Airin santai, sengaja menengahi perdebatan antara sang suami dan ibu mertuanya. Lagi pun, ia sudah terbiasa juga diperlakukan tidak enak seperti ini. Kalau mau, bisa saja Airin membela diri dengan mengumumkan di acara kumpul keluarga malam ini siapa sebenarnya yang sulit memberikan keturunan. Bukan perkara sulit juga bagi Airin membalikkan kata-kata sang mertua dan kalau perlu balas mempermalukan. Namun, Airin tidak sejahat itu. Walau Athar jelas-jelas sudah menyakiti hatinya dan sang mertua sudah bersikap tidak mengeenakkan, tetap saja ia enggan membeberkan aib sang suami kepada semua orang. "Kalau kamu cuma diam pasrah dan nggak usaha apa pun untuk segera punya anak, yang ada Athar bakal kabur sama perempuan lain." Sakina tampak tidak puas. Sekali lagi perempuan itu membombardir Airin dengan begitu banyak kata-kata bernada keluhan sekaligus nyinyiran. "Di luar sana, banyak yang antri mau jadi istrinya." "Ma, cukup!" Sakina refleks menoleh. Menatap sang putra, perempuan itu membiarkan Athar melanjut kalimatnya. "Athar bosan setiap ketemu pembahasannya selalu sama. Kalau Mama lupa, Airin itu dokter. Nggak usah diajarin harus gimana-gimana. Dia yang paling tau." Athar yang merasa gerah mendengar ucapan sang ibu, kemudian bangkit. Melangkah mendekat, meraih pergelangan tangan Airin, kemudian meminta sang istri untuk segera bangkit dari duduknya. "Lagian..." sambung Athar. "Mau usaha segimana pun. Atau, mau jungkir balik sekali pun, kalau kata Tuhan belum waktunya, Athar sama Airin bisa apa?" "Itu sebabnya, kalau Airin emang sulit kasih anak, Mama sarankan lebih baik kamu cari istri baru aja. Umur Mama udah lebih dari 55 tahun. Mau kapan lagi kamu punya anak? Mau tunggu Mama mati dulu?" Sakina berbicara begitu frontal. Di hadapan seluruh keluarga, perempuan itu terdengar mempermalukan sang menantu. "Mama keterlaluan." Athar menarik Airin untuk kemudian mengajaknya pulang walau acara belum selesai. Tidak ia hiraukan ketika sang ibu berulang kali memanggil. *** "Maafkan mama karena malam ini udah keterlaluan, Rin." Sebelum tidur, saat Airin duduk di sisi ranjang, Athar tampak bersimpuh sembari memijat lembut pergelangan kaki sang istri. Jauh sebelum perselingkuhannya terungkap, kegiatan seperti ini memang sering kali ia lakukan saat hendak tidur. "Nggak usah khawatir. Aku nggak apa-apa." "Tapi, aku beneran minta maaf atas semua hal yang membuat kamu merasa sakit hati atau nggak nyaman. Aku banyak salahnya sama kamu, Rin." Airin mengangguk. Menatap lekat ke kedua mata Athar sembari menyelami manik cokelat milik pria itu, ia meyakini sang suami begitu tulus memohon maaf kepadanya. "Aku nggak apa-apa. Udah kamu belain di depan orang banyak seperti tadi, itu udah lebih dari cukup." Athar lantas bangkit. Berpindah tempat, kemudian sengaja duduk bersisian di sebelah Airin. Meraih pergelangan tangan sang istri, ia genggam dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. "Aku tau, pasti bukan perkara mudah buat lupa atau memaafkan aku begitu saja. Tapi, demi Tuhan, aku nggak mau kehilangan kamu, Rin. Aku bakal berusaha untuk terus meyakinkan kamu kalau aku udah berubah." Airin lantas mengangguk. "Iya. Kita lihat aja nanti. Yang pasti, aku nggak mau berekspektasi terlalu tinggi." Airin kemudian bersiap untuk tidur. Membaringkan tubuhnya, lalu pelan-pelan memejamkan mata. Hingga tak lama berselang, ia merasakan dengan jelas bagaimana Athar memeluk tubuhnya dari belakang. "Mas..." Mendengar Airin menegur, bukannya melepaskan, Athar semakin mengeratkan pelukan. Ia bahkan sengaja menempelkan ujung hidung mancungnya tepat di tengkuk leher milik Airin. Menghirup dalam aroma manis dari parfum vanilla yang sering istrinya itu kenakan sebelum tidur. "Please... kali ini aja. Aku kangen banget sama kamu." Airin diam saja. Memilih untuk membiarkan sampai akhirnya tertidur lelap. Sementara Athar yang menyadari Airin sudah tertidur, lantas menegakkan tubuh demi dapat menarik selimut, untuk kemudian bantu menutupi seluruh tubuh sang istri. Baru hendak memejamkan mata, satu notifikasi pesan terdengar begitu jelas. Gegas, Athar berbalik badan. Meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mengecek siapa yang sudah mengirim pesan singkat malam-malam begini. "Mas Athar, urusan kita belum selesai." Athar mendesah panjang. Setelah tempo hari sempat mengabaikan Nonie yang mengunjungi dirinya di kantor, kini perempuan itu kembali menghubunginya via pesan singkat. "Jangan harap aku menyerah. Sampai ujung dunia pun, aku bakal terus kejar kamu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD