Airin : Mas Athar ada di mana? Aku bisa video call sekarang? Aku kangen.
Athar : Aku lagi meeting di luar kantor, Sayang. Nanti kalau udah beres aku bakal langsung telpon dan video call kamu.
Airin tersenyum kecut membaca ulang pesan singkat yang sengaja ia kirim ke Athar saat dirinya tengah menikmati makan siang bersama Vennia.
Padahal, dari mata kepalanya sendiri, Airin melihat dengan jelas bagaimana Athar yang saat itu tengah berjalan, bergandengan mesra dengan Aisya Nonie Farasya, sepupu yang juga menjadi sekretaris pribadi sang suami.
Athar jelas berbohong. Pria itu nyata-nyatanya sedang keluar kantor bukan untuk menghadiri rapat. Tapi, untuk menikmati waktu istirahatnya dengan berjalan bersama wanita lain.
"Pantas aja Athar udah jarang ngajak kamu makan siang bareng, Rin. Ternyata, sekarang dia punya partner baru yang bisa diajak untuk makan siang bareng. Atau mungkin ... partner yang bisa juga diajak untuk menemani hal-hal lain. Menemani tidur, misalnya."
Di ruang kerja Airin, saat wanita itu sudah kembali standby di rumah sakit, Vennia terdengar memprovokasi.
Sedari awal menjalin hubungan dengan Athar, Vennia memang kurang suka dengan sosok pria bermata cokelat tersebut. Apalagi saat menjalin hubungan dengan Airin, Vennia sering kali mendengar selentingan kabar kalau Athar memang terkenal sebagai pria yang hobi sekali bergonta ganti pasangan.
Entah apa yang ada dipikiran Airin saat itu hingga mau saja menerima cinta Athar. Terlalu bucin, kah? Termakan gombalan, atau mungkin juga baper atas gombalan-gombalan khas para buaya, hingga akhirnya bertekuk lutut dan menerima pinangan pria tersebut, padahal keduanya belum lama kenal.
Kalau Vennia perhatikan dan lihat dari bibit, bebet, bobotnya saja, Athar berasal dari keluarga biasa saja. Jabatan sebagai pimpinan salah satu perusahaan retail yang sekarang pria itu pegang, bahkan diberikan secara cuma-cuma oleh ayah Airin.
Sungguh, di mata Vennia, tidak ada satu pun kelebihan yang Athar miliki selain tampang di atas rata-rata serta nasabnya yang sama-sama keturunan Arab Ba'alawy, persis seperti Airin.
Selebihnya, pria itu bernilai nol besar. Memberikan Airin keturunan saja Athar tidak mampu, karena saat diperiksa, pria itu ternyata mengalami gangguan Infertilitas atau kesuburan. Dan dengan baiknya Airin tetap menerima dan menutupi kekurangan sang suami dari semua keluarga besar dan dari Athar sendiri.
"Kalau aku jadi kamu, aku bakal labrak Athar saat itu juga, Rin," kata Vennia kembali. Nada suaranya jelas-jelas terdengar gemas bercampur kesal.
"Nggak usah gila, Ven. Aku nggak mau buat keributan di depan umum."
Entah mulai kapan hal terlarang ini keduanya lakukan. Kalau Airin mau, bisa saja ia mengikuti saran Vennia untuk melabrak keduanya. Tapi, Airin tidak ingin gegabah. Tidak ingin juga menimbulkan kehebohan di muka umum yang nantinya malah mencoreng nama baik kedua belah pihak keluarga besar.
"Tapi, suamimu jelas-jelas selingkuh, loh. Aku nggak mengada-ngada, kan? Setelah kemarin sempat liat dia di hotel. Tadi, kamu bisa lihat dengan mata kepalamu sendiri kalau dia gandengan mesra sama perempuan lain yang sama persis seperti aku lihat tempo hari juga."
"Namanya Aisya Nonie Farasya," ungkap Airin dengan cueknya. "Kadang dipanggil Aisya. Tapi di keluarga besar, suka dipanggil Nonie. Dia sepupu jauhku."
Vennia detik itu juga terkesiap. Mulutnya sampai ternganga beberapa saat mendengar pengakuan Airin. Kalau saja ada lalat, mungkin binatang itu bisa masuk dengan leluasa ke dalam mulutnya.
"Ya ampun, jadi yang pergi sama suamimu dari kemarin-kemarin, masih ada hubungan sepupu? Gila!"
Airin mengangguk berulang kali.
"Iya, masih sepupu jauh. Nonie ini yatim, Ven. Papanya udah lama meninggal. Selama ini, dia emang tulang punggung. Jadi, kuliah sambil kerja gitu. Dua adiknya masih pada sekolah. Karena lulus kuliah nggak tau harus kerja di mana, Mamanya sempat minta tolong sama Abi buat dikasih kerjaan. Dan waktu itu, emang aku yang tawarin untuk masuk kerja di kantornya Mas Athar karena kebetulan emang lagi cari pengganti sekretaris yang resign."
Belum habis keterkejutan yang sebelumnya sempat Vennia alami, kini dirinya dibuat terperangah dengan cerita yang Airin sampaikan. Dirinya bukan iba dengan nasib yang Nonie alami. Tapi, menyayangkan sikap Airin yang jelas-jelas melempar umpan ke sarang buaya. Cari penyakit!
"Rin, ini sih namanya kamu bunuhh diri. Kucing di kasih ikan asin sekali pun nggak bakal nolak. Apalagi ini perempuan cantik."
"Ya mana aku tau kalau ujungnya begini, Ven."
"Tapi, mau apa pun itu, suamimu jelas selingkuh. Chat mesra sama lawan jenis aja udah termasuk selingkuh. Apalagi ini jelas-jelas kepergok beberapa kali pergi bareng, yang kamu bahkan nggak tau apa yang mereka lakukan. Terus, kamu mau diam aja?" cecar Vennia masih saja gemas. Penasaran tindakan apa yang ingin sahabatnya itu ambil setelah ini.
"Aku nggak bisa bertindak gegabah. Aku harus selidiki dan kumpulkan bukti-bukti dulu. Siapa tau aja ini nggak seperti yang kita bayangkan."
Vennia mendesah panjang. Bingung sendiri dengan jalan pikiran Airin seperti apa. Padahal, sudah jelas melihat sendiri apa yang suaminya lakukan, tapi masih bisa saja berpikiran positif dan menganggap sang suami tidak berkhianat.
"Terserah kamu aja lah. Aku doakan setelah kamu ketemu bukti yang akurat, kamu masih bisa berdiri kuat. Kalau butuh bantuan buat hajar keduanya, kasih tau aja. Dengan senang hati aku bakal bantu."
Selesai mengucap kalimat itu, pintu ruangan Airin terdengar diketuk, diikuti masuknya seorang perawat yang mencari keberadaan salah satu dari mereka.
"Dokter Vennia, di cari dokter Ashraf. Katanya ada jadwal baru yang mau di diskusikan."
Vennia mengangguk sembari mengangkat jempolnya. Setelah perawat tersebut pergi, ia pun berniat untuk beranjak dari ruangan Airin.
"Apa perlu aku kasih tau Ashraf apa yang udah terjadi antara kamu dan Athar?"
Airin langsung menggeleng keras. Memberi kode agar Vennia tidak bertindak terlalu jauh. Mau bagaimana pun, Airin tahu benar tabiat Ashraf bagaimana. Pria itu paling tidak suka anggota keluarganya diganggu apalagi sampai diperlakukan semena-mena.
"Jangan! Aku mohon jangan, Ven. Kamu tau sendiri Ashraf orangnya gimana. Aku takut nanti Athar malah nggak selamat dikuliti sama Ashraf."
"Justru itu yang aku mau. Biar Athar kapok udah macam-macam sama kamu."
"Jangan! Biar aku sendiri yang selesaikan masalah ini. Mending kamu cepetan temui Ashraf. Dan awas, jangan bahas macam-macam."
Malam harinya, seperti malam-malam sebelumnya, Airin terlihat menunggu kepulangan Athar. Tepat pukul tujuh malam, pria berdarah Arab itu pulang kerja dan langsung masuk kamar. Sebelum memutuskan untuk mandi, seperti biasa, Athar menghampiri Airin terlebih dahulu. Memberikan pelukan serta ciuman yang mesra.
"Selamat malam, Sayang. Aku ---"
"Kangen banget?" potong Airin seolah hapal dengan kalimat yang akan Athar utarakan. Bagaimana ia tidak hapal, hampir tiap malam pria itu mengucapkan hal yang sama. Sebelumnya, Airin selalu tersanjung setiap Athar mengatakan rindu atau sayang kepadanya. Tapi, setelah kejadian hari ini, entah kenapa, Airin malah merasa hambar. Curiga kalau ucapan tersebut hanyalah kamuflase untuk menutupi sebuah kebohongan besar yang selama ini Athar tutup rapat darinya.
"Aku juga kangen kok," kata Airin basa-basi. Kali ini ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Hari ini, Mas Athar kegiatannya ngapain aja?" tanya Airin ingin tahu. Penasaran saja, apa suaminya itu akan kembali mengatakan kebohongan seperti yang pria itu sampaikan saat tadi siang.
"Biasa, Sayang. Rapat diluar sampai sore. Ketemu beberapa klien. Begitu selesai semuanya, aku langsung buru-buru pulang biar bisa ketemu kamu."
"Jadi, seharian ini Mas Athar full banget kerjanya? Nggak sempat nyantai sama sekali? Terus makan siangnya gimana? Sempat nggak?" tanya Airin sengaja. Ingin tahu saja jawaban apa yang akan suaminya itu berikan kepadanya.
Sambil membuka pakaian, Athar bersiap menjawab. Dengan santai pria itu menanggapi pertanyaan Airin.
"Alhamduliah aku masih sempat makan, kok."
"Makan di mana? Bareng klien?"
Athar lantas mengangguk berulang kali.
"Iya, Sayang. Tadi siang selesai rapat pertama, aku makan bareng klien terlebih dahulu di salah satu restoran. Tenang aja, kamu nggak usah khawatir. Aku nggak mungkin lupa juga kok."
"Syukurlah," kata Airin sembari tersenyum. Dalam hati merasa miris karena sang suami jelas-jelas sudah memberikan keterangan palsu alias berbohong. "Pasti mas Athar cape banget."
Athar kembali mengangguk sembari tersenyum. Tanpa beban, pria itu terus saja bersandiwara di hadapan sang istri,
"Cape, sih. Namanya juga kerja. Tapi, mending cape karena kerja dari pada nganggur, kan?"
Airin kali ini yang mengangguk. Bantu merapikan pakaian yang berhasil suaminya buka, ia lantas mempersilakan Athar untuk membersihkan diri.
"Ya usah, Mas Athar mandi dulu aja. Nanti sebelum tidur, aku bakal pijatin dulu biar nggak cape lagi."
"Iya, Sayang. Makasi banyak. Aku emang beruntung banget dapat istri perhatian dan pengertian macam kamu."
"Nggak usah gombal," sahut Airin dengan senyum. "Udah buruan mandi. Nanti malah kemalaman."
Athar lantas gegas melangkah menuju kamar mandi. Sementara Airin, langsung bangkit dari tempat tidur, kemudian merapikan pakaian kotor Athar untuk setelahnya ia taruh ke dalam keranjang kotor. Tak lupa, Airin juga merapikan tas kerja Athar yang tadinya sempat berserakan di lantai.
Begitu menaruhnya di atas meja, Airin mendapati sesuatu yang janggal. Pada resleting samping, samar terlihat sesutu yang menonjol dari dalam tas. Seumur hidup menikah dengan Athar, Airin tidak pernah sekali pun bongkar-bongkar barang pribadi milik sang suami, pun begitu sebaliknya.
Namun kali ini rasanya berbeda. Airin begitu penasaran. Karena meyakini Athar masih lama di kamar mandi, ia pun memutuskan untuk mengecek, sebenarnya ada apa di dalam tas kerja sang suami.
Begitu Airin buka, ia mendapati satu kotak beludru yang sudah dipastikan berisi perhiasan. Membukanya pelan, Airin terkesima. Dari dalam box tersebut, terdapat satu set kalung serta gelang berlian yang kemarin sempat ia tunjukkan dan minta kepada Athar untuk dijadikan kado ulang tahunnya.
"Ini Mas Athar nggak salah? Dia beli buat aku atau gimana, sih?" gumam Airin pada dirinya sendiri. "Tapi, kalau emang buat aku, apa nggak kecepatan? Kan ulang tahun aku masih lama."
Airin lantas tersadar. Menyadari Athar yang hampir selesai membersihkan diri, buru-buru dirinya kembali memasukkan perhiasan yang tadi sempat ia cek ke tempat semula. Alih-alih bertanya langsung perhiasan tersebut milik siapa, Airin memilih untuk pura-pura tidak tahu. Pikirnya, siapa tahu saja Athar sengaja membeli dari jauh-jauh hari karena ingin memberinya kejutan.
***
"Aku kerja dulu ya, Sayang. Buru-buru soalnya ada janji temu pagi ini sama klien dari Turki."
Athar mengecup singkat kening Airin sebelum berangkat kerja. Dilihat dari gelagatnya, pria itu memang terlihat sangat buru-buru.
"Ini kamu nggak antar aku seperti biasa?" protes Airin sengaja. Sudah beberapa hari belakangan ini, Athar memang selalu membiarkan Airin pergi sendiri di tiap jam berangkat kerja. Padahal, sebelumnya sang suami selalu mengantar dan menjemputnya disetiap pulang kerja.
"Next time, ya. Hari ini, aku serius harus buru-buru. Please."
Melihat wajah penuh mohon yang Athar tunjukkan, Airin hanya bisa mendesah panjang kemudian mengangguk. Percuma saja merengek, Airin yakin Athar akan tetap memintanya untuk pergi sendiri.
"Ya udah, nggak apa-apa aku berangkat sendiri. Kamu yang hati-hati berangkat kerjanya."
Athar lantas gegas masuk mobil. Selang beberapa menit setelahnya, giliran Airin yang menyusul pergi. Tapi, bukan untuk berangkat menuju rumah sakit, melainkan pergi menyusuli Athar ke kantornya. Entah kenapa, pagi ini Airin merasa seesuatu yang tidak beres tengah suaminya itu sembunyikan. Feeling dan instingnya mengatakan hal demikian.
Begitu sampai kantor Athar, Airin mengumpulkan keberanian beberapa saat. Meyakinkan hatinya dengan sungguh-sungguh untuk menerima segala kemungkinana serta kenyataan yang nantinya mungkin akan ia dapati.
Setelah yakin, Airin memutuskan untuk segera turun dari mobil, lalu melangkah menuju ruangan Athar.
Sempat beberapa staff yang berpapasan dengan Airin menyapa penuh sopan dan hormat. Baberapa di antaranya bahkan menawarkan diri untuk mengantar.
"Pak Athar di ruangannya, Bu Airin," kata salah satu staff yang bertugas sebagai resepsionis di tiap lantai gedung. "Tapi, sepertinya lagi rapat penting di dalam bareng Aisha. Sebelumnya, Pak Athar berpesan kalau ada tamu atau siapa pun yang mau ketemu, dialihkan atau re-schedule aja jadwalnya. Hari ini, beliau mau bahas deadline kerja untuk kejar target project awal bulan."
"Oh, jadi suami saya ada di ruangan dengan sekretarisnya?"
Resepsionis itu mengangguk.
"Iya, Bu."
"Ya udah, nggak apa-apa. Biar saya langsung ke sana aja."
Resepsionis itu hanya bisa mengangguk canggung. Mau melarang pun rasanya tidak berani mengingat Airin adalah putri dari pemilik sekaligus istri dari pimpinan perusahaan.
Sementara Airin terus melanjutkan langkah. Sampai akhirnya sampai di lantai tempat ruangan Athar berada, dirinya mendapati meja sekretaris yang berada tepat di depan ruangan sang suami tengah kosong. Airin pun memilih untuk langsung melangkah menuju ruangan Athar.
Tadinya, Airin ingin langsung masuk. Namun, menyadari pintu yang tidak tertutup rapat, dirinya memilih diam lalu mengintip. Dari balik celah pintu, Airin dapat melihat dengan jelas apa yang tengah terjadi di dalam ruangan.
"Ini serius buat aku? Kalung sama gelangnya?" ungkap perempuan yang tak lain adalah Nonie, sekretaris pribadi Athar.
"Iya, Sayang. Kalung dan gelangnya buat kamu. Aku beliin spesial untuk hadiah ulang tahun kamu. Selamat bertambah umur, ya. Semoga semua yang kamu cita-citakan bisa tercapai. Dan yang pasti, makin sayang sama aku."
Nonie tersenyum girang. Menghambur pelukan, bahkan tanpa ragu mendaratkan ciuman dalam tepat di bibir Athar.
"Makasih banyak banyak, Sayang. Aku suka banget hadiahnya. Tenang aja. Aku bakal terus sayang dan cinta sama kamu. Sebagai perayaan, gimana kalau weekend besok, kita nginap lagi di hotel seperti kemarin? Aku pengen habiskan waktu sama kamu."
Athar mengangguk setuju. Tanpa banyak berpikir, menyetujui permintaan Aisha untuk menginap di hotel bersama-sama.
"Boleh. Nanti aku atur waktunya gimana. Kamu pilih aja mau tidur di hotel yang mana, nanti biar aku reservasikan untuk kita bersenang-senang."
"Makasi banyak kesayangan aku."
Sementara Airin yang sedari tadi berdiri dan mendengar percakapan Athar dengan sang sepupu hanya bisa menahan diri sembari menutup erat mulutnya. Memilih mundur, lalu segera melangkah pergi dengan rasa sakit yang amat sulit untuk dijabarkan.